Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penulis Mantra: "Awatara Brahma" Meringkas Mahapurana

29 April 2020   03:19 Diperbarui: 29 April 2020   04:32 1331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti janji pada artikel sebelumnya ("Keterwakilan Kita dan Pengrajin Kata, Catatan atas Ekaristi Mario Lawi"), demi menghormati Hari Puisi Nasional, saya kembali mengunggah artikel lawas yang belum pernah posting di Kompasiana sebelumnya (tetapi bisa ditemukan di platform lain sebagai GH).

___________

Saya kembali mendapatkan kehormatan membedah karya antologi puisi sastrawan NTT. Kali ini sebuah perintah, datang dari Lanny Koroh, si doktor bahasa itu. Apalagi jika bukan perintah, ketika permintaan datang sebagai sabda?

Lany perintahkan saya mengulas Penulis Mantra, antologi puisi kedua Dewa Putu Sahadewa, seorang dokter spesialis kandungan merangkap juragan rumah sakit merangkap tuan tanah merangkap sastrawan merangkap juragan kedai. Ulasan ini harus disampaikan pada acara launching buku tersebut, 16/12/16 di Taman Dedari, Kota Kupang.

Sebagaimana halnya ketika mengulas Ekaristi karya Sang Mario Lawi, pada kesempatan ini pun saya perlu mengingatkan bahwa saya bukan ahli sastra. Maka jangan berharap di sini Anda akan menemukan ulasan memuaskan tentang aspek instrinsik dalam sajak-sajak Dewa Sahadewa. Sungguh saya tak lihai akan rima, rasa, nada, diksi, gaya bahasa.

Lagi pula saya tak terlalu yakin jika keindahan puisi disebabkan pemilihan diksi, majas, rima, dan irama yang tepat.

Bagi saya, seindah-indahnya puisi adalah pada getaran yang dihasilkan dalam batin penikmat. Getaran itu muncul oleh tangkapan makna. Urusan makna adalah urusan tema dan amanat. Kesamaan frekuensi tema dan amanat antara penyair dan peminat adalah kunci. Tema dan amanat adalah daging; sementara diksi, majas, rima, dan irama semata bumbu. Tanpa bumbu, daging bisa gurih. Tak sebaliknya.

Sebagai penikmat, domain saya adalah pada makna dan suasana yang terasa saat tersapa kata, larik, dan bait.

Ketika kata dideklarasikan, tafsir akan makna menjadi hak penikmat, pun kondisi batin yang ditimbulkannya.

Karena puisi adalah pemadatan kalimat, kumpulan konotasi, dan rangkaian metafora maka selisih pemaknaan antara penyair dan penikmat sudah jadi konsekuensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun