Sukirman panen cuan! Liga sepak bola antar desa berlangsung nyaman tanpa hujan! Kemarau panjang membuat setiap laga cerah berawan! Kebetulan hujan hanya sesekali turun deras diluar jadwal pertandingan! Itu biasa! Pernah satu pertandingan, Sukirman usulkan untuk digelar sehari lebih awal. Dan benar saja! Besoknya, setelah laga dimajukan, kalian berharap aku bilang besoknya langsung hujan? Ceritaku tidak sesederhana itu.
Besoknya di desa tidak hujan, tapi hujan di hulu sejak semalam. Sungai meluapkan banjir kiriman. Cuma setengah hari saja, lalu sore kembali surut. Seperti biasa, ikan-ikan besar dari sungai terjebak di sawah. Itulah alasan kenapa nama desa ini Desa Sukorendem. Setiap banjir, sawah di sekitar sungai hanya tergenang dengan riak yang tenang.
Warga beramai-ramai menangkap ikan di sawah sore itu. Sebagian besar ikan toman segede lengan dan gurami babon berat empat kilogram! Kalau laga tak dimajukan sehari; laga sore ini pasti jadi dilema warga; antara mau berburu ikan di sawah; atau menonton pertandingan bola.
Dalam tiap laga; Sukirman dengan ritualnya; menmbawa mangkuk berisi kemenyan dan bara, mengharumi sudut lapangan bola. Sukirman komat kamit merapal mantra. Laga hari ini lancar walau gerimis merintik di menit akhir babak kedua! Sukirman makin dipercaya warga! Pawang hujan sesat itu makin jumawa!
Sukirman dicurigai bermain aman! Tiba-tiba menghindar di awal bulan berikutnya. November bukan bulan ceria. November bulan hujan! Sukirman pun berdalih izin ke Temboro, menjenguk ibu tirinya yang jatuh sakit.
Tapi hujan masih tak kunjung turun hingga awal Desember kelabu.
—
"Sebulan tanpa Sukirman, ponakan kita, anak mendiang Tumijan itu. Ternyata kita masih bisa menggelar laga tanpa gangguan hujan deras ya, Mas. Hahaha!" ujar Tejo, Ketua Panitia Liga. Usai pertandingan final menutup musim liga antar desa.
"Tau begini dari kemarin mending aku yang jadi pawang penggantinya saja! Hahaha!" gelak Marwoto, Sang Kepala Desa, menyambung canda Sang Ketua.
"Untung aku ndak nyari pawang pengganti selepas Sukirman pergi. Jadinya kita bisa hemat empat juta per laga, Mas." ujar Tejo membongkar upah Sukirman.
"Gila! kau menaikkan bayarannya?! Bukankah dia sudah mengusir hujan di 14 laga!?" Marwoto terkejut dengan angka itu.
"Itu belum seberapa dibanding keuntungan kita yang ratusan juta. Ya, dia meraup 56 juta dalam 2 bulan. Padahal dia cuma bermain-main asap kemenyan!" celetuk Tejo nyengir.
"Kau meragukan kemampuannya setelah terbukti selama dua bulan kemarin?" tanya Marwoto heran.
"Justru aku mulai berpikir jangan-jangan dia bisa menjadi pawang hujan secara remotely. Mas tau, maksudku bekerja dari rumah." terka Tejo asal-asalan.
"Pawang hujan WFH? Work From Home? Hahaha! Kau ini ada-ada saja! Kurasa aku juga bakal percaya itu. Tapi perihal dia izin ke Temboro; menjenguk ibunya yang lagi sakit; aku agak ragu, Jo. Seharusnya dia sudah kembali kesini begitu ibunya sembuh kan? Tapi sudah sebulan tidak nongol lagi batang hidungnya! Di telfon pun sudah tidak aktif! Dasar ponakan ular!" gerutu Marwoto sembari berjalan menuju podium.
“Sepertinya kecurigaan mu cukup beralasan, Mas. Masalahnya dia juga tidak berjanji hari apa akan kembali lagi kesini.” angguk Tejo sepemikiran. Sembari mengiringi langkah Marwoto menuju podium.
Mereka berdua melakukan tugasnya sebagai Kepala Desa dan Ketua Panitia Liga. Menyerahkan piala dan hadiah kepada kesebelasan Aroma yang berjaya sebagai pemuncak liga di akhir musim ini. Pesta penyerahan hadiah itu berlangsung meriah. Sorak sorai warga di iringi musik penyemangat membahana di tengah lapangan bola Desa Sukorendem.
Marwoto dan Tejo adalah kakak adik. Marwoto terpilih jadi Kepala Desa berkat dukungan Tejo sebagai Ketua Timses. Sebagai balasannya, Marwoto memprogramkan liga sepak bola antar desa. Proyek tahunan penghasil cuan bagi adiknya itu.
Ratusan juta keuntungan bersih yang sudah mereka raih dari pergelaran liga yang sukses itu. Dari sponsor; dari penjualan tiket; tidak seberapa. Kalian akan tercengang dengan jumlah uang yang berputar dalam praktek judi bola dan mafia pengaturan skor! Milyaran!
Kesuksesan acara itu makin melebarkan pengaruh mereka sebagai tokoh terpandang tak hanya di Desa Sukorendem, tapi juga ke desa-desa lain di sekitarnya. Hanya segelintir orang yang tau tentang kebusukan mereka dalam berpolitik. Bagi mereka, warga harus dibikin bodoh dan bahagia. Supaya loyal tanpa kritis. Itu sudah teori politik yang lazim digunakan para politikus Negeri Konohaw ini.
—
Debut Sukirman sebagai pawang hujan dimulai sejak tiga tahun yang lalu ketika dia berusia 22 tahun. Saat itu ayahnya ingin menanam jagung di ladang. Saat terbaik menanam bibit adalah ketika musim hujan. Tapi ayah tidak bisa memperkirakan hari yang tepat. Sukirman mencoba menggunakan kemampuannya untuk membantu ayah.
“Jangan tanam jagung hari ini, Yah. Tiga hari kedepan masih akan panas berdengkang.”
“Bagaimana kau tau?”
“Aku sudah mencoba ini berkali-kali dan hasilnya hampir selalu benar.”
Sukirman menggeleng lalu menghirup nafas dalam. Ayahnya heran melihat tingkah anehnya itu.
“Suhu udaha 36-38⁰ Celcius. Kelembaban udara hanya 35%. Data BMKG, awan hujan masih belum sampai ke sini karena arah angin masih dominan ke barat laut.” Ujar Sukirman, lalu Hasan, adik tirinya datang memperlihatkan hygrometer kepada Ayah.
“Lihat yah, ini namanya jam hygrometer. Selain jam, alat ini juga bisa menunjukkan suhu dan kelembaban udara.” ujar Hasan.
“37⁰ Celcius, 35%. Luar biasa! Lantas kira-kira kapan hujan akan berturut-turut turun, Man?” tanya Ayah kerkagum-kagum
“Sekarang hari Selasa. Hmm, hari Sabtu besok saja, Yah. Percaya padaku.” jawab Sukirman meyakinkan.
Benar saja. Pagi Sabtu mereka bertanam benih jagung. Sorenya sudah hujan. Tiga hari berikutnya juga hujan lagi setiap sore. Ini membuat Ayah kepikiran sebuah ide! Mengorbitkan Sukirman untuk jadi Pawang Hujan Desa!
Sebelum hari pesta pernikahan anak sang Kepala Desa, Marwoto. Sukirman pun memilihkan tanggal yang tepat untuk hari resepsi. Debut pawang hujan itu berbuah sukses karena hujan tidak turun sepanjang hari!
“Anakmu ini sejak kapan punya bakat jadi pawang hujan Mas? Makasih ya Le. Hajatan anakku berjalan lancar berkat bantuanmu. Hahaha.” puji Marwoto.
“Aku juga baru tau bakatnya belum lama ini, To. Berkali-kali dia bisa manggil dan ngusir hujan untuk ladangku. Makanya hasil panenku sekarang jadi lebih memuaskan! Hahaha!” sahut Tumijan memuji anaknya
“Kuasa Alloh, Pak Lek. Aku ini cuma perantara. Hehehe.” Jawab Sukirman sesuai template yang telah diajarkan Ayahnya.
Disinilah Marwoto yang semula menganggap Sukirman sebagai pemuda pengangguran; yang hanya membantu ayahnya bekerja di ladang; sekarang menjadi tertarik untuk memanfaatkannya untuk acara yang lebih besar.
Rumor Sukirman sebagai pawang hujan tersebar viral ke warga desa lainnya seperti sebuah promosi organik saja! Yang tersebar tanpa biaya pasang iklan. Mulailah setiap hajatan, jasa Sukirman diminta.
Disinilah Ayah mengusulkan Sukirman melakukan ritual pura-pura agar orang lebih percaya. Membakar kemenyan dan komat-kamit seolah merapal mantra. Personal brandingnya sebagai pengangguran berubah jadi pawang hujan yang disegani.
Sukirman pernah menerima lima bayaran dalam sehari ketika ada lima hajatan di desa, dan semua menyewa jasanya. Hujan memang tidak turun selama acara puncak hajatan. Hanya saja hujan turun sebelum maghrib. Di desa, hajatan harus selesai sebelum maghrib. Tidak boleh lagi ada bising suara musik hajatan di malam hari. Begitulah peraturan desa yang dibuat oleh Marwoto.
Kocaknya warga yang bikin hajatan malah mendapati para tamu jadi terbagi di kelima hajatan tadi. Sehingga bisa dibilang sepi. Kalaupun rame, itu cuma sebentar, terus tamunya pindah ke hajatan lain lagi.
Itulah kali pertamanya Sukirman gagal menghalau hujan, tapi kelima pemilik hajatan itu tetap membayarnya karena hujan hanya turun di penghujung acara.
Padahal Sukirman sudah memprediksi hujan tak bisa dihindari selama beberapa hari. Dia juga sudah berdalih kemampuannya menghalau hujan hilang karena dia sedang pilek.
Dia menolak bayaran sejak awal, tapi tetap menjalankan ritual karena keinginan pemilik hajatan yang kolot itu. Mereka terlalu percaya klenik dan tetap memesan jasanya sebagai kamuflase belaka. Biar para tamu mau datang karena percaya sama pawang hujannya.
—
Disinilah kisah kenangan tentang hujan menghias kehidupan karakter figuran dalam kisah ini. Hari itu ada Baskara dan Nirmala; sepasang suami istri; menghadiri tiga hajatan dari lima hajatan di hari yang sama.
Mereka makan besar di hajatan pertama, lalu hanya menikmati desert sop buah di hajatan kedua. Dan hajatan ketiga cuma berfoto sama pengantin saja lalu pulang. Dua hajatan lainnya tidak mereka datangi karena yang satu nikahan mantannya Baskara. Sementara yang satu lagi nikahan mantannya Nirmala.
Mereka terjebak hujan sebelum pulang. Hujan itu mengingatkan kenangan nostalgia tentang mereka bersama mantan mereka. Lalu mereka gunakan hujan itu sebagai ide cerpen untuk ikut event menulis. Event itu digelar komunitas penulis; yang juga bertemakan: “Hujan Dan Ceritanya”.
Ah, kalo aku sih No! Jika cerpennya cuma menceritakan pengalaman pribadi yang berhubungan dengan hujan. Aku sebagai penulis yang out of the box tentu saja tidak mau ikut alur mainstream yang tenang seperti itu! Aku lebih suka mencari alur deras waterfall biar terjun bebas sekalian! Hihihi…
Btw, cerpenku ditolak karena kepanjangan dalam event menulis itu. Awalnya, kata PJ-nya panjang cerpen 5 halaman itu sekitar 3000an kata. Aku udah senang karena cerpen ideal kan memang 3000an kata. Dan itu juga range cerpen favoritku. Karena ditolak, jadinya ku posting di Kompasiana saja. 😤
—
Begitulah kiprah karakter utama kita ini sampai Pak Lek Tejo melirik dan merekrutnya sebagai pawang hujan tetap untuk liga sepakbola antar desa. Dua musim menjaga laga. Hingga dicurigai kabur ke Temboro untuk menghindari musim hujan di bulan November.
Sukirman pun tiba di Temboro, desa santri yang sangat islami itu. Satu desa saja ada tiga pondok pesantren! Santri mereka tak hanya dari Indonesia. Bahkan hampir separuhnya berasal dari luar negeri!
Sukirman sebagai pawang hujan merasa kotor seperti orang musyrik yang memasuki tanah suci. Semua warga desa tampak berpakaian syar’i. Tidak heran jika Aceh digelari Serambi Mekkah, maka desa ini digelari Madinahnya Indonesia. Karena syari’at islam sudah mengakar menjadi budaya. Cewek muslim yang biasa tak berhijab datang kesini mungkin malu sendiri dan berusaha berhijab mengikuti budayanya.
Untungnya orang-orang Desa Temboro belum tau kalau Sukirman adalah pawang hujan. Kalau tau, mungkin sudah dipandang sinis. Atau mungkin ditarget sebagai sasaran dakwah mereka. Ditarik keluar dijalan Allah, safar sembari i'tikaf dari masjid ke masjid.
Sukirman sudah duduk disebelah ibu tirinya yang sedang sakit. Suasana hari itu hujan tidak terlalu deras tapi cukup membuat atap berisik oleh butirannya yang berjatuhan. Hujan lagi-lagi menemani momen penting dalam hidup Sukirman. Momen bertemu kembali dengan keluarga tirinya yang sangat menyayanginya.
“Ibu. Maafkan Sukirman terlambat datang.” Sukirman sungkem ke Ibunya yang terbaring di atas dipannya.
“Ibu merindukanmu, nak. Ibu sangat senang akhirnya kamu mau datang ke sini.”
Tapi Sukirman curiga, wajah ibunya tampak segar dengan ekspresi sendu yang dibuat-buat. Dia raba kening ibunya tak terasa panas, hanya sedikit berkeringat.
“San, Ibu sudah diperiksa ke dokter? Katanya Ibu sakit apa?”
“Malarindu, Mas Suk. Hihihi.”
“Aish!” Ternyata benar, Ibu telah mengakalinya.
“Kamu masih jadi pawang hujan, Man?”
“Aku ingin berhenti, tapi aku tidak punya keahlian lain, Bu.”
“Mana ada keahlian seperti itu! Kamu hanya membohongi mereka!”
“Ibu juga membohongiku dengan pura-pura sakit!” Sukirman mendebat.
“Harus dengan cara apa lagi agar kamu mau kesini, Man? Ibu sudah pernah memintamu datang mengantarkan pakaian Ayah. Bahkan mempaketkannya kesini pun kamu tidak mau.”
“Aku juga tidak sepenuhnya bohong Bu. Aku memang bisa memprediksi cuaca. Hasan, kamu masih nyimpan jam hygrometer yang Mas pernah kasih?”
“Ada dikamarku Mas.”
Sukirman menghirup nafas dalam. Lalu berkata
“Suhu antara 30-32⁰C, kelembaban antara 45-50%”
“Suhunya 31⁰C. Kelembaban 48%. Gilee! Ga pake geleng-geleng kepala kayak dulu lagi, Mas?”
“Itu cuma kalo lagi pilek aja. Saat pilek hidung Mas ga sensitif lagi ngukur suhu dan kelembaban udara, San. Jadi Mas menggelengkan kepala supaya kelembaban udara bisa dirasakan oleh mata Mas saja.” dalih Sukirman menjelaskan.
Ibu tiba-tiba tampak seperti mengendus sesuatu.
“Apakah ibu mengenal aroma itu?” tanya Sukirman tersenyum geli.
“Apakah dalam tasmu ada pakaian Ayah?” Aminah juga punya kelebihan unik. Dia berhidung peka ketika hujan. Indra penciumannya meningkat karena suara gemerintik air yang menghempas atap. Seperti skill yang terbuka hanya dalam kondisi tertentu.
Ibu segera bangkit dan membuka tas Sukirman. Mengeluarkan pakaian ayah dan menciuminya. Matanya mulai berkaca-kaca. Hasan pun langsung nimbrung melepas rindunya pada Ayah.
“Itu pakaian ayah sebelum meninggal. Masih kuparfumi dengan aroma black opium kesukaannya. Dengan menciumnya rinduku padanya terlega sirna. Sebenarnya berat hatiku memberikannya pada kalian. Makanya aku tidak mau mengirimkannya kesini.---Kenapa ibu tidak ikut saja bersamaku? Kita bisa tinggal bersama di desa kelahiran ayah lagi seperti dulu? Aku juga sudah memperbaiki rumah kita sehingga ibu tidak perlu khawatir dengan atap bocor lagi setiap hujan turun.”
“Ibu ingin kamu menetap disini, Nak. Mondok disini. Itu permintaan Ayahmu sejak dulu. Agar kamu mondok. Tapi kamu selalu menolaknya.”
“Dulu aku menolak karena aku masih egois, Bu. Sekarang aku telah lebih dewasa. Dua tahun hidup sendiri tanpa Ayah, Ibu dan Hasan. Membuatku lebih sering merenung dan introspeksi diri. Permintaan Ibu takkan kutolak lagi. Tapi setelah selesai mondok nanti, pertimbangkanlah, Bu. Aku ingin kita kembali menetap di rumah Ayah, di Desa Sukorendem.”
“Benarkah, kamu bersedia mondok disini, Nak?” tanya Ibu sekali lagi memastikan kebersediaanku.
“Iya bu, usiaku sudah 25 tahun tanpa pernah menekuni ilmu agama. Aku juga ingin menikah dalam keadaan siap secara keilmuan dan kematangan jiwa.”
“Kamu tau, Ibu tak bisa menggambarkan betapa senangnya perasaan Ibu saat ini. Apakah kamu sudah punya calon, Nak?”
“Belum, Bu.”
“Ah, kita pikirkan nanti saja hal itu, Bu. Yang penting Mas Suk mondok dulu. Masalah kembali ke Desa Sukorendem, bukankah sudah kita rencanakan juga sejak dulu? Biar lebih dekat berziarah ke kuburan Ayah.” sela Hasan menjelaskan.
Sebagai seorang janda, tinggal di rumah almarhum suami membuat Aminah gak enakan dengan keluarga besar suaminya. Walaupun pihak keluarga Tumijan tidak mempermasalahkan. Tapi Aminah juga butuh waktu untuk mengobati kesedihan dan duka citanya. Sehingga saat itu Aminah memutuskan kembali bersama Hasan ke Temboro, desa kelahirannya.
Hari kepergian Ibu meninggalkan Sukirman sendiri di desa Sukorendem, kala itu juga di iringi hujan. Sekali lagi hujan membekaskan memori penting dalam kehidupan Sukirman untuk dikenang.
—
Sukirman mulai mondok di minggu pertamanya di Temboro. Itulah kenapa nomor Sukirman sulit dihubungi oleh Pak Lek Tejo dan Pak Lek Marwoto. Karena di asrama, santri dilarang membawa alat komunikasi. Sukirman fokus dengan kegiatan menimba ilmu di sana sampai lupa kalau dia belum mengabari Pak Lek Tejo. Dua bulan kemudian, tepatnya di tahun baru. Sukirman baru mendapat kesempatan untuk bisa menelfon Pak Lek Tejo.
“Sudah dua bulan saja kau menghilang, Le! Ponakan licik! Hahaha. Ngapain saja kau disana?” Tejo menerima panggilan telfon dari Sukirman dengan perasaan gembira.
“Aku mondok disini Pak Lek. Gimana kabar Pak Lek?”
“Benar juga, pasti kau menuruti permintaan Mbak Aminah. Tapi aku masih kecewa kau tidak mengabari Pak Lek mu ini!”
“Maaf pak lek, aku lupa mengabari dan di pondok juga tidak boleh ada alat komunikasi.”
“Kapan kau akan kembali kesini?”
Sudah Sukirman tebak Pak Lek Tejo akan menanyakan ini.
“Setelah selesai mondok Pak Lek. Program santri dewasa yang aku ambil bebas batas waktu. Targetku lulus setelah selesai tahfizh quran saja. Doakan saja Pak Lek. Mungkin dua tahun lagi.”
“Dua tahun lagi?! Bagaimana jika kau pulang hari ini saja. Tak ada yang bisa menggantikanmu sebagai pawang hujan disini. Pawang hujan lain hanya pendusta belaka! Hahaha!”
“Saya sebenernya juga tidak punya kesaktian menghalau hujan, Pak Lek.” Sukirman mengakui rahasianya.
