Mohon tunggu...
Tiara Aisyah
Tiara Aisyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Mercu Buana

Nama: Tiara Aisyah Shafarina NIM: 43222010036 Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik Dosen: Prof.Dr.Apollo , Ak , M. Si. Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas Kuis: Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   15:43 Diperbarui: 14 Desember 2023   16:34 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama                         : Tiara Aisyah Shafarina

NIM                            : 43222010036

Prodi                          : S1 Akuntansi

Mata Kuliah            : Pendidikan anti Korupsi dan Etik UMB

Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Jeremy Bentham lahir di Spitalfields, London, pada tanggal 15 Februari 1748, dan pada usia tujuh tahun (1775)  ayahnya mengirimnya untuk belajar di Westminster School. Pada tahun 1769, pada usia 12 tahun, ia melanjutkan pendidikannya di Queen's College, Universitas Oxford. Pada tahun 1763 ia diterima sebagai pengacara di  Honorable Society of Lincoln's Inn dan lulus ujian pengacara pada tahun 1768. Setelah lulus sebagai pengacara, dia kembali ke Queen's College dan memberikan suara dalam pemilihan umum universitas. Sesaat sebelum pemungutan suara, dia mengunjungi perpustakaan universitas dan  menemukan salinan pamflet yang baru diterbitkan oleh Joseph Priestley berjudul "Essays on Government".

Dalam pamflet ini ia menemukan ungkapannya yang paling terkenal, yaitu "The  greatest  happiness  of  the  greatest  number". Berdasarkan pamflet ini, Jeremy Bentham memutuskan untuk meletakkan landasan baru yurisprudensi dan peraturan perundang-undangan mengenai prinsip-prinsip penegakan hukum dan kekuatan pengikatnya terhadap masyarakat. Pekerjaan Jeremy Bentham tidak hanya dilatarbelakangi oleh pamflet  John Priestley, namun juga didasari oleh kekecewaannya terhadap hukum, sehingga alih-alih bekerja sebagai pengacara, ia menulis, mengkritik, dan memberikan saran untuk memperbaiki hukum itu sendiri.

Jeremy Bentham adalah pengagum mendasar ide-ide kodifikasi yang kemudian berkembang di daratan Eropa, yang membawanya pada tahun 1822 untuk menyatakan bahwa "Codification proposal address by  Jeremy  Bentham  to  all  nations  professing  liberal  opinions,  or  idea  of  a  proposed  all-comprehensive  body  of  law  with  an  accompaniment  of  reason". Selain itu, ia menulis banyak pamflet yang mengungkap pelanggaran hak konstitusional masyarakat Inggris pada saat itu, berpendapat bahwa kebijakan Inggris pada saat itu justru membawa lebih banyak penderitaan bagi masyarakat daripada kebahagiaan, dan mendesak reformasi hukum. Jeremy Bentham juga  menyarankan agar Inggris (yang notabene merupakan sistem common law) hendaknya menganut gagasan-gagasan dari tradisi civil law, termasuk gagasan kodifikasi.

ASPEK HEDONISTIC CALCULUS JEREMY BENTHAM DALAM TEORI UTILITARIANISME

Konsep  dasar  dari  Teori  Utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham  secara  umum  sangat  sederhana,  yaitu bagaimana  memaksimalkan  kedayagunaan  (utility)  dari  suatu  tindakan,  sehingga  dari  proses  tersebut  kita  dapat  menikmati manfaat,  keuntungan,  kebahagiaan,  dan  kenikmatan  (benefit, advantage, pleasure, good,  or  happiness).  Dari  proses memaksimalkan  kedayagunaan  tersebut,  kemudian  diharapkan  pula  untuk  dapat menghalangi  timbulnya  rasa  sakit,  kejahatan, penderitaan,  atau  rasa-rasa  yang  menimbulkan ketidakbahagiaan.

Hedonistic calculus adalah konsep yang dikemukakan oleh teori utilitarianisme, Jeremy Bentham. Konsep ini muncul dalam konteks filsafat etika utilitarianisme. Utilitarianisme menekankan bahwa baik atau buruknya suatu tindakan  dapat ditentukan oleh besarnya kebahagiaan (hedon) atau penderitaan yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, merupakan suatu metode memaksimalkan kegunaan suatu tindakan untuk memperoleh keuntungan, manfaat,  kebahagiaan, dan kesenangan (utility, profit, Pleasure, Goodness, dan Happiness). Proses memaksimalkan efisiensi juga diharapkan  dapat mencegah munculnya rasa sakit, kejahatan, penderitaan, atau emosi yang menimbulkan ketidakbahagiaan.

