Sukirman sudah duduk disebelah ibu tirinya yang sedang sakit. Suasana hari itu hujan tidak terlalu deras tapi cukup membuat atap berisik oleh butirannya yang berjatuhan. Hujan lagi-lagi menemani momen penting dalam hidup Sukirman. Momen bertemu kembali dengan keluarga tirinya yang sangat menyayanginya.
“Ibu. Maafkan Sukirman terlambat datang.” Sukirman sungkem ke Ibunya yang terbaring di atas dipannya.
“Ibu merindukanmu, nak. Ibu sangat senang akhirnya kamu mau datang ke sini.”
Tapi Sukirman curiga, wajah ibunya tampak segar dengan ekspresi sendu yang dibuat-buat. Dia raba kening ibunya tak terasa panas, hanya sedikit berkeringat.
“San, Ibu sudah diperiksa ke dokter? Katanya Ibu sakit apa?”
“Malarindu, Mas Suk. Hihihi.”
“Aish!” Ternyata benar, Ibu telah mengakalinya.
“Kamu masih jadi pawang hujan, Man?”
“Aku ingin berhenti, tapi aku tidak punya keahlian lain, Bu.”
“Mana ada keahlian seperti itu! Kamu hanya membohongi mereka!”
“Ibu juga membohongiku dengan pura-pura sakit!” Sukirman mendebat.