Kadang-kadang aku kepikiran, apakah di Mars benar-benar ada kehidupan? Apakah di sana ada manusia, ada air, ada tetumbuhan, ada segala sesuatu yang membuat definisi tentang kehidupan tercukupi? Bukan, bukan karena aku tertarik dengan astronomi, dengan benda-benda luar angkasa, atau dengan alien dan segala tetek-bengeknya. Aku hanya tertarik dengan satu hal: jika benar di Mars ada kehidupan, apakah di sana ada kopi?
*
Jumat, 31 Maret 2017. Pukul 10:10 malam.
“Malam, tante…”
“Hai! Apa kabar?”
“Baik,”
“Sendirian?”
“Tepatnya duluan. Temen-temen masih otewe. Bilangnya sih gitu…”
“Hmm, ok. So, mau ngopi apa malam ini?”
“As ussual,”
“Ah, Ok!”
Pelangganku yang satu ini terbilang unik. Kami menyebutnya Mas Sidikalang. Ya, tentu bukan nama sebenarnya. Itu hanya sebutan saja karena dia selalu memesan satu jenis kopi robusta dari tanah Sumatera itu; Sidikalang. Tak pernah sekali pun mau mencoba jenis kopi yang lain. “Dia benar-benar tipe setia,” celoteh Bagja, barista di kedaiku.
*
Pukul 11:00 malam.
Kedaiku masih ramai. Hanya tersisa dua bangku kosong di teras kedai. Malam ini, seperti pada Jum’at malam-Jum’at malam sebelumnya, tamu-tamu kami datang berkelompok. Rata-rata mereka datang bertiga. Di antara satu kelompok dengan kelompok lainnya seringkali tak saling kenal sebelumnya. Kopi dan kedai kopiku yang kemudian menautkan mereka.
*
Jarum jam terus meluncur hingga si pendek dan si panjang kawin di angka 12 ketika seorang pria berjaket merah dan bertopi hitam memasuki kedai kami. Perawakannya tinggi dan tegap. Wajahnya lonjong dengan dagu runcing dan dengan ukuran mata yang terlihat lebih besar dari biasanya. Hidungnya mancung namun terlihat tipis. Kami tak pernah melihat pria ini sebelumnya.
“Beri saya yang terbaik,” pesannya dengan suara berat.
“Di sini kami hanya menyajikan yang terbaik, Mas” ucapku dengan senyum promosi, “Tapi, Ok. Masnya suka yang seperti apa? Bitter, Lite, Atau…”
“Terserah kalian. Beri saya yang terbaik,” timpalnya sembari mengulang pesanannya.
“Ok!” kataku, “Bagja, kopi terserah lo!” ucapku kemudian kepada Bagja.
Pria itu beranjak duduk di bangku yang ada di teras kedai. Cara duduknya sedikit aneh, menurutku. Lebih tepatnya, kaku. Lengan kanannya ditangkupkan sejajar di atas lengan kirinya di atas meja. Itu bukan cara duduk di sebuah kedai, pikirku. Itu lebih mirip cara duduk seorang bawahan di hadapan atasannya, atau cara duduk seorang karyawan baru di ruang meeting. Formal betul. Ah, come on! Buat apa sih menilai cara duduk orang lain? Nggak penting banget! Ya, nggak, sih?
Tapi tunggu dulu! Sikap duduknya segera berubah ketika secangkir kopi sudah tersaji di hadapannya. Dia terlihat mulai rileks, bahkan sangat rileks. Matanya yang lebar semakin lebar. Beberapa kali ia menghirup aroma kopi yang menyeruak dari mug putih dengan teraan quote 'Life is too short to drink the best coffee in the world!'. Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum puas sambil menggelengkan kepalanya pelan dan memejamkan matanya seketika.
Setelah beberapa saat, dia mulai mengaduk ‘jamur’ tubruk yang mumbul-mengembang di bagian atas mug. Caranya mengaduk pelan dan begitu seksama. Entah dari mana dia tahu cara mengaduk sajian kopi tubruk spesial kedai kami itu. Tapi dari caranya mendiamkan kopi barang sejenak baru kemudian mengaduknya dengan pelan, pastilah pernah ada seseorang yang memberitahukannya.