Hedonistic calculus adalah suatu metode untuk mengukur atau menilai kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan oleh suatu tindakan. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti intensitas, durasi, kepastian, keintiman, kesesuaian (ketepatan waktu), produktivitas, dan kemungkinan konsekuensi lebih lanjut, Bentham menetapkan bahwa "kemalangan" atau "murni" suatu tindakan menunjukkan bahwa kita dapat menghitung "kegembiraan".

Dalam praktiknya, perhitungan hedonistik dapat menjadi suatu bentuk perhitungan yang kompleks dan subjek. Namun, tujuannya adalah untuk mencoba mengukur dan membandingkan hasil tindakan dalam kaitannya dengan kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan.

Berdasarkan hedonistic calculus, keputusan  melakukan korupsi didasarkan pada perhitungan keuntungan dan kerugian pribadi yang mungkin timbul dari perbuatan tersebut. Masyarakat cenderung melakukan korupsi ketika manfaat yang diperoleh lebih besar dibandingkan risiko dan kerugian yang mungkin ditimbulkan. Memahami perhitungan hedonistik memungkinkan kita mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Sebagai contoh, Bentham akan menganjurkan bahwa suatu kebijakan atau tindakan yang menghasilkan kebahagiaan bersih lebih banyak daripada penderitaan bersih adalah tindakan yang lebih baik secara etis menurut prinsip utilitarianisme. Namun, metode ini juga telah menjadi objek kritik, dan beberapa filsuf dan etis berpendapat bahwa mengukur kebahagiaan dengan cara ini dapat menjadi sulit atau bahkan tidak memadai untuk mengatasi berbagai kompleksitas dalam kehidupan manusia

gambar dibuat sendiri
gambar dibuat sendiri

MENGAPA ASPEK HEDONISTIC CALCULUS DIKAITKAN DENGAN FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA?

Konsep utiliti diperkenalkan pertama kali oleh John Stuart Mill (1806-1873) (John S. Mill, 1879). Mill memperbaiki teori utiliti dari gurunya Jeremi Bentham (1748-1832) dengan yang dikenal sebagai Hedonistic Calculus. Pada dasarnya Bentham mengatakan bahwa membuat sejumlah keputusan moral harus berdasar pada analisa biaya dan keuntungan (cost and benefit analysis) yang bertujuan untuk memaksimalkan hasil yang pada akhirnya memuaskan para pembuat keputusan. Mill mengoreksi pendekatan aliran utiliti dengan mengatakan bahwa keputusan yang diambil seharusnya tidak hanya untuk menyenangkan beberapa individu saja melainkan juga memaksimalkan hasil dengan memberi dampak kebahagiaan buat banyak indvidu yang lain.Hedonistic Calculus, yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham, memiliki kaitan dengan fenomena korupsi di indonesia karena memberikan suatu kerangka kerja untuk mengukur tingkat kebahagiaan atau kepuasan yang mungkin timbul dari suatu tindakan. Dalam konteks korupsi, pemahaman tentang bagaimana tindakan tersebut mempengaruhi kebahagiaan atau penderitaan merupakan pertimbangan penting untuk menganalisis dampak moral dan sosial dari korupsi.

MENGAPA GAYA HEDONISTIC SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR TIMBULNYA FENOMENA KEJAHATAN KORUPSI DI INDONESIA?

penting untuk dicatat bahwa tidak sempurna untuk menyatakan bahwa gaya hidup hedonistik secara eksklusif sebagai faktor timbulnya korupsi pada Indonesia atau pada negara mana pun. Korupsi lebih kompleks dan  ditentukan oleh sejumlah faktor sosial, politik, ekonomi, serta budaya. saat kita menyampaikan korupsi, kita wajib  mempertimbangkan dinamika yang lebih luas serta tak jarang melibatkan struktur kelembagaan, praktik politik, dan  kondisi sosial ekonomi.