“Tapi kau bisa memprediksi cuaca kan?”
“Pak Lek sudah tau?”
“Aku sudah lama tau dari mendiang Mas Tumijan. Katanya anaknya menghirup nafas dalam, lalu menggelengkan kepala agar matamu terkibas angin. Kemudian mencari informasi dari BMKG menggunakan gadgetnya. Seketika kau! Sukirman! bisa memperkirakan cuaca tiga hari kedepan?! Hahaha!”
“Begitulah Pak Lek. Saya juga sama pendustanya dengan pawang hujan yang lain.”
“Karena ritual kemenyan? Hahaha. Kau memang cerdik! Ternyata kemenyan itu hanya trikmu supaya penduduk desa yang kolot ini percaya. Hahaha.”
“Itu arahan dari kakak sepupu Pak Lek juga. Hehehe.”
“Dasar kalian Ayah dan Anak sama-sama ahli muslihat! Hahaha!” celetuk Tejo ngatain tapi memuji.
“Oh iya, rumahku apakah masih aman Pak Lek?”
“Ponakan bodoh! Rumah yang sudah kau renovasi menjadi bagus, kau tinggalkan begitu saja? Untung kau menitipkan kuncinya padaku. Bulan lalu rumah itu sudah kukontrakkan kepada sepasang suami istri. Awalnya aku tidak mau, aku ingin meminta persetujuanmu dulu. Tapi dia bersikeras katanya sudah diizinkan Aminah. Aku patok satu juta harga sewa perbulannya. Uangnya ingin ku kirimkan padamu tapi kau susah sekali dihubungi!”
“Baskara dan Nirmala?” tebak Sukirman
“Kau mengenalnya?”
“Tentu saja, kami satu grup WA di sebuah komunitas penulis. Baskara berkali-kali mencoba menghubungiku sampai telfonnya diangkat Ibuku.”
“Pawang hujan juga penulis? Hahaha ada ada saja! Dan Aminah ini merepotkan saja. Kenapa dia tidak menyuruh penyewa itu transfer ke rekeningnya saja?”
“Ibu tidak punya nomor rekening Pak Lek. Hehehe. Kirimkan ke nomor rekeningku saja Pak Lek.”
“Kau sudah punya nomor rekening? Baiklah, segera kirimkan setelah ini. Kau pasti sangat membutuhkannya.”
“Terimakasih sudah menjaga rumahku Pak Lek. Aku janji akan membalas jasa Pak Lek.”
“Santai saja Le. Kau sudah mengamankan liga selama dua musim. Bahkan bantuanku ini belum bisa dikatakan impas mengingat keuntungan yang aku dapatkan dengan memanfaatkan keahlianmu. Hahaha.”
“Sekali lagi matur suwun Pak Lek.”
“Jangan lupa kirim nomor rekeningmu!”
“Siap Pak Lek.”
—
Sekarang kita ganti ke POV Sukirman. Biar cerpennya lebih ngena. Hahaha.
—
Hujan dan ceritanya. Hujan mengingatkan kami pada mendiang Ayah. Ayah hanyalah buruh tani. Gigihnya bekerja tak peduli hujan. Cukup tudung anyaman bambu saja melekat di kepalanya, tanah ladang itu akan terus dicangkulnya. Padahal dulunya ayah lulusan teknik telekomunikasi. Teknisi tower seluler yang handal.
Ibu kandungku, Maimunah. Saat itu masih hidup. Dia selalu mengkhawatirkan ayah bekerja di lapangan. Memanjat tower adalah pekerjaan beresiko. Sebagai leader dia bisa saja menyuruh timnya yang bekerja. Tapi sebagai pendidik, dengan senang hati dia ikut memanjat dan mengajari timnya bekerja.
Keuletan ayah membuatnya mudah mendapatkan promosi. Dalam dua tahun saja ayah sudah menjadi teknisi remote. Tugasnya hanya memonitor perangkat BTS dari kantor pusat di Jakarta. Ya, perangkat BTS yang di korupsi oleh Menkominfo itu. Ayahku terlibat dalam pengintegrasiannya dengan sistem kendali pusat.