Hidungnya yang mancung dan tipis itu mengembang-kempis menikmati aroma kopi yang makin menyeruak setelah diaduk. Sesekali didekatkan hidungnya ke mug. Hidung mancung itu bahkan hampir menyentuh permukaan kopi! Kemudian, diambilnya sesendok kecil seduhan kopi dari mugnya. Diseruputnya dengan cepat. Dan, ah, aku merasakan kopi itu meluncur cukup deras membasahi lidahnya kemudian melambat ketika menerobos kerongkongannya dan seketika kopi itu menjadi energi yang menjalar pelan ke otaknya. Dia, sekali lagi, tersenyum puas.
Dan seperti yang biasa kulakukan kepada setiap pelangganku, aku beranjak mendekati pelanggan baruku yang datang tepat jam dua-belas malam ini.
“Bagaimana kopinya?” tanyaku.
Pria itu tersenyum puas dengan mata yang melebar, “Sangat asyik!”
“Asyik? Hmm… baru kali ini saya mendengar komentar rasa kopi yang sangat asyik. Biasanya, sangat enak,”
Pria itu tertawa ringan, “Ya. Tapi ini memang sangat asyik,”
“By the way, nama saya Didi,” ucapku sambil menjulurkan tangan perkenalan, “Saya pemilik kedai ini,”
“Marchzabel Dus Point Un!”
“Sorry?”
“Panggil saja Mark”
“Oh, Ok, Mark. Maaf, namamu kedengaran asing di telinga saya,”
“It’s Ok. Tidak apa-apa,”
“Tinggal di mana, Mark?”
Mark tak langsung menjawab. Atau dia tengah menimbang-nimbang apakah harus menjawab pertanyaanku atau tidak.
“Saya tinggal jauh dari sini. Sangat jauh. Sangat sangat jauh,”
“Wow! Sejauh apa?”
“Kamu tidak akan percaya,”
“Haha! Tergantung sejauh apa tempat yang akan kau sebutkan. Selama masih di Jabotabek, buat saya sih nggak jauh. Pelanggan kami malah ada yang dari Malang. Jauh itu, di Jawa Timur, tapi dia selalu mampir ke sini setiap kali ke Jakarta. Ada satu lagi, tinggalnya lebih jauh. Namanya Nando. Dia orang Jepang. Dia benar-benar orang Jepang, dia tinggal di sana. Setahun kemarin, dia bolak-balik Jakarta Tokyo. Dan setiap ke Jakarta, dia selalu mampir kesini. Pernah suatu kali ia membatalkan penerbangannya hanya karena lupa mampir ke sini. Gila, nggak? Dia sudah di Sukarno-Hatta lho waktu itu. Gila, kan? Bahkan kedai ini, dia yang namain. So, buat saya, jauh atau nggak itu relatif. Itu tadi buktinya, Nando itu dari Jepang, dia pelanggan kedai ini, dan dia merasa dekat tuh!” cerocosku, “Kecuali, ya kecuali, kamu berasal dari luar Bumi… Nah, itu baru sangat sangat sangat jauh, dan saya nggak akan percaya. Hahaha!” sambungku.
Mark tiba-tiba memandangku dingin, seolah sedang memindai isi otakku atau ingin menghipnotisku agar aku memercayai apa pun yang akan dikatakannya.
Dipandang orang asing dengan cara seperti itu jelas membuatku kikuk.
“Saya memang dari luar bumi,” ucapnya lirih, masih dengan mimik muka dingin.
Aku hampir tersedak Aqua demi mendengar itu, “Dari planet lain, maksudmu?”
“Ya,” jawabnya pendek.
“Hahaha! Planet apa? Crypton?”
“Crypton?” Ucap Mark sambil mengernyitkan dahi, “Hahaha…” Tawanya tiba-tiba meledak mempertontonkan barisan gigi yang rapi. Sebuah kilatan cahaya biru sekelebat menyeruak dari salah satu giginya. Hal itu membuatku langsung terpaku.
“Crypton? Hahahaha!” Mark mengulanginya. Geli benar sepertinya. Atau entahlah. Pikiranku mendadak kacau. Kulihat Mark menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan, Oh my God! aku baru sadar, topi hitam yang dipakainya itu… ya topi itu… ukurannya lebih tinggi daripada topi-topi lazimnya. Aku jadi teringat film-film Hollywood tentang Alien dengan bentuk kepala yang melonjong ke atas. Ya, Tuhan, tolong aku, aku mulai terpengaruh oleh pria aneh ini. Pikiranku mulai berpikir jangan-jangan Mark benar dari luar Bumi. Dan Mark adalah…
“Ya, benar, bagi kalian kami adalah alien,” ucap Mark setengah berbisik seolah dia benar-benar telah memindai isi pikiranku.
