Mohon tunggu...
Tiara Aisyah
Tiara Aisyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Mercu Buana

Nama: Tiara Aisyah Shafarina NIM: 43222010036 Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik Dosen: Prof.Dr.Apollo , Ak , M. Si. Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas Kuis: Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   15:43 Diperbarui: 14 Desember 2023   16:34 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hedonistic calculus adalah konsep yang dikemukakan oleh teori utilitarianisme, Jeremy Bentham. Konsep ini muncul dalam konteks filsafat etika utilitarianisme. Utilitarianisme menekankan bahwa baik atau buruknya suatu tindakan  dapat ditentukan oleh besarnya kebahagiaan (hedon) atau penderitaan yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, merupakan suatu metode memaksimalkan kegunaan suatu tindakan untuk memperoleh keuntungan, manfaat,  kebahagiaan, dan kesenangan (utility, profit, Pleasure, Goodness, dan Happiness). Proses memaksimalkan efisiensi juga diharapkan  dapat mencegah munculnya rasa sakit, kejahatan, penderitaan, atau emosi yang menimbulkan ketidakbahagiaan.

Hedonistic calculus adalah suatu metode untuk mengukur atau menilai kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan oleh suatu tindakan. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti intensitas, durasi, kepastian, keintiman, kesesuaian (ketepatan waktu), produktivitas, dan kemungkinan konsekuensi lebih lanjut, Bentham menetapkan bahwa "kemalangan" atau "murni" suatu tindakan menunjukkan bahwa kita dapat menghitung "kegembiraan".

Dalam praktiknya, perhitungan hedonistik dapat menjadi suatu bentuk perhitungan yang kompleks dan subjek. Namun, tujuannya adalah untuk mencoba mengukur dan membandingkan hasil tindakan dalam kaitannya dengan kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan.

Berdasarkan hedonistic calculus, keputusan  melakukan korupsi didasarkan pada perhitungan keuntungan dan kerugian pribadi yang mungkin timbul dari perbuatan tersebut. Masyarakat cenderung melakukan korupsi ketika manfaat yang diperoleh lebih besar dibandingkan risiko dan kerugian yang mungkin ditimbulkan. Memahami perhitungan hedonistik memungkinkan kita mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Sebagai contoh, Bentham akan menganjurkan bahwa suatu kebijakan atau tindakan yang menghasilkan kebahagiaan bersih lebih banyak daripada penderitaan bersih adalah tindakan yang lebih baik secara etis menurut prinsip utilitarianisme. Namun, metode ini juga telah menjadi objek kritik, dan beberapa filsuf dan etis berpendapat bahwa mengukur kebahagiaan dengan cara ini dapat menjadi sulit atau bahkan tidak memadai untuk mengatasi berbagai kompleksitas dalam kehidupan manusia

gambar dibuat sendiri
gambar dibuat sendiri

MENGAPA ASPEK HEDONISTIC CALCULUS DIKAITKAN DENGAN FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA?

Konsep utiliti diperkenalkan pertama kali oleh John Stuart Mill (1806-1873) (John S. Mill, 1879). Mill memperbaiki teori utiliti dari gurunya Jeremi Bentham (1748-1832) dengan yang dikenal sebagai Hedonistic Calculus. Pada dasarnya Bentham mengatakan bahwa membuat sejumlah keputusan moral harus berdasar pada analisa biaya dan keuntungan (cost and benefit analysis) yang bertujuan untuk memaksimalkan hasil yang pada akhirnya memuaskan para pembuat keputusan. Mill mengoreksi pendekatan aliran utiliti dengan mengatakan bahwa keputusan yang diambil seharusnya tidak hanya untuk menyenangkan beberapa individu saja melainkan juga memaksimalkan hasil dengan memberi dampak kebahagiaan buat banyak indvidu yang lain.Hedonistic Calculus, yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham, memiliki kaitan dengan fenomena korupsi di indonesia karena memberikan suatu kerangka kerja untuk mengukur tingkat kebahagiaan atau kepuasan yang mungkin timbul dari suatu tindakan. Dalam konteks korupsi, pemahaman tentang bagaimana tindakan tersebut mempengaruhi kebahagiaan atau penderitaan merupakan pertimbangan penting untuk menganalisis dampak moral dan sosial dari korupsi.

MENGAPA GAYA HEDONISTIC SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR TIMBULNYA FENOMENA KEJAHATAN KORUPSI DI INDONESIA?

penting untuk dicatat bahwa tidak sempurna untuk menyatakan bahwa gaya hidup hedonistik secara eksklusif sebagai faktor timbulnya korupsi pada Indonesia atau pada negara mana pun. Korupsi lebih kompleks dan  ditentukan oleh sejumlah faktor sosial, politik, ekonomi, serta budaya. saat kita menyampaikan korupsi, kita wajib  mempertimbangkan dinamika yang lebih luas serta tak jarang melibatkan struktur kelembagaan, praktik politik, dan  kondisi sosial ekonomi.

Meskipun demikian, beberapa orang mungkin beropini bahwa sikap hedonistik, yang menekankan kepuasan diri sendiri serta kenikmatan langsung, dapat memicu sikap koruptif. Beberapa kemungkinan korelasi atau faktor yang bisa dihubungkan dengan gaya hidup hedonistik serta korupsi melibatkan

  • Materialisme yang Berlebihan: Gaya hidup hedonistik yang sangat materialistik dan berorientasi pada konsumsi berlebihan dapat menciptakan tekanan finansial pada individu. Untuk memenuhi gaya hidup yang mahal, seseorang mungkin cenderung terlibat dalam tindakan korupsi untuk memperoleh kekayaan secara ilegal.
  • Ketidakpuasan dan Ambisi yang Berlebihan: Jika individu memiliki orientasi yang sangat hedonistik dan tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya, mereka mungkin lebih cenderung terlibat dalam tindakan korupsi untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi atau memenuhi ambisi pribadi mereka.
  • Ketidakpatuhan terhadap Norma dan Etika: Orang-orang yang menganut gaya hidup hedonistik mungkin cenderung kurang memperhatikan norma-norma etika dan moral. Ini dapat membuat mereka lebih rentan terhadap perilaku yang melanggar hukum, termasuk korupsi.
  • Kurangnya Keterlibatan Sosial: Gaya hidup hedonistik yang sangat fokus pada diri sendiri mungkin membuat individu kurang peduli terhadap konsekuensi sosial atau dampak negatif tindakan mereka pada masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan perilaku koruptif tanpa mempertimbangkan konsekuensi lebih luas.
  • Budaya yang Tidak Menghargai Keadilan dan Integritas: Jika budaya atau lingkungan tempat seseorang tinggal tidak menghargai nilai-nilai keadilan, integritas, dan transparansi, individu mungkin merasa lebih mudah untuk terlibat dalam korupsi tanpa takut konsekuensi moral atau hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun