Keesokan harinya, Laras menggenggam ponselnya erat-erat. Ia melihat foto-foto Rafel yang diunggah teman-temannya di Facebook---Rafel mengenakan jubah putih, kasula wajahnya tenang dan damai serta semakin tampan. Hatinya terasa penuh dengan berbagai perasaan yang campur aduk, tapi akhirnya ia memutuskan untuk mengirim pesan.
Laras mengetik pesan dengan hati-hati, memikirkan setiap kata. Setelah lama ragu, akhirnya ia menekan tombol kirim.
Laras: "Selamat ya, romo dengan emotikon nangi. Aku ikut bahagia untukmu. Semoga jalan yang romo pilih selalu membawa damai dan kebahagiaan. Tuhan memberkati romo selalu."
Tak butuh waktu lama, pesan itu dibalas.
Rafel: "Terima kasih, Laras. Aku sangat bergembira saat membaca pesanmu ini. Maaf aku tak sempat berbicara langsung setelah tahbisan. Banyak hal yang terasa emosional, tapi aku bersyukur kamu masih di sini mendukungku, meski dari jauh."
Laras terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Pesan itu sederhana, tapi sarat makna. Ia bisa merasakan ketulusan Rafel, dan meski terasa perih, ia tahu ada keikhlasan di dalamnya.
Laras: "Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Raf. Mungkin takdir kita memang tak seperti yang dulu kita bayangkan, tapi aku percaya ini adalah yang terbaik untuk kita."
Ada jeda sejenak sebelum pesan balasan dari Rafel masuk.
Rafel: "Aku juga merasakan hal yang sama. Meskipun jalan kita berbeda sekarang, kamu selalu menjadi bagian penting dalam hidupku, Laras. Aku tak akan pernah melupakan itu. Terima kasih untuk semua kenangan dan dukunganmu."
Laras menarik napas panjang, membaca pesan itu berulang kali. Ia tahu, ini adalah titik akhir dari semua yang pernah ada di antara mereka. Tapi ada ketenangan dalam menerima kenyataan itu.
Laras: "Aku juga tak akan pernah lupa, Raf. Semoga kamu selalu bahagia dalam pelayanamu sebagai imam."