Pembicaraan itu mengubah hidup Rafel. Setelah pertemuan tersebut, dia mulai merenungkan lebih dalam tentang panggilan yang dia rasakan. Tidak ada momen dramatis, seperti mimpi yang menyala-nyala atau suara gaib yang memanggilnya.Â
Justru, panggilan itu datang perlahan, melalui setiap doa yang ia panjatkan, setiap percakapan dengan Pastor parokinya, dan setiap kali ia membuka Kitab Suci, terutama saat ia membaca kata-kata Yesus kepada para murid-Nya, "Ikutilah Aku."
Selama beberapa minggu berikutnya, Rafel semakin sering pergi ke gereja, mengikuti misa harian, dan berkonsultasi dengan Pastor parokinya. Setiap kali dia berbicara dengan pastor itu, hatinya terasa semakin tenang.Â
Suatu malam, dalam doa yang khusyuk, Rafel akhirnya merasa yakin. Panggilan itu bukan lagi sekadar perasaan samar, tetapi sebuah keyakinan yang kuat. Dia tahu bahwa hidupnya dipanggil untuk melayani Tuhan dengan cara yang lebih besar, meskipun itu berarti meninggalkan cinta yang telah dia jaga bersama Laras.
Namun, menyampaikan keputusan ini kepada Laras bukanlah hal yang mudah. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan kepada orang yang paling ia cintai bahwa hatinya dipanggil ke jalan yang berbeda? Kegelisahan itu semakin besar, hingga akhirnya dia harus berbicara jujur kepada Laras, meskipun dia tahu bahwa keputusannya akan mengubah segalanya.
Rafel memutuskan untuk berbicara dengan Laras. Di suatu sore yang tenang, di tepi danau yang menjadi saksi bisu cinta mereka, Rafel menggenggam tangan Laras dengan erat. "Laras, aku harus mengatakan sesuatu yang sangat penting," Rafel memulai dengan suara yang bergetar. Laras menatapnya dengan penuh perhatian, merasakan ada sesuatu yang serius.
"Aku mencintaimu, lebih dari apapun di dunia ini," lanjut Rafel. "Tapi ada sesuatu dalam diriku yang tidak bisa aku abaikan. Sejak kecil, aku bercita-cita menjadi seorang pastor. Akupun bingung Laras, mengapa ini terulang lagi dipenghujung kelulusan kita.Â
Saya sungguh binggung bagaiman menjelaskan ini semua kepadamu. Tapi aku harus mengikuti cinta-citaku ini yang pernah hilang dan kini tumbuh kembali. Laras aku meminta maaf. Aku tidak bisa membohongi diriku dan kamu. Tapan disadari, seketika air mata mengalir di pipi Laras.Â
Ia menundukkan kepalanya, mencoba memahami apa yang Rafel katakan. "Jadi... apa artinya ini untuk kita?" tanyanya dengan suara yang parau. Rafel menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya. "Aku harus memilih, Laras. Meskipun demikian stuasinya, aku belum tau apa rencana Tuhan dalam perjalanan hidupku.Â
Tapi aku harus menjalaninya, meskipun bagaiamana akhirnya nanti. Aku tidak bisa mengabaikan panggilan ini." Laras terdiam, mencoba mencerna kata-kata Rafel. "Kau akan meninggalkanku?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Rafel menggelengkan kepalanya, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku tidak ingin meninggalkanmu, Laras. Tapi jika aku terus bersamamu, aku takut akan mengkhianati panggilan Tuhan dalam hidupku.Â