Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Marsabica

1 April 2017   17:50 Diperbarui: 4 April 2017   17:51 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diambil dari https://www.facebook.com/Lakukopi

Pelangganku yang satu ini terbilang unik. Kami menyebutnya Mas Sidikalang. Ya, tentu bukan nama sebenarnya. Itu hanya sebutan saja karena dia selalu memesan satu jenis kopi robusta dari tanah Sumatera itu; Sidikalang. Tak pernah sekali pun mau mencoba jenis kopi yang lain. “Dia benar-benar tipe setia,” celoteh Bagja, barista di kedaiku.

*

Pukul 11:00 malam.

Kedaiku masih ramai. Hanya tersisa dua bangku kosong di teras kedai. Malam ini, seperti pada Jum’at malam-Jum’at malam sebelumnya, tamu-tamu kami datang berkelompok. Rata-rata mereka datang bertiga. Di antara satu kelompok dengan kelompok lainnya seringkali tak saling kenal sebelumnya. Kopi dan kedai kopiku yang kemudian menautkan mereka.

*

Jarum jam terus meluncur hingga si pendek dan si panjang kawin di angka 12 ketika seorang pria berjaket merah dan bertopi hitam memasuki kedai kami. Perawakannya tinggi dan tegap. Wajahnya lonjong dengan dagu runcing dan dengan ukuran mata yang terlihat lebih besar dari biasanya. Hidungnya mancung namun terlihat tipis. Kami tak pernah melihat pria ini sebelumnya.

“Beri saya yang terbaik,” pesannya dengan suara berat.

 “Di sini kami hanya menyajikan yang terbaik, Mas” ucapku dengan senyum promosi, “Tapi, Ok. Masnya suka yang seperti apa? Bitter, Lite, Atau…”

“Terserah kalian. Beri saya yang terbaik,” timpalnya sembari mengulang pesanannya.

“Ok!” kataku, “Bagja, kopi terserah lo!” ucapku kemudian kepada Bagja.

Pria itu beranjak duduk di bangku yang ada di teras kedai. Cara duduknya sedikit aneh, menurutku. Lebih tepatnya, kaku. Lengan kanannya ditangkupkan sejajar di atas lengan kirinya di atas meja. Itu bukan cara duduk di sebuah kedai, pikirku. Itu lebih mirip cara duduk seorang bawahan di hadapan atasannya, atau cara duduk seorang karyawan baru di ruang meeting. Formal betul. Ah, come on! Buat apa sih menilai cara duduk orang lain? Nggak penting banget! Ya, nggak, sih?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun