Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Euthanasia Misterius (Detektif Kilesa)

27 Desember 2022   08:46 Diperbarui: 27 Desember 2022   08:47 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Euthanasia (sumber : News.okezone.com)

KASUS EUTHANASIA MISTERIUS

Pk 10.30.

"Akhirnya kita mendapatkan kasus normal, Kilesa."

Aku menatap ke sebelah sembari berhati - hati menyetir, karena saat ini mobil sudah memasuki parkiran.

"Jangan terlalu percaya diri, Charles. Kau tahu, kasus aneh selalu mengikutiku. Apalagi sudah akhir tahun seperti ini. Cuaca sering hujan dan angin kencang bertiup. Dua hal itu bukan keberuntungan bagiku."

"Tidakkah kau mendengar briefing dari Mahmud di telepon tadi? Kasus yang kita tangani adalah seorang tua yang meninggal karena tumor otak. Mati karena penyakit. Apa hal yang lebih umum daripada itu?"

Lagi - lagi aku menatap Charles. "Kalau hal biasa lalu mengapa ia memanggil kita, detektif kriminal?"

Charles terdiam, sementara aku memarkir mobil di spot kosong. Di depan kami sudah terpampang tulisan besar Rumah Sakit Sumber Nyawa.

"Mahmud tidak memberi tahu apa yang menjadi kejanggalan." ujar Charles.

Aku mengedik. "Seperti biasa."

Kami berdua keluar dari mobil dan memasuki rumah sakit. Aku mengeluarkan hp untuk mengontak Mahmud tetapi ia ternyata telah menunggu di lobi utama. Ia menuntunku dan Charles. Kami bertiga berjalan menelusuri lorong rumah sakit.

"Kau pasti akan suka dengan ini, Kilesa." kata Mahmud.

Aku tersenyum kecil kepada Charles pertanda bahwa kami akan menangani kasus aneh lagi. Charles tidak tahan.

"Kasus aneh lagi, Mahmud?"

Berjalan beberapa langkah lagi, Mahmud menghentikan kami. Aku melihat ke sekeliling. Kami sudah tiba di area rawat inap. Mahmud menatap kami berdua.

"Sebenarnya tidak aneh - aneh amat. Hanya ada satu kejanggalan. Di samping tembok lorong ini, di dalam kamar, ada seorang pasien yang sudah meninggal. Namanya Bambang Utomo, usia 74 tahun. Meninggal karena tumor otak, seperti yang kukatakan di telepon. Tidak ada yang aneh dari catatan medis dan obat. Hanya saja..."

Ia menoleh dan memberi isyarat kepada salah seorang yang sudah menunggu di depan pintu kamar. Orang ini berjubah putih, sepertinya dokter atau suster, menurutku. Ia memberikan selembar kertas putih. Kami membaca judulnya.

"Persetujuan untuk memberikan suntikan euthanasia."

Suntik mati? Orang ini rela untuk disuntik mati? Formulir itu berisikan biodata Bambang Utomo dan persetujuan darinya untuk mendapatkan suntik mati.

"Tidak hanya itu. Lihat ke paling bawah."

Mata kami tertuju ke paling bawah di mana terdapat tanda tangan dari Bambang Utomo. Ya, tanda tangan itu ditulis dengan sebuah tinta merah.

***

"Lagi - lagi, Kilesa, lagi - lagi. Kau selalu menemukan kasus aneh."

Aku mengabaikan seruan Charles dan masih menatap formulir dengan dahi mengernyit. Apa maksudnya ini? Orang ini memang ingin mati? Mengapa? Sayang ia tidak bisa lagi menjawab.

"Aku tahu ada beberapa pertanyaan mendesak di kepalamu yang harus mendapatkan jawaban, Kilesa. Beruntung bahwa Bambang Utomo adalah orang yang berkecukupan, sehingga ia menyewa perawat pribadi. Orang di samping ini, lebih daripada cctv. Ia berada di samping Bambang selama 24 jam."

Perawat di samping kami memperkenalkan diri. "Selamat pagi, namaku adalah Trisna Sentani. Aku adalah perawat pribadi Bambang Utomo."

Charles langsung menyembur, "Jadi tuanmu itu memang ingin mati? Mengapa? Apa ia memang sudah putus asa dengan penyakitnya? Lalu mengapa memakai tinta merah?"

Aku yang terbiasa dengan keteraturan berusaha untuk mendiamkan Charles. Lalu dengan perlahan aku berkata, "Aku ingin mendapatkan keterangan secara kronologis. Juga ingin mendapatkan apakah ada yang ingin menyimpan dendam kepada Bambang Utomo. Perlahan saja. Jadi, Trisna, dapat kau jelaskan apa yang terjadi dengan beliau?"

Trisna mengangguk, "Aku menjadi perawat pribadi beliau sudah selama setahun, sejak ia menderita tumor otak. Dan penyakitnya semakin parah selama sebulan terakhir, semenjak itulah ia dirawat di rumah sakit ini."

"Jika Bambang Utomo adalah orang yang berada, ia tidak akan dirawat di rumah sakit ini."

Trisna mengangguk lagi, "Betul. Beberapa anak dari beliau sudah menyarankan untuk berobat ke luar negeri. Tapi beliau tidak mau. Ia hanya ingin dirawat di rumah sakit ini."

"Hah, jadi memang ingin mati." seru Charles.

Mengabaikan Charles, Trisna melanjutkan, "Akibat tumor yang semakin membesar dan beliau menolak kemoterapi, kesehatannya semakin memburuk seminggu terakhir ini. Puncaknya ia memintaku untuk memanggil ketiga anaknya dua hari yang lalu untuk memberikan pesan terakhir. Dan, sesuai dugaan, ia menghembuskan napas terakhir kemarin pukul 15.00"

Kami menghela napas. Tunggu dulu. Ada yang aneh. "Pak Bambang meninggal dengan normal? Lalu untuk apa formulir itu?"

Trisna menatap kertas. "Ia memberikannya kepadaku dua hari yang lalu usai dijenguk oleh anak - anaknya. Tapi aku ragu dengan ini. Aku tidak pernah memberikannya kepada dokter. Untungnya, tolong maafkan kata - kataku ini, beliau wafat sehari setelahnya. Jadi kertas ini sama sekali tidak berguna."

Kami terdiam. Charles mengulangi perkataanku lagi, "Jadi Pak Bambang meninggal dengan normal?"

Trisna mengangguk. Charles melanjutkan, "Lalu untuk apa kita ada di sini, Kilesa? Buang saja kertas itu. Kita tidak perlu mengurusi kasus ini. Masih banyak pekerjaan lain yang lebih penting."

Untuk pertama kalinya aku setuju dengan Charles. "Kau benar, Charles. Kasus ini sepertinya tidak membutuhkan penanganan detektif. Hanya ada satu yang mengganjal. Kau bilang, Pak Bambang memberikan formulir setelah anak -- anaknya menjenguk? Di mana mereka?"

"Mereka sedang keluar. Ada yang mencari makan, ada yang mengurusi pemakaman. Ah, itu Pak Riandi, anak kedua Pak Bambang."

Kami melihat seorang berusia empat puluhan dengan tubuh gemuk berjalan dengan susah payah dari ujung lorong. Ia tidak mengacuhkan kami, sehingga aku harus memanggil namanya. "Selamat siang, Pak Riandi, bisa meminta waktunya sebentar?"

"Siapa kalian?"

"Kami dari kepolisian, ingin bertanya tentang Pak Bambang Utomo."

Air muka Riandi berubah. Ia menggertak cukup kasar, "Tidak perlu. Ayah sudah tenang di alam sana, tidak perlu diganggu gugat lagi. Ia tidak bermasalah dengan siapa pun. Aku mohon diri."

Dengan langkah berat Riandi memasuki kamar dan meninggalkan kami di lorong. Aku bertatap - tatapan dengan Mahmud dan Charles. Mahmud sudah tersenyum.

"Sudah kubilang, Kilesa. Ini akan menjadi sebuah kasus yang cocok untukmu."

***

Trisna menjelaskan bahwa watak Riandi memang cukup kasar, tapi sebenarnya dulu ia tidak begitu. Sebelum ayahnya sakit, Riandi lebih menjaga perkataannya. Ada satu pertanyaan penting lagi yang perlu kuketahui jawabannya.

"Ketika ketiga anak Bambang menemui ayahnya, apakah bersamaan atau satu persatu?"

Trisna menjawab, "Satu persatu. Yang pertama anak pertama, kedua anak kedua, dan terakhir anak ketiga. Perlu kuberitahu bahwa anak pertama bersama suaminya, dan anak kedua bersama istri dan kedua anaknya. Jadi Pak Bambang sudah memiliki cucu, dan orang tuanya mengijinkan untuk melihat kondisi kakeknya walau cukup menyakitkan."

"Riandi?"

"Oh, setahuku ia belum menikah."

Di sebelahku Charles mengumpat, "Wajar kalau ia mudah marah, tidak ada yang menenangkan."

Perkataan kami dihentikan dengan kemunculan keluarga anak kedua di ujung lorong. Melihat tas belanjaan dan kresek minimarket, sepertinya merekalah yang dimaksud Trisna sedang mencari makan.

Seorang ibu muda menyapa kami. Kami memperkenalkan diri, dan berbanding terbalik dari Riandi, mereka menjawab dengan ramah. Dan begitu mengetahui bahwa kami berasal dari kepolisian, sang ayah langsung memisahkan diri dan meminta keluarganya untuk masuk ke dalam ruangan.

"Selamat siang, pak polisi, aku adalah Benny Utomo, anak kedua dari Bambang Utomo. Ada yang bisa dibantu?"

Tidak bertele - tele, aku langsung menunjukkan formulir euthanasia kepada Benny. Ia tidak menyembunyikan kekagetannya.

