“Panggil saja Mark”
“Oh, Ok, Mark. Maaf, namamu kedengaran asing di telinga saya,”
“It’s Ok. Tidak apa-apa,”
“Tinggal di mana, Mark?”
Mark tak langsung menjawab. Atau dia tengah menimbang-nimbang apakah harus menjawab pertanyaanku atau tidak.
“Saya tinggal jauh dari sini. Sangat jauh. Sangat sangat jauh,”
“Wow! Sejauh apa?”
“Kamu tidak akan percaya,”
“Haha! Tergantung sejauh apa tempat yang akan kau sebutkan. Selama masih di Jabotabek, buat saya sih nggak jauh. Pelanggan kami malah ada yang dari Malang. Jauh itu, di Jawa Timur, tapi dia selalu mampir ke sini setiap kali ke Jakarta. Ada satu lagi, tinggalnya lebih jauh. Namanya Nando. Dia orang Jepang. Dia benar-benar orang Jepang, dia tinggal di sana. Setahun kemarin, dia bolak-balik Jakarta Tokyo. Dan setiap ke Jakarta, dia selalu mampir kesini. Pernah suatu kali ia membatalkan penerbangannya hanya karena lupa mampir ke sini. Gila, nggak? Dia sudah di Sukarno-Hatta lho waktu itu. Gila, kan? Bahkan kedai ini, dia yang namain. So, buat saya, jauh atau nggak itu relatif. Itu tadi buktinya, Nando itu dari Jepang, dia pelanggan kedai ini, dan dia merasa dekat tuh!” cerocosku, “Kecuali, ya kecuali, kamu berasal dari luar Bumi… Nah, itu baru sangat sangat sangat jauh, dan saya nggak akan percaya. Hahaha!” sambungku.
Mark tiba-tiba memandangku dingin, seolah sedang memindai isi otakku atau ingin menghipnotisku agar aku memercayai apa pun yang akan dikatakannya.
Dipandang orang asing dengan cara seperti itu jelas membuatku kikuk.