“Dan sekali lagi, benar. Kami meretas gelombang radio dan elektromagnetik yang berpendaran di Bumi. Dan kami mampu membaca pikiran manusia,”
Ya, Tuhan! Pekikku dalam hati. Pikiranku makin kacau, berusaha membantah namun tak kuasa karena aku sudah merasa dalam kendalinya. Aku hanya bisa diam, meneguk Aqua hingga tandas, dan berusaha tenang meskipun aku mulai takut memikirkan apapun di depan Mark. Aku takut dia benar-benar bisa membaca pikiranku dan karena itu aku takut dia tahu bahwa otakku saat ini sedang memroses sebuah kesimpulan; aku sedang duduk berhadapan dengan orang gila!
“Tak sepenuhnya salah,” ucap Mark, “Semua penghuni Mars memang gila, tergila-gila dengan kopi,”
“Mars?”
“Ya. Saya datang dari planet Mars.”
Benar-benar gila orang ini! Mars, katanya! Dia datang dari Mars, katanya! Oh, My God! Ya, Tuhaan, benar-benar gila orang ini!
“Hmm, manusia memang selalu melibatkan Tuhan, yah? Bahkan dalam urusan menyimpulkan gila tidaknya seseorang, manusia mem-fait-accompli Tuhan,”
Sialan! Mark benar-benar bisa membaca pikiranku. Dia benar-benar telah masuk ke otakku, memindainya, kemudian memojokkanku. Huff! Okelah, kalau memang dia benar-benar dari Mars maka ini kesempatanku untuk menanyakan rasa penasaranku selama ini. Apakah di Mars ada kopi? Ya, itu yang ingin aku tanyakan. Aku tak peduli dan tak mau tahu selain itu, termasuk bagaimana dia datang ke bumi, mendarat di mana, bagaimana bentuk pesawatnya, dan entah apalagi pun itu. Aku hanya ingin tahu, apakah di Mars ada kopi?
Mark menyeruput kopinya. Matanya kembali melebar. Digelengkan lagi kepalanya beberapa kali seolah tak percaya dengan apa yang dia rasakan. “Ya, di Mars ada kopi, tapi tidak ada yang seasyik ini,”
“Serius, di Mars ada kopi?”
“Sebenarnya tidak ada kopi di Mars, sampai para peneliti kami berhasil menemukan cara merekayasa sebagian kecil area kami agar dapat menyerupai bumi. Hawa di planet kami yang lebih dingin daripada bumi memang lumayan menguntungkan, namun para peneliti kami tetap saja tidak berhasil menanam kopi yang bagus. Hingga akhirnya pemimpin tertinggi kami memutuskan untuk melakukan ekspedisi besar-besaran ke Bumi. Tujuannya hanya satu, mengeruk tanah terbaik yang ada di bumi yang dapat ditanami kopi terbaik,”
“Berhasil?”
“Menjadi lebih baik, memang. Tapi kami tak punya ahli peracik kopi. Itu masalah besar buat kami,”
“Lalu?”
“Kami melakukan ekspedisi lanjutan. Kali ini tujuannya adalah mencari barista terbaik yang ada di muka bumi. Ada seratus barista yang berhasil kami bawa ke Mars. Namun hanya lima yang mampu bertahan hidup. Mereka kini mengelola Alien Kopihaus, satu-satunya kedai kopi yang ada di Mars,”
“Alien Kopihaus?”
“Ya, sama seperti kalian menyebut kami alien, kami juga menyebut kalian alien,”
“Oh!”
“Semuanya menjadi lebih baik setelah kami memiliki barista terbaik, tapi itu tak berarti ekspedisi ke bumi berhenti. Terlebih setelah peneliti kami berhasil menemukan teknologi rekayasa partikel yang memungkinkan kami memisahkan dan menggabungkan kembali partikel pembentuk tubuh kami, pesawat kami tidak perlu mendarat di bumi. Mereka hanya sampai di garis luar atmosfer bumi kemudian kami memecahkan diri, mengurai gelombang elektromagnetik di udara bumi untuk menciptakan rongga sebagai lorong peluncur partikel menuju bumi hingga kami menyatu lagi menjadi seperti semula sesaat setelah mencapai bumi,”
Aku tak bersuara. Aku yakin aku melongo mendengar cerita Mark.