Meskipun demikian, beberapa orang mungkin beropini bahwa sikap hedonistik, yang menekankan kepuasan diri sendiri serta kenikmatan langsung, dapat memicu sikap koruptif. Beberapa kemungkinan korelasi atau faktor yang bisa dihubungkan dengan gaya hidup hedonistik serta korupsi melibatkan

  • Materialisme yang Berlebihan: Gaya hidup hedonistik yang sangat materialistik dan berorientasi pada konsumsi berlebihan dapat menciptakan tekanan finansial pada individu. Untuk memenuhi gaya hidup yang mahal, seseorang mungkin cenderung terlibat dalam tindakan korupsi untuk memperoleh kekayaan secara ilegal.
  • Ketidakpuasan dan Ambisi yang Berlebihan: Jika individu memiliki orientasi yang sangat hedonistik dan tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya, mereka mungkin lebih cenderung terlibat dalam tindakan korupsi untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi atau memenuhi ambisi pribadi mereka.
  • Ketidakpatuhan terhadap Norma dan Etika: Orang-orang yang menganut gaya hidup hedonistik mungkin cenderung kurang memperhatikan norma-norma etika dan moral. Ini dapat membuat mereka lebih rentan terhadap perilaku yang melanggar hukum, termasuk korupsi.
  • Kurangnya Keterlibatan Sosial: Gaya hidup hedonistik yang sangat fokus pada diri sendiri mungkin membuat individu kurang peduli terhadap konsekuensi sosial atau dampak negatif tindakan mereka pada masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan perilaku koruptif tanpa mempertimbangkan konsekuensi lebih luas.
  • Budaya yang Tidak Menghargai Keadilan dan Integritas: Jika budaya atau lingkungan tempat seseorang tinggal tidak menghargai nilai-nilai keadilan, integritas, dan transparansi, individu mungkin merasa lebih mudah untuk terlibat dalam korupsi tanpa takut konsekuensi moral atau hukum.

Namun, perlu diingat bahwa ini adalah generalisasi dan tidak semua individu yang mengadopsi gaya hidup hedonistik akan terlibat dalam korupsi. Korupsi melibatkan sejumlah faktor kompleks, dan pendekatan yang holistik dan kontekstual diperlukan untuk memahami dan mengatasi masalah ini.

MEMAHAMI FENOMENA KORUPSI

untuk memerangi korupsi, kita perlu memahami akar permasalahannya. fenomena korupsi di Indonesia tidak bisa dipahami secara terisolasi, namun wajib  dicermati dalam konteks sejarah, budaya, dan  sistem politik yang ada.

Sejarah korupsi di Indonesia bisa ditelusuri semenjak masa kolonial. Praktik korupsi sudah menjadi bagian asal budaya politik pada Indonesia, di mana kekuasaan dan  kekayaan sering digunakan untuk memperkaya diri sendiri daripada untuk kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, faktor-faktor seperti rendahnya honor  pejabat publik, kurangnya transparansi serta akuntabilitas, serta lemahnya sistem aturan juga berperan dalam memperkuat fenomena korupsi pada Indonesia. seluruh ini menciptakan lingkungan yang aman bagi para pelaku korupsi buat beroperasi.


KONTEKS SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA

Untuk memahami fenomena korupsi di Indonesia, kita perlu melihat konteks sejarahnya. Sejak masa kolonial Belanda hingga masa Orde Baru, korupsi telah menjadi masalah yang mendarah daging di Indonesia. Praktek korupsi telah diwariskan dari generasi ke generasi, membentuk pola perilaku yang sulit untuk diubah. Selama puluhan tahun, korupsi telah menjadi akar dari sistem pemerintahan dan menjadi bagian dari budaya politik di Indonesia.

gambar dibuat sendiri
gambar dibuat sendiri

BAGAIMANA FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN ASPEK HEDONISTIC CALCULUS

Menerapkan konsep Hedonistic Calculus untuk menganalisis fenomena korupsi di Indonesia dapat melibatkan pertimbangan berbagai faktor yang mempengaruhi kebahagiaan dan penderitaan dalam masyarakat. Dalam konteks korupsi di Indonesia, kalkulus hedonistik dapat menjelaskan tentang mengapa pejabat publik dan orang-orang yang memiliki kekuasaan tak jarang terlibat dalam tindakan korupsi. Mereka selalu melihat dan mendapat peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi dalam bentuk uang atau kekuasaan yang lebih besar, sementara risiko dan konsekuensi hukum yang mungkin timbul terlihat jauh lebih kecil.

