Namun, kenyataan bahwa Rafel akan menjadi imam membuat segalanya terasa final. Impian masa lalunya tentang cinta yang mungkin terwujud tiba-tiba lenyap, meninggalkan kekosongan yang mendalam.
Laras tahu bahwa ini adalah pilihan Rafel, dan ia tak punya hak untuk menghentikannya. Tapi hatinya tetap berteriak. Dalam keheningan malam itu, Laras akhirnya menangis, membiarkan rasa sakit itu keluar. Ia menangis bukan hanya karena kehilangan Rafel sebagai seseorang yang ia cintai, tetapi juga karena ia tahu bahwa ia harus melepaskan semua harapan yang pernah ia simpan.
Namun, di balik air matanya, Laras berdoa. Ia berdoa untuk kebahagiaan Rafel, meskipun bukan bersamanya. Ia berdoa agar Rafel menemukan kedamaian dalam jalannya, dan berdoa agar ia sendiri bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas.Â
Meski perih, Laras menyadari bahwa cinta sejati tak selalu harus dimiliki; terkadang, cinta berarti melepaskan dan mendoakan dari kejauhan.
Pada hari tahbisan Rafel, sebuah pesan WhatsApp muncul di layar ponsel Laras. Isinya, undangan resmi untuk menghadiri upacara tahbisan Rafel sebagai imam. "Maaf aku tak bisa mengantarnya langsung, Laras. Aku sedang dalam ret-ret dan persiapan tahbisan. Tapi aku ingin kamu tahu, kamu adalah bagian penting dari perjalanan ini," tulis Rafel di akhir pesannya.
Laras menatap pesan itu lama, jantungnya berdegup kencang. Undangan yang seharusnya biasa saja, kini terasa begitu berat. Tidak hanya karena Rafel yang dulu pernah ia cintai sekarang menyerahkan hidupnya sepenuhnya pada panggilan Tuhan, tapi juga karena pesan itu membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Di kamarnya, Laras duduk diam di sudut tempat tidur. Air matanya jatuh perlahan, seolah setiap tetes membawa kenangan dan harapan yang perlahan-lahan harus ia relakan. Ia bisa membayangkan momen itu---Rafel mengenakan jubah putih, wajahnya penuh kedamaian, dan kedua telapak tangannya yang diurapi dengan minyak suci, tanda resmi bahwa ia bukan lagi milik dunia ini.
Namun, di balik air mata itu, Laras berdoa. Ia menutup matanya, merasakan berat di dadanya, tetapi membiarkan kata-kata doa melayang dalam keheningan. "Tuhan," bisiknya lirih, "Rafel adalah milikmu, "Ya Tuhan, kuatkan hatiku untuk merelakan Rafel dalam panggilan-Mu. Berkatilah dia dengan kedamaian dan sukacita di jalan hidup yang telah Kau pilihkan untuknya.Â
Meskipun kami tak lagi bersama, bimbinglah  dan kuatkan hatiku Tuhan untuk unjian ini dalam hidupku. Berikan aku ketenangan menerima takdir ini, dan semoga Rafel menemukan kebahagiaan sejati di dalam pelayanan-Mu. Amin."
Setiap kata doa terasa seperti belati yang menggores hati, tapi Laras tetap melanjutkannya. Ia berdoa agar Rafel menemukan kedamaian dalam jalannya, bahwa panggilan yang telah dipilihnya benar-benar menjadi sumber sukacita dan pemenuhan bagi hidupnya.Â
Dan meski perih, Laras menyadari---dengan segala luka di hatinya---bahwa cinta sejati tak selalu harus dimiliki. Cinta, baginya, berarti melepaskan dan merelakan dengan ketulusan, meski harus mendoakan dari kejauhan.