Hujan dan ceritanya. Hujan mengingatkan kami pada mendiang Ayah. Ayah hanyalah buruh tani. Gigihnya bekerja tak peduli hujan. Cukup tudung anyaman bambu saja melekat di kepalanya, tanah ladang itu akan terus dicangkulnya. Padahal dulunya ayah lulusan teknik telekomunikasi. Teknisi tower seluler yang handal.
Ibu kandungku, Maimunah. Saat itu masih hidup. Dia selalu mengkhawatirkan ayah bekerja di lapangan. Memanjat tower adalah pekerjaan beresiko. Sebagai leader dia bisa saja menyuruh timnya yang bekerja. Tapi sebagai pendidik, dengan senang hati dia ikut memanjat dan mengajari timnya bekerja.
Keuletan ayah membuatnya mudah mendapatkan promosi. Dalam dua tahun saja ayah sudah menjadi teknisi remote. Tugasnya hanya memonitor perangkat BTS dari kantor pusat di Jakarta. Ya, perangkat BTS yang di korupsi oleh Menkominfo itu. Ayahku terlibat dalam pengintegrasiannya dengan sistem kendali pusat.
Kami di boyong ke Jakarta. Disana aku tumbuh sampai balita. Hingga ibuku meninggal bersama adikku saat proses melahirkan.
“Ibu dan adikmu telah mati syahid, Nak.” ujar Ayah sembari memelukku erat.
Masih melekat di memoriku kesedihan ayah kala itu. Di usiaku yang masih lima tahun, ayah kehilangan sosok ratu yang selalu membuatnya rindu akan rumah. Hujan juga turun deras selepas jenazah ibu dan janin adikku dikebumikan. Lagi dan lagi hujan membekaskan tambahan kenangan yang akan teringat kembali setiap dia turun.
Dua bulan setelahnya, Ayah menikah lagi dengan ibu tiriku, Aminah. Ibu tiriku tidak ubahnya seperti ibu kandungku. Beliau mengasuhku dengan baik. Tidak membedakan antara aku dan Hasan.
Tidak lama setelah menikah lagi, Ayah kena badai PHK covid. Kami pindah ke desa kelahirannya Desa Sukorendem. Ayah sulit mendapatkan kerja di bidang yang sama karena usianya sudah kepala tiga waktu itu. Selalu kalah dari kandidat yang lebih muda. Sampai Ayah nyaman dengan pekerjaan bertani. Pelan-pelan; dunia telekomunikasi yang penuh permainan korup dari akar sampai pucuk itu; sudah tidak lagi membuatnya tertarik.
Pernah datang tawaran dari teman lamanya. Dia direkrut sebagai teknisi lapangan instalasi kabel optik untuk internet provider XL Home. Hanya tiga bulan saja dia bertahan. Lalu dia memutuskan resign karena gaji telat dibayar. Kemudian kembali bertani di ladang yang dia rindukan. Itu terjadi setahun setelah menikah dengan ibu tiriku. Tidak lama setelahnya Hasan lahir. Tumbuhlah kami dalam pengasuhan ibu tiriku sampai sekarang. Penuh cinta dan kasih sayang. Harmonis tanpa konflik berarti.
Setahun sebelum ayah meninggal, adalah dimana aku memulai karir pertamaku sebagai pawang hujan. Ayah melihat potensiku dan mendukungnya. Sementara ibu tiriku yang sangat taat agama, menentangnya. Sampai aku direkrut Pak Lek Tejo.
Menghalau hujan? Bukan. Aku menghindarinya saja. Mana kuasa aku menentang kehendak Tuhan. Kata ayah, aku dianugerahi kemampuan membaca cuplikan lauh mahfuzh. Kitab agung di langit sana yang berisi semua kemungkinan skenario di alam semesta.