Penerapan kalkulus hedonistik dalam korupsi juga dapat menjelaskan mengapa masyarakat sering kali terlibat dalam tindakan suap-menyuap. Masyarakat yang merasa tidak memiliki privilege atau tidak memiliki akses yang memadai ke layanan publik tertentu, seperti perizinan atau layanan kesehatan, mungkin melihat suap sebagai satu-satunya cara untuk memperoleh kebutuhan hidup mereka. Dalam konteks ini, korupsi menjadi solusi sementara yang dianggap memberikan keuntungan pribadi. Sebagai contoh, kita dapat mengevaluasi dampak korupsi dari sudut pandang intensitas, durasi, kepastian, keakraban, propinquity, produktivitas, dan kemungkinan konsekuensi jangka panjang.

  • Intensitas

Seberapa besar dampak korupsi terhadap masyarakat? Korupsi yang merajalela dapat menciptakan ketidaksetaraan ekonomi mauoun sosial, dan dapat membatasi akses ke layanan publik, serta merugikan ekonomi suatu entitas, sehingga meningkatkan penderitaan di masyarakat.

  • Durasi

Seberapa lama korupsi telah menjadi masalah di Indonesia? Jika korupsi telah berlangsung dalam waktu yang lama, dampak negatifnya mungkin semakin terasa dan menyebabkan penderitaan bagi masyrakat yang lebih lama.

  • Kepastian

Sejauh mana masyarakat yakin bahwa pelaku korupsi akan dihukum? Jika sistem penegakan hukum tidak efektif atau tumpul dan pelaku korupsi selalu diringankan atas sanksinya, kepastian hukum yang rendah dapat meningkatkan penderitaan masyarakat.

  • Keakraban

Seberapa sering masyarakat mengalami korupsi dalam kehidupan sehari-hari? Mungkin tanpa mereka sadari mereka telah melakukan tindakan korupsi. Korupsi yang sering terjadi dapat membuat masyarakat merasa putus asa atau tidak memiliki kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi.

  • Propinquity (kedekatan waktu) 

Apakah konsekuensi dari korupsi terjadi secara langsung atau segera, dan apakah efeknya terasa dalam jangka waktu yang lebih panjang? Misalnya, korupsi yang menyebabkan kekurangan dana untuk layanan kesehatan dapat memiliki dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan masyarakat.

  • Produktivitas

Sejauh mana korupsi membatasi pembangunan ekonomi dan investasi dikalangan masyarakat? Korupsi yang merugikan pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

  • Kemungkinan konsekuensi jangka panjang

Apakah korupsi memiliki dampak jangka panjang yang signifikan, misalnya, merusak sistem pendidikan atau kesehatan? Konsekuensi jangka panjang dapat meningkatkan penderitaan masyarakat secara berkelanjutan.

Dengan melihat dan menyadari sudut pandang ini, kita dapat menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia memiliki dampak negatif yang cukup signifikan pada kebahagiaan masyarakat, terutama karena menimbulkan penderitaan melalui ketidaksetaraan, ketidakpastian dan tumpulnya sistem hukum, serta pembatasan akses terhadap layanan publik. Oleh karena itu, dari perspektif Hedonistic Calculus, upaya untuk mengurangi korupsi dapat dianggap sebagai tindakan yang mendorong kebahagiaan bersih yang lebih besar dalam masyarakat.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KALKULUS HEDONISTIK DALAM KASUS KORUPSI

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kalkulus hedonistik dalam kasus korupsi di Indonesia. Pertama, dengan adanya budaya toleransi terhadap korupsi di masyarakat dapat mempengaruhi sudut pandang individu tentang risiko dan konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan korupsi. Jika korupsi dianggap sebagai hal yang sepele atau diterima dalam masyarakat, maka seseorang mungkin cenderung melihat manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan risiko yang mungkin akan terjadi.

