Pada suatu hari di bulan Juli, di sebuah sekolah menengah atas di kota kecil, seorang pemuda bernama Rafel memulai perjalanan hidup yang tak pernah ia bayangkan. Rafel adalah seorang siswa kelas satu SMA yang cerdas, berpenampilan tenang, dan memiliki senyum yang selalu membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman.Â
Di hari pertama sekolah, matanya bertemu dengan seorang gadis bernama Laras.Â
Gadis itu memiliki wajah yang lembut dengan senyum yang memikat, serta mata yang berbinar penuh kehidupan. Sejak pertemuan pertama itu, Rafel merasakan sesuatu yang berbeda dalam hatinya---sebuah getaran lembut yang kemudian ia sadari sebagai benih cinta.
Meskipun hubungan mereka awalnya hanya persahabatan, perlahan-lahan perasaan cinta mulai berkembang di antara Rafel dan Laras. Masa-masa SMA mereka dipenuhi dengan kebahagiaan dan keceriaan.Â
Rafel dan Laras sering menghabiskan waktu bersama, baik itu belajar di perpustakaan, berbagi cerita di bawah pohon besar di halaman sekolah, maupun menikmati senja di tepi danau yang tak jauh dari rumah Laras.Â
Cinta mereka tumbuh secara alami seiring berjalannya waktu, sehingga dengan penuh keyakinan dan percaya Rafel memberanikan dirinya mengungkapkan perasaannya kepada Laras. Di tepi danau di mana biasanya mereka menghabiskan waktu senja.
 Laras, aku mencintaimu, sayang kepadamu, mau gak kamu menjadi pacarku? Dengan senyum manis, Laras terdiam sejenak, hatinya berbunga-bunga, karena penantiannya selama satu tahun terjawab sudah.Â
Rafel, bukankah kebersamaan kita selama ini, adalah jawabannya? Dan akhirnya keduanya saling memberi perhatian dan dipenuhi janji-janji indah tentang masa depan.
Rafel adalah seorang siswa yang dikenal cerdas dan selalu penuh energi. Di antara teman-temannya, dia adalah sosok yang ramah dan mudah diajak berbicara. Tetapi, hanya beberapa orang yang benar-benar mengenal sisi terdalam dari dirinya.Â
Laras, kekasihnya, adalah salah satunya. Di depan Laras, Rafel selalu menunjukkan wajah bahagia dan penuh cinta.
 Setiap kali mereka bertemu, ada kebahagiaan yang tak tergambarkan. Senyuman Laras, suaranya yang lembut, dan tawa riangnya mampu menghapus kelelahan Rafel setelah seharian penuh dengan ujian dan tugas-tugas sekolah. Namun, di balik senyuman dan kebersamaan itu, ada sesuatu yang lebih dalam sedang terjadi di dalam hati Rafel.Â
Sesuatu yang mulai menyesakkan dada dan membuatnya sering terjaga hingga larut malam. Ia sering merenung sendirian. Ada perasaan bersalah yang menyelimuti pikirannya. Di setiap canda tawa mereka, ada pergulatan batin yang terus membesar dalam dirinya, dan semakin hari, keputusan yang harus ia ambil terasa semakin dekat.
 Ketika teman-teman mereka sibuk merencanakan jurusan kuliah atau bercita-cita menjadi dokter, insinyur, atau pengusaha sukses, Rafel merasakan sesuatu yang berbeda. Ada panggilan halus, sebuah bisikan yang terus menghantuinya.
Meskipun ia menyimpan rahasia besar yang tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun, Rafel selalu terlihat bahagia setiap kali bersama Laras. Tawa mereka mengisi hari-hari di sekolah, saat bercanda di kantin, atau mengerjakan tugas di perpustakaan.
 Di mata teman-teman mereka, Rafel dan Laras adalah pasangan sempurna---selalu tampak serasi berjalan berdua di sepanjang koridor. Setiap kali ia melihat senyuman Laras, hatinya terasa hangat. Laras seperti sinar matahari yang mampu mengusir segala kelelahan akibat rutinitas sekolah dan ujian.Â
Rafel sering membayangkan masa depan mereka bersama---mungkin berkuliah di kota yang sama, menjalani hidup dengan langkah-langkah yang seirama. Ia sangat mencintai Laras, dan bayangan hidup bersamanya membuatnya merasa bahagia.
Meskipun demikian, Rafel selalu merasa ada kekosongan di dalam dirinya, meskipun di sisi lain ia sangat mencintai Laras. Awalnya, dia mengira perasaan itu adalah rasa takut akan masa depan, kekhawatiran tentang kuliah, atau mungkin keraguan terhadap hubungannya dengan Laras.Â
Namun, semakin dia mencoba mengabaikannya, semakin kuat perasaan itu menghantui pikirannya. Ada sesuatu yang jauh lebih besar, yang tak mampu dijelaskannya dengan kata-kata.
Suatu hari, Rafel mengikuti misa pagi di Paroki, tempat di mana ia biasa datang untuk berdoa setelah pulang sekolah. Kebetulan, sekolah Rafel terletak tepat di belakang gereja tersebut, sehingga hampir setiap hari, Rafel dan Laras, teman kekasihnya, selalu menyempatkan diri untuk berdoa bersama sebelum mereka berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.
Namun, hari itu terasa berbeda. Usai mengikuti misa pagi, Rafel merasa ada kegelisahan yang tak biasa. Bukannya langsung beranjak pergi, ia memutuskan untuk duduk lebih lama di bangku paling belakang gereja, memandang altar dengan tatapan kosong. Rosario di tangannya tergerak perlahan, namun pikirannya melayang jauh ke depan.Â
Rafel merenungkan banyak hal, dari hidupnya yang akan segera menyelesaikan sekolah di tingkat SMA, hubungannya dengan Laras gadis yang sudah lama mengisi hatinya hingga pertanyaan besar yang menghantui benaknya: ke mana ia harus melangkah selanjutnya? Apa jalan hidup yang benar-benar ia inginkan?
Di tengah keheningan gereja yang hanya diisi oleh bayang-bayang altar, Rafel merasa hatinya tertarik ke arah yang tak pernah ia duga sebelumnya.Â
Panggilan batin itu terasa kuat, seperti ada suara lembut yang mengajaknya untuk mempertimbangkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar masa depannya sendiri---sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan manusiawi. Di tengah pergolakan batin itu, Rafel berusaha untuk mendengarkan hati nuraninya.
Di tengah keheningan itu, pastor paroki, menghampirinya. Pastor paroki telah lama mengenal Rafel dan keluarganya. Dengan suara lembut, pastor itu bertanya, "Apa yang sedang kamu pikirkan, Rafel? Kau terlihat jauh lebih tenang biasanya."
Rafel tersentak sejenak, lalu mencoba tersenyum. "Tidak ada, Pastor. Hanya mencoba memahami semuanya. Terkadang, saya merasa bingung dengan hidup saya."
Pastor paroki menatap Rafel dengan penuh pengertian. "Semua orang memiliki kebingungan mereka sendiri, Rafel. Tapi ada sesuatu yang lebih besar, kan?"
Rafel terdiam sejenak, ragu untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Namun, entah bagaimana, kehadiran pastor itu memberikan ketenangan yang sulit dijelaskan.
"Saya mencintai Laras," kata Rafel pelan, hampir berbisik. "Tapi di saat yang sama, saya merasa ada panggilan lain, sesuatu yang lebih besar dari hubungan ini. Saya tidak tahu apakah ini hanya kebingungan, atau benar-benar sesuatu yang harus saya perhatikan."
Pastor paroki tersenyum lembut dan duduk di sebelah Rafel. "Rafel, panggilan Tuhan bisa datang dalam berbagai bentuk. Terkadang, itu datang melalui kebingungan, kegelisahan, atau bahkan melalui cinta. Tuhan berbicara kepada kita di saat-saat yang tidak kita duga."
Rafel memandang ke arah pastor itu, penasaran. "Pernahkah merasa seperti ini, Pastor? Perasaan seperti ada sesuatu yang menarik pastor, tapi pastor tidak tahu apa itu?"
Pastor paroki mengangguk. "Tentu saja. Banyak calon imam merasakan hal yang sama sebelum mereka memutuskan untuk mengikuti panggilan Tuhan. Saya juga dulu merasakan panggilan itu ketika saya masih frater.Â
Saya pikir hidup saya akan berbeda, tetapi Tuhan menunjukkan jalan lain. Saya dulu punya banyak rencana---keluarga, pekerjaan, impian. Tapi pada akhirnya, saya menemukan kebahagiaan yang lebih besar."
Pembicaraan itu mengubah hidup Rafel. Setelah pertemuan tersebut, dia mulai merenungkan lebih dalam tentang panggilan yang dia rasakan. Tidak ada momen dramatis, seperti mimpi yang menyala-nyala atau suara gaib yang memanggilnya.Â
Justru, panggilan itu datang perlahan, melalui setiap doa yang ia panjatkan, setiap percakapan dengan Pastor parokinya, dan setiap kali ia membuka Kitab Suci, terutama saat ia membaca kata-kata Yesus kepada para murid-Nya, "Ikutilah Aku."
Selama beberapa minggu berikutnya, Rafel semakin sering pergi ke gereja, mengikuti misa harian, dan berkonsultasi dengan Pastor parokinya. Setiap kali dia berbicara dengan pastor itu, hatinya terasa semakin tenang.Â
Suatu malam, dalam doa yang khusyuk, Rafel akhirnya merasa yakin. Panggilan itu bukan lagi sekadar perasaan samar, tetapi sebuah keyakinan yang kuat. Dia tahu bahwa hidupnya dipanggil untuk melayani Tuhan dengan cara yang lebih besar, meskipun itu berarti meninggalkan cinta yang telah dia jaga bersama Laras.
Namun, menyampaikan keputusan ini kepada Laras bukanlah hal yang mudah. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan kepada orang yang paling ia cintai bahwa hatinya dipanggil ke jalan yang berbeda? Kegelisahan itu semakin besar, hingga akhirnya dia harus berbicara jujur kepada Laras, meskipun dia tahu bahwa keputusannya akan mengubah segalanya.
Rafel memutuskan untuk berbicara dengan Laras. Di suatu sore yang tenang, di tepi danau yang menjadi saksi bisu cinta mereka, Rafel menggenggam tangan Laras dengan erat. "Laras, aku harus mengatakan sesuatu yang sangat penting," Rafel memulai dengan suara yang bergetar. Laras menatapnya dengan penuh perhatian, merasakan ada sesuatu yang serius.
"Aku mencintaimu, lebih dari apapun di dunia ini," lanjut Rafel. "Tapi ada sesuatu dalam diriku yang tidak bisa aku abaikan. Sejak kecil, aku bercita-cita menjadi seorang pastor. Akupun bingung Laras, mengapa ini terulang lagi dipenghujung kelulusan kita.Â
Saya sungguh binggung bagaiman menjelaskan ini semua kepadamu. Tapi aku harus mengikuti cinta-citaku ini yang pernah hilang dan kini tumbuh kembali. Laras aku meminta maaf. Aku tidak bisa membohongi diriku dan kamu. Tapan disadari, seketika air mata mengalir di pipi Laras.Â
Ia menundukkan kepalanya, mencoba memahami apa yang Rafel katakan. "Jadi... apa artinya ini untuk kita?" tanyanya dengan suara yang parau. Rafel menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya. "Aku harus memilih, Laras. Meskipun demikian stuasinya, aku belum tau apa rencana Tuhan dalam perjalanan hidupku.Â
Tapi aku harus menjalaninya, meskipun bagaiamana akhirnya nanti. Aku tidak bisa mengabaikan panggilan ini." Laras terdiam, mencoba mencerna kata-kata Rafel. "Kau akan meninggalkanku?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Rafel menggelengkan kepalanya, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku tidak ingin meninggalkanmu, Laras. Tapi jika aku terus bersamamu, aku takut akan mengkhianati panggilan Tuhan dalam hidupku.Â
Aku harus mengikuti apa yang Ia kehendaki." Laras menangis terisak, menyadari bahwa cinta mereka harus berakhir demi sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Meski hatinya hancur, ia tahu bahwa ia harus merelakan Rafel pergi. Dengan berat hati, ia berkata, "Jika ini yang harus kamu lakukan, Rafel, aku akan merelakanmu.Â
Aku ingin kau bahagia, meski itu berat untukku. Rafel, aku sangat mencintaimu, aku sangat menyayangi kamu. Tapi aku aku tidak boleh egois. Tapi satu hal yang perlu kamu tau, aku selalu mencitaimu, meskipun aku tidak bisa memilikimu."
Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, mereka saling berpelukan untuk terakhir kalinya. Rafel merasakan betapa sulitnya meninggalkan Laras, tapi ia tahu bahwa ini adalah pengorbanan yang harus ia lakukan.Â
Setelah lulus SMA, Rafel dan Laras perlahan mulai menjalani kehidupan mereka masing-masing. Rafel pun memutuskan untuk masuk Seminari. Sementara itu, Laras melanjutkan kuliahnya di kota lain.Â
Mereka tetap berkomunikasi, namun semakin jarang berbincang. Rafel, yang berjuang untuk menguatkan panggilannya, perlahan mulai menjaga jarak, sedangkan Laras mencoba memahami meskipun hatinya penuh dengan rasa kehilangan.
Tahun demi tahun berlalu, Rafel menjalani panggilannya sebagai seorang frater. Namun, di setiap doa, di setiap detik sunyi, bayangan Laras selalu hadir. Ia tahu bahwa ia telah meninggalkan cinta terbesarnya demi panggilan yang lebih agung.Â
Di sisi lain, Laras juga melanjutkan hidupnya. Meski luka di hatinya masih terasa, ia berusaha untuk tetap tegar. Ia tahu bahwa Rafel telah memilih jalan yang benar, dan meskipun ia merindukan Rafel, ia berusaha merelakan kepergiannya.
Suatu hari, kabar yang telah lama Laras takutkan akhirnya tiba. Seorang teman memberitahunya bahwa Rafel akan segera ditahbiskan menjadi imam. Saat mendengar kabar itu, Laras merasa seolah dunianya runtuh. Ia terdiam di tempat, menggenggam erat telepon di tangannya.Â
Mata Laras berkaca-kaca, namun ia menahan air matanya. Hatinya terasa berat, seperti ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.Â
Selama ini, meski Rafel memilih panggilan berbeda, ia selalu menyimpan harapan kecil bahwa suatu hari takdir akan membawa mereka kembali bersama. Namun, dengan kabar ini, Laras menyadari bahwa Rafel akan benar-benar hilang dari genggaman cintanya. Jalan yang mereka pilih tak akan pernah lagi bersinggungan.
Malam itu, Laras tak bisa tidur. Pikiran tentang Rafel, tentang masa-masa mereka bersama di SMA, tawa dan janji yang mereka buat, semuanya berputar di kepalanya. Ia tak bisa membayangkan hidup tanpa bayangan Rafel di sisinya, meskipun selama ini ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja.Â
Namun, kenyataan bahwa Rafel akan menjadi imam membuat segalanya terasa final. Impian masa lalunya tentang cinta yang mungkin terwujud tiba-tiba lenyap, meninggalkan kekosongan yang mendalam.
Laras tahu bahwa ini adalah pilihan Rafel, dan ia tak punya hak untuk menghentikannya. Tapi hatinya tetap berteriak. Dalam keheningan malam itu, Laras akhirnya menangis, membiarkan rasa sakit itu keluar. Ia menangis bukan hanya karena kehilangan Rafel sebagai seseorang yang ia cintai, tetapi juga karena ia tahu bahwa ia harus melepaskan semua harapan yang pernah ia simpan.
Namun, di balik air matanya, Laras berdoa. Ia berdoa untuk kebahagiaan Rafel, meskipun bukan bersamanya. Ia berdoa agar Rafel menemukan kedamaian dalam jalannya, dan berdoa agar ia sendiri bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas.Â
Meski perih, Laras menyadari bahwa cinta sejati tak selalu harus dimiliki; terkadang, cinta berarti melepaskan dan mendoakan dari kejauhan.
Pada hari tahbisan Rafel, sebuah pesan WhatsApp muncul di layar ponsel Laras. Isinya, undangan resmi untuk menghadiri upacara tahbisan Rafel sebagai imam. "Maaf aku tak bisa mengantarnya langsung, Laras. Aku sedang dalam ret-ret dan persiapan tahbisan. Tapi aku ingin kamu tahu, kamu adalah bagian penting dari perjalanan ini," tulis Rafel di akhir pesannya.
Laras menatap pesan itu lama, jantungnya berdegup kencang. Undangan yang seharusnya biasa saja, kini terasa begitu berat. Tidak hanya karena Rafel yang dulu pernah ia cintai sekarang menyerahkan hidupnya sepenuhnya pada panggilan Tuhan, tapi juga karena pesan itu membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Di kamarnya, Laras duduk diam di sudut tempat tidur. Air matanya jatuh perlahan, seolah setiap tetes membawa kenangan dan harapan yang perlahan-lahan harus ia relakan. Ia bisa membayangkan momen itu---Rafel mengenakan jubah putih, wajahnya penuh kedamaian, dan kedua telapak tangannya yang diurapi dengan minyak suci, tanda resmi bahwa ia bukan lagi milik dunia ini.
Namun, di balik air mata itu, Laras berdoa. Ia menutup matanya, merasakan berat di dadanya, tetapi membiarkan kata-kata doa melayang dalam keheningan. "Tuhan," bisiknya lirih, "Rafel adalah milikmu, "Ya Tuhan, kuatkan hatiku untuk merelakan Rafel dalam panggilan-Mu. Berkatilah dia dengan kedamaian dan sukacita di jalan hidup yang telah Kau pilihkan untuknya.Â
Meskipun kami tak lagi bersama, bimbinglah  dan kuatkan hatiku Tuhan untuk unjian ini dalam hidupku. Berikan aku ketenangan menerima takdir ini, dan semoga Rafel menemukan kebahagiaan sejati di dalam pelayanan-Mu. Amin."
Setiap kata doa terasa seperti belati yang menggores hati, tapi Laras tetap melanjutkannya. Ia berdoa agar Rafel menemukan kedamaian dalam jalannya, bahwa panggilan yang telah dipilihnya benar-benar menjadi sumber sukacita dan pemenuhan bagi hidupnya.Â
Dan meski perih, Laras menyadari---dengan segala luka di hatinya---bahwa cinta sejati tak selalu harus dimiliki. Cinta, baginya, berarti melepaskan dan merelakan dengan ketulusan, meski harus mendoakan dari kejauhan.
Keesokan harinya, Laras menggenggam ponselnya erat-erat. Ia melihat foto-foto Rafel yang diunggah teman-temannya di Facebook---Rafel mengenakan jubah putih, kasula wajahnya tenang dan damai serta semakin tampan. Hatinya terasa penuh dengan berbagai perasaan yang campur aduk, tapi akhirnya ia memutuskan untuk mengirim pesan.
Laras mengetik pesan dengan hati-hati, memikirkan setiap kata. Setelah lama ragu, akhirnya ia menekan tombol kirim.
Laras: "Selamat ya, romo dengan emotikon nangi. Aku ikut bahagia untukmu. Semoga jalan yang romo pilih selalu membawa damai dan kebahagiaan. Tuhan memberkati romo selalu."
Tak butuh waktu lama, pesan itu dibalas.
Rafel: "Terima kasih, Laras. Aku sangat bergembira saat membaca pesanmu ini. Maaf aku tak sempat berbicara langsung setelah tahbisan. Banyak hal yang terasa emosional, tapi aku bersyukur kamu masih di sini mendukungku, meski dari jauh."
Laras terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Pesan itu sederhana, tapi sarat makna. Ia bisa merasakan ketulusan Rafel, dan meski terasa perih, ia tahu ada keikhlasan di dalamnya.
Laras: "Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Raf. Mungkin takdir kita memang tak seperti yang dulu kita bayangkan, tapi aku percaya ini adalah yang terbaik untuk kita."
Ada jeda sejenak sebelum pesan balasan dari Rafel masuk.
Rafel: "Aku juga merasakan hal yang sama. Meskipun jalan kita berbeda sekarang, kamu selalu menjadi bagian penting dalam hidupku, Laras. Aku tak akan pernah melupakan itu. Terima kasih untuk semua kenangan dan dukunganmu."
Laras menarik napas panjang, membaca pesan itu berulang kali. Ia tahu, ini adalah titik akhir dari semua yang pernah ada di antara mereka. Tapi ada ketenangan dalam menerima kenyataan itu.
Laras: "Aku juga tak akan pernah lupa, Raf. Semoga kamu selalu bahagia dalam pelayanamu sebagai imam."
Rafel tak langsung membalas, mungkin karena terlalu banyak hal yang sedang ia hadapi. Laras pun meletakkan ponselnya, menatap jendela dengan perasaan campur aduk.