Kami di boyong ke Jakarta. Disana aku tumbuh sampai balita. Hingga ibuku meninggal bersama adikku saat proses melahirkan.
“Ibu dan adikmu telah mati syahid, Nak.” ujar Ayah sembari memelukku erat.
Masih melekat di memoriku kesedihan ayah kala itu. Di usiaku yang masih lima tahun, ayah kehilangan sosok ratu yang selalu membuatnya rindu akan rumah. Hujan juga turun deras selepas jenazah ibu dan janin adikku dikebumikan. Lagi dan lagi hujan membekaskan tambahan kenangan yang akan teringat kembali setiap dia turun.
Dua bulan setelahnya, Ayah menikah lagi dengan ibu tiriku, Aminah. Ibu tiriku tidak ubahnya seperti ibu kandungku. Beliau mengasuhku dengan baik. Tidak membedakan antara aku dan Hasan.
Tidak lama setelah menikah lagi, Ayah kena badai PHK covid. Kami pindah ke desa kelahirannya Desa Sukorendem. Ayah sulit mendapatkan kerja di bidang yang sama karena usianya sudah kepala tiga waktu itu. Selalu kalah dari kandidat yang lebih muda. Sampai Ayah nyaman dengan pekerjaan bertani. Pelan-pelan; dunia telekomunikasi yang penuh permainan korup dari akar sampai pucuk itu; sudah tidak lagi membuatnya tertarik.
Pernah datang tawaran dari teman lamanya. Dia direkrut sebagai teknisi lapangan instalasi kabel optik untuk internet provider XL Home. Hanya tiga bulan saja dia bertahan. Lalu dia memutuskan resign karena gaji telat dibayar. Kemudian kembali bertani di ladang yang dia rindukan. Itu terjadi setahun setelah menikah dengan ibu tiriku. Tidak lama setelahnya Hasan lahir. Tumbuhlah kami dalam pengasuhan ibu tiriku sampai sekarang. Penuh cinta dan kasih sayang. Harmonis tanpa konflik berarti.
Setahun sebelum ayah meninggal, adalah dimana aku memulai karir pertamaku sebagai pawang hujan. Ayah melihat potensiku dan mendukungnya. Sementara ibu tiriku yang sangat taat agama, menentangnya. Sampai aku direkrut Pak Lek Tejo.
Menghalau hujan? Bukan. Aku menghindarinya saja. Mana kuasa aku menentang kehendak Tuhan. Kata ayah, aku dianugerahi kemampuan membaca cuplikan lauh mahfuzh. Kitab agung di langit sana yang berisi semua kemungkinan skenario di alam semesta.
Ya, lauh mahfuzh di kepala ayahku seperti pohon algoritma sebab akibat yang sudah ditulis Tuhan sebelum penciptaan segalanya. Singkatnya, sudah ada skenario semesta jika Iblis patuh sujud kepada Adam. Sudah ada skenario semesta jika Adam taat menjauh dari Buah Khuldi. Tapi skenario yang berjalan adalah pilihan dari makhluk-makhluk Tuhan yang dianugerahi kehendak bebas dalam memilih. Begitu juga dengan cuaca. Kemana awan bergerak, akibat angin yang patuh pada perubahan suhu dan kelembaban udara. Hal itu juga tertulis di lauh mahfuzh.
Ada hamba yang terkenal di langit, tapi asing di bumi. Semua malaikat mengira manusia itu akan memilih jalan yang buruk mengingat nafsu yang terpasang didalam dirinya. Ternyata manusia itu memilih taat. Dengan bangga Tuhan menyebut namanya di hadapan malaikat. Namanya pun terkenal di langit. Walaupun di bumi dia cuma petani biasa seperti ayahku ini.
Ayah tidak gila harta. Ayah gila bekerja. Lihat saja bagaimana dia masih mencangkul ketika hujan turun begitu derasnya. Bahkan kebahagiaan itu tak pernah membuatnya jatuh sakit. Mungkin benar, bahwa suasana hati yang senang, adalah obat. Makanya penyakit menjauh dari ayah. Walaupun kadang masuk angin juga, hanya dengan pijatan ibu semalam, sudah cukup untuk membuatnya bertenaga lagi esok pagi.
Ayah satu-satunya petani di desa yang tak pernah ketinggalan sholat berjamaah di masjid ataupun mushola. Dekat ladang ada mushola yang sering digunakan para petani untuk sembahyang. Ayah sudah jadi imam tetal disana. Di masjid juga sering ditunjuk sebagai khatib. Ayah juga langganan puasa senin kamis. Dalam hal bersedekah, Ayah bahkan tidak takut hartanya habis dan begitu yakin dengan rezekinya esok hari. Ayah paling mengerti bagaimana berprasangka baik kepada Dzat Yang Maha Memberi Rezeki.
Seperti yang telah diceritakan tadi. Ayah meninggal karena hujan. Lebih tepatnya karena petir yang menumpang bersamanya. Itulah yang kubenci dari hujan. Ketika halilintar yang dibawanya serta. Telah merenggut figur tauladanku sejak kecil. Tumijan bin Sarmidi. Namanya terukir di batu nisan yang kini ku kunjungi. Dia tidak mati konyol. Memang sudah takdir manusia mati sesuai kebiasaannya.
Kebiasaan ayah adalah tetap di ladang walaupun hujan turun dengan derasnya. Dia menikmati tiap tetesan hujan menghantam tubuhnya. Hingga dia lupa ada petir ikut bersama rintiknya. Awalnya petir itu menderu di puncak gunung. Dia malah tertawa senang berteriak semangat tanpa malu didengar orang. Karena suaranya sudah tenggelam oleh derasnya hujan dan gemuruh yang datang setelah kilat itu.
Tepat didepan mataku. Aku ikut tertawa melihatnya tertawa. Semangat Ayah menular kepadaku. Ku ambil cangkul untuk menyusul membantunya menata petakan tanah.
“JDERRR!!!” petir maut itu pun menghentikan kami seketika.
Aku jatuh pingsan. Entah petir itu juga mengenaiku atau hanya suaranya saja yang menghilangkan kesadaranku. Begitu sadar, aku sudah di rumah sakit dan mendengar kabar ayah telah meninggal. Kusaksikan mayatnya terbujur kaku gosong masih tersenyum seperti badut. Sekarang aku bersimpuh di samping pusaranya. Terisak meluahkan perasaanku yang haru bercampur duka.
“Ayah, Man datang bersama menantu Ayah. Namanya Fatimah. Sebentar lagi Ayah juga akan punya cucu, Yah. Man juga bersama Ibu dan Hasan. Kami semua merindukan Ayah. Tenanglah Ayah disana ya, Yah. Man sudah lulus tahfizh seperti keinginan Ayah dan Ibu. Ayah pasti bangga kan? Man lebih bangga lagi, Yah. Tak dapat Man lukiskan kebahagiaan ketika Man bisa memenuhi cita-cita Ayah atas diri Man.” isak tangisku semakin menjadi. Ibu mencoba menenangkanku dengan mengusap-usap punggungku.
“Man sudah jadi anak yang baik kan yah? Maafkan jika selama ini Man sudah mengecewakan Ayah. Menolak berkali-kali permintaan Ayah agar Man mondok ke Temboro. Walau Ayah tak pernah tampak kecewa. Ayah selalu mengalah menuruti semua mauku. Ya itu yang paling aku kagumi dari ayah. Dengan siapapun ayah jago mengalah. Ayah paham benar bagaimana caranya menang tanpa melukai siapapun. Terima kasih, Yah. Terima kasih telah menyayangiku dan keluargamu ini dengan ketulusan yang luar biasa. Man sayang Ayah.”
Begitulah curahan hatiku di samping kuburannya. Disaksikan oleh istriku, ibu tiriku, dan adik tiriku Hasan. Dibawah payung yang menepis hujan. Hujan selalu menemani momen penting dalam hidupku. Bagaimana mungkin setiap dia turun, aku takkan teringat nostalgia memori yang pernah menyertainya? Begitu saja semua kenangan pahit, duka, sedih, bahagia, bercampur terlintas dari benakku. Semua rasa itu menjadi satu hingga aku kehabisan kata untuk menjelaskannya. Begitulah hujan dan ceritaku. Bagaimana dengan ceritamu?
---
@tomisteria
Payakumbuh
14 November 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H