Selain itu, lemahnya penegakan hukum yang tajam dan efektif juga dapat mempengaruhi kalkulus hedonistik dalam korupsi. Jika seseorang merasa bahwa risiko ditangkap atau dihukum karena korupsi sangat rendah, maka mereka mungkin cenderung terlibat dalam tindakan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk memiliki sistem hukum yang kuat dan penegakan yang tegas untuk mengurangi insentif bagi individu untuk melakukan korupsi.

STUDI KASUS FENOMENA KEJAHATAN KORUPSI DI INDONESIA

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang korupsi di Indonesia, mari kita lihat beberapa studi kasus yang menyoroti masalah ini. Salah satu contoh yang terkenal adalah kasus korupsi Century Bank yang terjadi pada tahun 2008. Dalam kasus ini, sejumlah pejabat publik diduga menerima suap untuk memfasilitasi bailout bank yang mengalami kesulitan keuangan. Kasus ini mencerminkan bagaimana faktor-faktor seperti keuntungan pribadi dan kerentanan sistem dapat mempengaruhi keputusan individu untuk terlibat dalam korupsi.

Kasus lain yang menjadi sorotan masyarakat adalah korupsi di sektor minyak dan gas Indonesia. Praktek suap-menyuap dan penyalahgunaan kekuasaan di sektor ini telah merugikan keuangan Indonesia dalam miliaran dolar. Hal ini menunjukkan bagaimana korupsi dapat merusak pembangunan ekonomi dan mencegah negara dalam membangun infrastruktur lainnya. Studi kasus ini memberikan wawasan tentang dampak negatif korupsi terhadap masyarakat dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

IMPLIKASI PENERAPAN KALKULUS HEDONISTIK DALAM KORUPSI

Penerapan kalkulus hedonistik dalam korupsi memiliki implikasi yang signifikan. Pertama, kita dapat melihat bahwa korupsi adalah fenomena yang cukup kompleks dan tidak dapat diatasi hanya dengan hukuman yang lebih berat. Dalam beberapa kasus, risiko dan kerugian yang mungkin timbul dari tindakan korupsi mungkin tidak cukup kuat untuk mencegah individu terlibat dalam korupsi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan berbasis pada pemahaman yang lebih dalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kalkulus hedonistik dalam korupsi.

Selain itu, penggunaan kalkulus hedonistik juga dapat membantu kita mengidentifikasi strategi pencegahan yang efektif. Dengan memahami motivasi individu untuk terlibat dalam korupsi, kita dapat mengembangkan pendekatan yang lebih fokus pada pemecahan akar masalah. Misalnya, dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan publik yang berkualitas dan mengurangi kesenjangan sosial, kita dapat mengurangi insentif bagi individu untuk terlibat dalam korupsi.

MELAWAN KORUPSI MELALUI PENDEKATAN KALKULUS HEDONISTIK YANG DIREVISI

Untuk melawan korupsi di Indonesia, diperlukan pendekatan yang komprehensif yang mencakup perubahan dalam kalkulus hedonistik yang mendasari pengambilan keputusan individu. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap praktik korupsi dan meningkatkan hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi. Dengan meningkatkan risiko dan konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan korupsi, individu akan lebih berpikir dua kali sebelum terlibat dalam praktik tersebut.

Selain itu, penting untuk membentuk budaya yang tidak mentolerir korupsi di masyarakat. Melalui pendidikan dan kampanye sosial yang tepat, kita dapat menciptakan kesadaran tentang dampak negatif korupsi dan mendorong individu untuk berperilaku dengan integritas. Menggali nilai-nilai etika dan moral dalam pendidikan juga dapat membantu mengurangi insentif bagi individu untuk melakukan korupsi.

PERAN PENDIDIKAN DALAM PENCEGAHAN KORUPSI DI INDONESIA

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah korupsi. Dengan memberikan pendidikan yang berkualitas dan mempromosikan nilai-nilai integritas, kita dapat membentuk generasi muda yang berpikiran kritis dan bertanggung jawab. Pendidikan juga dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka dan pentingnya partisipasi aktif dalam pemerintahan. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi alat yang kuat dalam memerangi korupsi dan membangun masyarakat yang lebih adil dan berintegritas.


UPAYA PEMERINTAH DALAM MENANGANI KORUPSI DI INDONESIA

Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya untuk menangani korupsi di negara ini. Salah satu langkah yang diambil adalah pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003. KPK bertugas untuk menyelidiki dan menuntut kasus korupsi serta mencegah praktik korupsi di sektor publik. Meskipun KPK telah mencapai beberapa keberhasilan, masih banyak tantangan yang perlu diatasi dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia.

