Aku harus mengikuti apa yang Ia kehendaki." Laras menangis terisak, menyadari bahwa cinta mereka harus berakhir demi sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Meski hatinya hancur, ia tahu bahwa ia harus merelakan Rafel pergi. Dengan berat hati, ia berkata, "Jika ini yang harus kamu lakukan, Rafel, aku akan merelakanmu.Â
Aku ingin kau bahagia, meski itu berat untukku. Rafel, aku sangat mencintaimu, aku sangat menyayangi kamu. Tapi aku aku tidak boleh egois. Tapi satu hal yang perlu kamu tau, aku selalu mencitaimu, meskipun aku tidak bisa memilikimu."
Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, mereka saling berpelukan untuk terakhir kalinya. Rafel merasakan betapa sulitnya meninggalkan Laras, tapi ia tahu bahwa ini adalah pengorbanan yang harus ia lakukan.Â
Setelah lulus SMA, Rafel dan Laras perlahan mulai menjalani kehidupan mereka masing-masing. Rafel pun memutuskan untuk masuk Seminari. Sementara itu, Laras melanjutkan kuliahnya di kota lain.Â
Mereka tetap berkomunikasi, namun semakin jarang berbincang. Rafel, yang berjuang untuk menguatkan panggilannya, perlahan mulai menjaga jarak, sedangkan Laras mencoba memahami meskipun hatinya penuh dengan rasa kehilangan.
Tahun demi tahun berlalu, Rafel menjalani panggilannya sebagai seorang frater. Namun, di setiap doa, di setiap detik sunyi, bayangan Laras selalu hadir. Ia tahu bahwa ia telah meninggalkan cinta terbesarnya demi panggilan yang lebih agung.Â
Di sisi lain, Laras juga melanjutkan hidupnya. Meski luka di hatinya masih terasa, ia berusaha untuk tetap tegar. Ia tahu bahwa Rafel telah memilih jalan yang benar, dan meskipun ia merindukan Rafel, ia berusaha merelakan kepergiannya.
Suatu hari, kabar yang telah lama Laras takutkan akhirnya tiba. Seorang teman memberitahunya bahwa Rafel akan segera ditahbiskan menjadi imam. Saat mendengar kabar itu, Laras merasa seolah dunianya runtuh. Ia terdiam di tempat, menggenggam erat telepon di tangannya.Â
Mata Laras berkaca-kaca, namun ia menahan air matanya. Hatinya terasa berat, seperti ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.Â
Selama ini, meski Rafel memilih panggilan berbeda, ia selalu menyimpan harapan kecil bahwa suatu hari takdir akan membawa mereka kembali bersama. Namun, dengan kabar ini, Laras menyadari bahwa Rafel akan benar-benar hilang dari genggaman cintanya. Jalan yang mereka pilih tak akan pernah lagi bersinggungan.
Malam itu, Laras tak bisa tidur. Pikiran tentang Rafel, tentang masa-masa mereka bersama di SMA, tawa dan janji yang mereka buat, semuanya berputar di kepalanya. Ia tak bisa membayangkan hidup tanpa bayangan Rafel di sisinya, meskipun selama ini ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja.Â