Hari-hari setelah komunikasi itu, Laras mulai belajar menerima bahwa perasaannya pada Rafel kini harus ia simpan sebagai kenangan indah. Setiap kali rasa rindu muncul, ia mendoakan Rafel, berharap kehidupan barunya sebagai seorang imam dipenuhi kedamaian dan sukacita.
Mereka tetap masih berkomunikasi sesekali, tapi komunikasi mereka berubah menjadi lebih formal, lebih dewasa. Laras juga mulai membuka hatinya pada kehidupan baru, mengalihkan perasaannya pada pekerjaan dan kegiatan sosial yang ia tekuni.
Waktu berjalan, dan perlahan, Laras menemukan kedamaian dalam menerima bahwa cinta yang dulu ia rasakan untuk Rafel sekarang menjadi cinta yang lebih luas, cinta yang tidak lagi berfokus pada satu orang, tapi pada dunia di sekitarnya. Sementara itu, Rafel pun menjalani hidupnya sebagai imam dengan penuh dedikasi, membawa serta doa-doa Laras di dalam hatinya.
Meskipun jalan mereka tak pernah bertemu lagi seperti dulu, Laras tahu dalam hatinya bahwa melepaskan Rafel bukanlah akhir dari kebahagiaannya. Sebaliknya, ia menemukan makna baru dalam cinta yang sejati---cinta yang merelakan, mendukung, dan mendoakan tanpa harus memiliki.
Suatu hari, dua tahun berselang setelah tahbisan, di sebuah Paroki di mana Pastor Rafel bertugas sebagai Vikaris Parokila, ia memimpin misa. Dengan jubah putih panjang yang menutupi tubuhnya dan kasula hijau yang melambangkan harapan, ia tampak gagah dan penuh kharisma.Â
Langkahnya mantap menuju altar, memimpin perayaan Ekaristi penuh hikmat. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap gerakan tangannya saat memegang Komuni Kudus, memancarkan ketulusan dan dedikasi sebagai imam.
Namun, di tengah misa, ketika Rafel mengangkat pandangannya dari altar, matanya tanpa sengaja bertemu dengan sosok yang membuat waktu seolah berhenti sejenak. "Laras". Ia duduk di bangku ketiga dari depan, wajahnya teduh, dengan senyum lembut yang masih sama seperti yang ia ingat. Jantung Rafel berdegup lebih cepat, tapi ia tetap menjaga ketenangannya.Â
Dalam diam, perasaannya kembali bergolak---cinta yang dulu ia rasakan, kini berubah menjadi rasa syukur dan kedamaian, meski perihnya masih terasa samar di sudut hatinya.
Sementara itu, Laras duduk dengan hati yang berdesir melihat sosok Rafel yang kini seorang romo. Ia tampak lebih dewasa, lebih tenang, dan semakin terpancar wibawanya sebagai seorang imam.Â
Jubah dan kasula yang dikenakan Rafel membuatnya tampak begitu berbeda, namun baginya, di balik semua itu, Rafel yang ia kenal dan pernah ia cintai tetap ada di sana. Laras merasa bangga, meski di saat yang sama hatinya sempat terselubung oleh rasa haru.
Ketika Rafel mengucapkan berkat penutup dan misa selesai, Laras tak bisa menyembunyikan perasaan campur aduk yang ia rasakan. Meskipun mereka sekarang berada di dua dunia yang berbeda, pertemuan mata mereka saat misa tadi seolah menjadi bahasa yang tak perlu kata-kata. Seperti percakapan hati yang menghubungkan mereka di luar ruang dan waktu.
Setelah misa selesai, Rafel mendekati Laras. Suasana gereja mulai sepi, hanya tinggal beberapa umat yang masih berdoa dalam diam. Ketika mereka saling berhadapan, tak ada kata yang langsung terucap. Mereka hanya saling menatap, membiarkan perasaan mereka berbicara dalam keheningan itu. Rafel merasa ada kedamaian yang aneh, bercampur dengan rasa syukur bahwa meski Laras tak lagi menjadi bagian dari hidup pribadinya, ia masih hadir di sisinya dalam doa.
Laras tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Aku selalu mendoakanmu, Rafel," katanya dengan suara lembut. "Aku bahagia melihatmu menjalani panggilanmu dengan sepenuh hati."
Rafel mengangguk, merasakan kedamaian yang mendalam. "Terima kasih, Laras. Doamu selalu menjadi kekuatan bagiku."
Dalam keheningan gereja yang syahdu, mereka tahu bahwa meski cinta mereka telah berubah bentuk, perasaan itu tetap ada. Kini bukan lagi cinta yang penuh hasrat atau keinginan untuk bersama, tapi cinta yang matang, penuh keikhlasan dan doa, yang tumbuh di hati masing-masing untuk saling mendukung dari jalan yang berbeda.
Mereka berpisah dengan senyum di wajah mereka, membawa kenangan yang indah tentang cinta yang pernah mereka miliki. Cinta yang tidak pernah pudar, meski harus dikorbankan demi panggilan yang lebih besar. Dan meski mereka tidak lagi bersama, mereka tahu bahwa cinta mereka akan selalu ada, tersembunyi dalam setiap doa dan setiap langkah yang mereka ambil dalam hidup ini.
Waktu terus berlalu. Rafel, yang kini telah menjadi seorang imam, melayani di sebuah parokisebagai Vikaris Parokial. Ia merasa damai dengan pilihan hidupnya, meski bayangan Laras tetap tersimpan rapi di sudut hatinya. Hingga suatu hari, Rafel menerima sebuah surat yang tak pernah ia duga---undangan pernikahan dari Laras.
Surat itu datang dengan amplop berwarna gading, dihiasi pita emas yang elegan. Rafel membukanya dengan hati-hati, dan ketika ia melihat nama Laras di sana, hatinya terasa seperti dihantam oleh gelombang perasaan yang selama ini ia coba kendalikan. Laras akan menikah, dan ia diundang untuk memberkati pernikahannya.
Rafel duduk terdiam di kamarnya, merenungi surat itu. Hatinya bergetar, merasakan campuran antara kebahagiaan dan kesedihan yang mendalam. Kebahagiaan karena Laras akhirnya menemukan cinta dan pasangan hidup, namun juga kesedihan karena ia harus melepaskan Laras untuk selamanya. Malam itu, Rafel berdoa lebih lama dari biasanya. Ia memohon kekuatan dari Tuhan untuk menjalankan tugasnya sebagai imam yang memberkati pernikahan wanita yang pernah ia cintai.
Hari yang dinanti pun tiba. Rafel berdiri di depan altar, mengenakan jubah dan kasula putih, dan mulai memimpin perayaan. Ketika Laras dan calon suaminya memasuki gereja dengan gaun pengantin putih yang indah, Rafel merasakan jantungnya berdetak kencang. Laras tampak begitu cantik, seperti malaikat yang turun dari langit.
Namun, ketika mata mereka bertemu, ada sesuatu yang berbeda. Mereka saling memahami, tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun. Mereka tahu bahwa mereka berdua telah memilih jalan yang benar, meski jalan itu membawa mereka pada arah yang berbeda.
Ketika Rafel memberkati pernikahan Laras, ia melakukannya dengan tulus. Setiap kata yang ia ucapkan mengandung doa, tidak hanya untuk kebahagiaan Laras dan suaminya, tetapi juga untuk kedamaian dalam hatinya sendiri.
Setelah upacara selesai, Laras mendekati Romo Rafel dengan mata yang berkaca-kaca. "Terima kasih, Romo," katanya pelan sambil mengusapi air matanya. Rafel tersenyum, "Aku ikut bahagia, Laras." Dan saat itu, mereka tahu bahwa meski cinta mereka telah berubah, kenangan akan cinta itu akan selalu hidup, dalam doa dan dalam hati mereka.
Mereka berdua berdiri dalam keheningan sejenak, mengenang masa-masa yang telah mereka lalui. Tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan mereka saat itu, tapi mereka tahu bahwa mereka telah diberkati, meskipun dalam cara yang berbeda.
Dan saat Laras berjalan keluar dari gereja, menggenggam tangan suaminya dengan erat, Rafel menatapnya dengan penuh kedamaian. Ia tahu bahwa cinta sejatinya kini telah berpindah pada Tuhan dan umat-Nya, sementara cinta yang pernah ia miliki untuk Laras kini menjadi kenangan indah yang akan selalu ia simpan dalam doanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H