Selain itu, pemerintah juga telah meluncurkan berbagai program dan kebijakan untuk mengurangi korupsi. Misalnya, program pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement) telah diperkenalkan untuk mengurangi praktik suap dalam pengadaan publik. Selain itu, pemerintah juga telah meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran negara melalui sistem pelaporan keuangan yang lebih baik.

KESIMPULAN

Korupsi merupakan masalah serius di Indonesia yang dapat merusak pertumbuhan ekonomi dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam melawan korupsi, penting untuk memahami motivasi individu atau kelompok dalam melakukan tindakan korupsi. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah kalkulus hedonistik, yang memfokuskan pada keinginan manusia untuk mencapai kepuasan dan menghindari penderitaan.

Konsep  dasar  dari  Teori  Utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham  secara  umum  sangat  sederhana,  yaitu  bagaimana  memaksimalkan  kedayagunaan  (utility)  dari  suatu  tindakan,  sehingga  dari  proses  tersebut  kita  dapat  menikmati  manfaat,  keuntungan,  kebahagiaan,  dan  kenikmatan  (benefit, advantage, pleasure, good,  or  happiness).  Dari  proses  memaksimalkan  kedayagunaan  tersebut,  kemudian  diharapkan  pula  untuk  dapat menghalangi  timbulnya  rasa  sakit,  kejahatan,  penderitaan,  atau  rasa-rasa  yang  menimbulkan ketidakbahagiaan.

Konsep utiliti diperkenalkan pertama kali oleh John Stuart Mill (1806-1873) (John S. Mill, 1879). Mill memperbaiki teori utiliti dari gurunya Jeremi Bentham (1748-1832) dengan yang dikenal sebagai Hedonistic Calculus. Pada dasarnya Bentham mengatakan bahwa membuat sejumlah keputusan moral harus berdasar pada analisa biaya dan keuntungan (cost and benefit analysis) yang bertujuan untuk memaksimalkan hasil yang pada akhirnya memuaskan para pembuat keputusan. Hedonistic Calculus juga memiliki sudut pandang intensitas, durasi, kepastian, keakraban, propinquity, produktivitas, dan kemungkinan konsekuensi jangka panjang.

Dalam penerapannya, kalkulus hedonistik dapat membantu kita menganalisis kasus korupsi di Indonesia dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kalkulus hedonistik dalam tindakan korupsi. Dengan memahami faktor-faktor ini, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam memberantas korupsi dan mencegahnya di masa depan. Melalui pendekatan yang direvisi dan pendidikan yang kuat, kita dapat membangun masyarakat yang lebih sadar akan bahaya korupsi dan lebih mampu mengambil tindakan yang tepat saat mereka menghadapinya.

Daftar Pustaka

Pratiwi, E., Negoro, T., & Haykal, H. (2022). "Teori Utilitarianisme Jeremy Bentham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujian Produk Hukum?" Binamulia Hukum, 11(2), 177-191. DOI: 10.37893/jbh.v11i2.732.

Atmoko, D., & Syauket, A. (2022). "Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Ditinjau dari Perspektif Dampak Serta Upaya Pemberantasan." Binamulia Hukum, 11(2), 177-191. DOI: 10.37893/jbh.v11i2.732.

Nurvita, T. (2020). "Fraud Ditinjau dari Falsafah Sains dan Etika Bisnis Kasus Mega Korupsi PT ASURANSI JIWASRAYA." ESENSI: Jurnal Manajemen Bisnis, 23(1).

Parameshwara, P., & Riza, K. (2023). "Tindak Pidana Korupsi dalam Konteks Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corruption Crimes in the Context of Corporate Criminal Liability)." Jurnal Studi Multidisiplin Ilmu, 1(1), 25-34. DOI: 10.35912/jasmi.v1i1.1973.

Simanjuntak, G. F. (2023). "Ancaman Pidana Mati Perspektif Teori Retributive dan Teori Utilitarianisme di Indonesia." Pediaqu: Jurnal Pendidikan Sosial dan Humaniora, 2(1). P-ISSN: 2964-7142; E-ISSN: 2964-6499.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun