“Ya. Saya datang dari planet Mars.”
Benar-benar gila orang ini! Mars, katanya! Dia datang dari Mars, katanya! Oh, My God! Ya, Tuhaan, benar-benar gila orang ini!
“Hmm, manusia memang selalu melibatkan Tuhan, yah? Bahkan dalam urusan menyimpulkan gila tidaknya seseorang, manusia mem-fait-accompli Tuhan,”
Sialan! Mark benar-benar bisa membaca pikiranku. Dia benar-benar telah masuk ke otakku, memindainya, kemudian memojokkanku. Huff! Okelah, kalau memang dia benar-benar dari Mars maka ini kesempatanku untuk menanyakan rasa penasaranku selama ini. Apakah di Mars ada kopi? Ya, itu yang ingin aku tanyakan. Aku tak peduli dan tak mau tahu selain itu, termasuk bagaimana dia datang ke bumi, mendarat di mana, bagaimana bentuk pesawatnya, dan entah apalagi pun itu. Aku hanya ingin tahu, apakah di Mars ada kopi?
Mark menyeruput kopinya. Matanya kembali melebar. Digelengkan lagi kepalanya beberapa kali seolah tak percaya dengan apa yang dia rasakan. “Ya, di Mars ada kopi, tapi tidak ada yang seasyik ini,”
“Serius, di Mars ada kopi?”
“Sebenarnya tidak ada kopi di Mars, sampai para peneliti kami berhasil menemukan cara merekayasa sebagian kecil area kami agar dapat menyerupai bumi. Hawa di planet kami yang lebih dingin daripada bumi memang lumayan menguntungkan, namun para peneliti kami tetap saja tidak berhasil menanam kopi yang bagus. Hingga akhirnya pemimpin tertinggi kami memutuskan untuk melakukan ekspedisi besar-besaran ke Bumi. Tujuannya hanya satu, mengeruk tanah terbaik yang ada di bumi yang dapat ditanami kopi terbaik,”
“Berhasil?”
“Menjadi lebih baik, memang. Tapi kami tak punya ahli peracik kopi. Itu masalah besar buat kami,”
“Lalu?”
“Kami melakukan ekspedisi lanjutan. Kali ini tujuannya adalah mencari barista terbaik yang ada di muka bumi. Ada seratus barista yang berhasil kami bawa ke Mars. Namun hanya lima yang mampu bertahan hidup. Mereka kini mengelola Alien Kopihaus, satu-satunya kedai kopi yang ada di Mars,”