“Meskipun kami sudah memiliki satu racikan kopi spesial, kami tetap melakukan ekspedisi mencari kopi terbaik yang ada di bumi untuk dibawa ke Mars,” lanjut Mark.
“Kalian punya house blend?”
“Ya, Marsabica namanya. Racikan kopi terbaik yang pernah ada di Mars,”
“Hmmh, pasti arabica!”
“Kami meracik berbagai jenis kopi arabica yang tumbuh di seluruh dunia, dan racikan beberapa arabica yang tumbuh di Indonesia adalah masterpiecenya. Itulah Marsabica,”
“Lebih asyik dari ini?”
Mark tersenyum. Kemudian menggelengkan kepalanya, “Tidak lebih asyik tapi juga tidak tak lebih asyik,”
Aku menyondongkan kepalaku ke depan sambil mengernyitkan dahi. Mark tahu aku bingung.
“Kopi ini sangat mirip Marsabica. Lebih asyik sedikit,” katanya.
Kini, giliran aku yang tersenyum puas. Bangga betul rasanya.
“Apa nama kopi ini?” tanyanya kemudian.
Aku gelagapan mendengar pertanyaan itu. Bukan apa-apa, aku memang nggak tahu kopi apa yang tadi dibikin oleh Bagja baristaku.
“Bagja, kopi apa yang lo bikin tadi?” tanyaku kepada Bagja.
Mendengar pertanyaanku, Bagja cengengesan sebelum kemudian menjawab dengan enteng, “Kopi terserah gue,” katanya.
Mark tersenyum lebar mendengar jawaban Bagja. “Apapun itu, ini adalah kopi yang asyik,” ucap Mark kemudian.
“Omong-omong, sepertinya kalian sangat terobsesi dengan kopi?” kataku.
“Mungkin lebih dari itu,”
“Maksudnya?”
“Berabad-abad lamanya peneliti kami berusaha menemukan pil kebahagian, namun tak pernah berhasil. Hingga ketika kami meretas bumi, kami berhasil mengidentifikasi keberadaan kopi. Rupanya, itulah yang selama ini ingin diciptakan oleh para peneliti kami. Maka, kami pun melakukan ekspedisi ke bumi,”
“So, tujuan ekspedisi kalian selama ini ke bumi semata-mata untuk kopi?”
“Yup!” ucap Mark meyakinkan, “Maka berbahagialah kalian karena hidup di bumi dimana kopi tumbuh dengan baik,”
Kali ini aku mengangguk-angguk. Entah karena perasaan bangga sebagai manusia bumi atau karena berusaha memercayai semua yang Mark katakan.
Tak terasa sudah jam 2 dini hari. Dan aku baru sadar bahwa kedaiku sudah sepi, para pelangganku sudah pada pulang. Rupanya Mark, sekali lagi, mampu membaca isi otakku. Dia tersenyum sebelum kemudian berpamitan.
Mark merogoh kantong jaketnya dan aku segera mencegahnya. “Tidak usah bayar. Kali ini gratis,”
Mark tak sepakat, ia tetap ingin membayarnya. Dan aku tetap menolaknya. Hingga akhirnya dia mengeluarkan sebuah benda bulat seukuran kepalan tangan. Benda itu berwarna putih dengan guratan warna merah di tengahnya. Astaga! Guratan itu adalah logo kedai kami, logo Laku Kopi!
“Simpanlah, biar saya bisa langsung mengenali koordinat Laku Kopi,” ujarnya.
“Ok. Akan saya simpan,” kataku, “Dan anytime, silakan datang lagi kesini. Sesukamu. Dan pesanlah kopi semaumu,”
Mark mengangguk. Tersenyum. Kemudian melangkah pergi. Aku tak melihat lebih lanjut apa yang terjadi padanya, bagaimana ia memecah tubuhnya menjadi partikel-partikel kemudian menghamburkan dirinya melalui rongga udara Bumi untuk menjangkau pesawatnya.
***
Bintaro, 1 April 2017
@thriologi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H