Tapi tunggu dulu! Sikap duduknya segera berubah ketika secangkir kopi sudah tersaji di hadapannya. Dia terlihat mulai rileks, bahkan sangat rileks. Matanya yang lebar semakin lebar. Beberapa kali ia menghirup aroma kopi yang menyeruak dari mug putih dengan teraan quote 'Life is too short to drink the best coffee in the world!'. Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum puas sambil menggelengkan kepalanya pelan dan memejamkan matanya seketika.
Setelah beberapa saat, dia mulai mengaduk ‘jamur’ tubruk yang mumbul-mengembang di bagian atas mug. Caranya mengaduk pelan dan begitu seksama. Entah dari mana dia tahu cara mengaduk sajian kopi tubruk spesial kedai kami itu. Tapi dari caranya mendiamkan kopi barang sejenak baru kemudian mengaduknya dengan pelan, pastilah pernah ada seseorang yang memberitahukannya.
Hidungnya yang mancung dan tipis itu mengembang-kempis menikmati aroma kopi yang makin menyeruak setelah diaduk. Sesekali didekatkan hidungnya ke mug. Hidung mancung itu bahkan hampir menyentuh permukaan kopi! Kemudian, diambilnya sesendok kecil seduhan kopi dari mugnya. Diseruputnya dengan cepat. Dan, ah, aku merasakan kopi itu meluncur cukup deras membasahi lidahnya kemudian melambat ketika menerobos kerongkongannya dan seketika kopi itu menjadi energi yang menjalar pelan ke otaknya. Dia, sekali lagi, tersenyum puas.
Dan seperti yang biasa kulakukan kepada setiap pelangganku, aku beranjak mendekati pelanggan baruku yang datang tepat jam dua-belas malam ini.
“Bagaimana kopinya?” tanyaku.
Pria itu tersenyum puas dengan mata yang melebar, “Sangat asyik!”
“Asyik? Hmm… baru kali ini saya mendengar komentar rasa kopi yang sangat asyik. Biasanya, sangat enak,”
Pria itu tertawa ringan, “Ya. Tapi ini memang sangat asyik,”
“By the way, nama saya Didi,” ucapku sambil menjulurkan tangan perkenalan, “Saya pemilik kedai ini,”
“Marchzabel Dus Point Un!”
“Sorry?”