"Apa ini? Bagaimana mungkin? Tidak, tidak, Anda pasti salah. Ayah tidak mungkin ingin mati. Tidak mungkin. Pasti ada kesalahan."

Aku menunjuk Trisna, "Ialah yang menerimanya usai kalian menjenguk ayah kalian dua hari yang lalu."

"Kau, kau...mengapa tidak memberitahu kami? Lagipula, bukankah ayah mati dengan normal?"

Trisna mengangguk, "Aku tidak memberikannya ke dokter, dan bapak memang wafat karena penyakitnya kemarin, Pak Benny."

Benny masih kesal, "Ah tidak masuk akal. Bagaimana pun, formulir ini tidak masuk akal. Kami masih bersikeras memintanya untuk kemoterapi. Lagipula, mengapa ditandatangan dengan tinta merah? Jangan - jangan, kau yang bermaksud merekayasa formulir ini, agar mendapat bagian dalam warisan? Bukankah begitu, Trisna?"

"Tidak, pak, tidak. Demi Yang Mahakuasa, saya tidak melakukan rekayasa!"

Karena topik telah melebar ke mana - mana dan nada sudah semakin meninggi, kami meyakinkan Benny bahwa semua masih dalam pemeriksaan. Kami mengatakan bahwa ada kemungkinan formulir ini tidak akan berarti apa - apa karena toh Bambang Utomo pun meninggal dengan cara biasa. Usai menenangkan diri, ia masuk ke dalam kamar.

Satu pertanyaan penting kembali timbul ke dalam pikiranku. Siapa yang menghubungi polisi? Kutarik Mahmud ke samping dan berbisik pelan, bertanya tentang informasi kasus.

"Tentu saja, Trisna. Ia merasakan ada sebuah kejanggalan usai pertemuan dengan ketiga anak Bambang Utomo."

Berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Tapi kau kini tidak menutup kemungkinan bahwa ia bisa melakukan rekayasa, bukankah begitu?"

Aku hanya terdiam dan mengernyit. Kemungkinan itu ada. Namun aku tidak diberikan waktu untuk berpikir. Di ujung lorong sudah hadir satu pasangan lagi. Seorang wanita yang bergaya modis, serta seorang pria tinggi botak. Aku seperti sedang melihat model yang akan bergaya di catwalk.

Bukan langkah percaya diri seperti kulihat di pameran fashion show, melainkan langkah cemas yang ditunjukkan oleh keduanya. Sepertinya karena melihat aura suram yang ditimbulkan oleh kelompok kami, mereka jadi ikutan curiga dan cemas.

"Selamat siang, kami berasal dari kepolisian. Ada sebuah masalah kecil, kecil sekali, hanya mengganjal, yang memberi perhatian kami. Apakah saudara berkenan untuk menerima pertanyaan dari kami?"

Pertanyaanku tertuju pada sang wanita, dan dengan halus meminta agar si pria botak mengundurkan diri, tapi tampaknya mereka tidak keberatan untuk tampil berdua. Sang wanita memperkenalkan diri sebagai Yuanita Utomo, dan sang pria adalah suaminya, Erhman Dendels. Mengetahui bahwa si pria botak berkebangsaan luar, entah mengapa aku merasa bebanku berkurang.

"Dua hari yang lalu, usai Pak Bambang bertemu dengan kalian bertiga, ia memberikan ini kepada Trisna."

Aku menunjukkan formulir euthanasia kepada Yuanita, dan yang terkejut adalah kami, karena Yuanita sama sekali tidak terkejut. Juga tercermin dari jawabannya.

"Lalu?"

Aku memerhatikan Yuanita dengan seksama. Wajahnya tertutup kaca mata hitam yang besar jadi aku tidak bisa memastikannya, namun sepertinya formulir itu memang biasa saja baginya.

"Bagi Anda ini biasa saja? Apakah Anda mengharapkan kematian bagi ayah Anda?"

Yuanita menghela napas. "Okelah, apa yang dapat kuperbuat? Kami bertiga sudah menyuruhnya berobat di luar negeri, ia tidak mau. Kami memintanya untuk kemoterapi, ia juga tidak mau. Jadi, apa? Ia memang ingin sudah selesai hidup di dunia ini. Jadi aku memang tidak kaget bahwa ia menandatangani formulir itu."

Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Sepertinya aku memang melihat formulir itu di meja samping ranjang inapnya kemarin. Jadi aku mengasumsikan bahwa ayah memang ingin menyudahi diri. Yah, seperti itulah. Maaf jika aku berhati dingin, namun bukankah itu lebih baik daripada membohongi diri sendiri?"

Usai perkataan itu, mereka pun mengundurkan diri. Mengundurkan diri dalam arti tidak masuk ke dalam ruangan dan bergabung bersama anggota keluarga lainnya. Mereka sepertinya beralih menuju jalan keluar.

Yuanita yang dingin dan informasinya bahwa ia melihat kertas itu di samping ranjang memberikan sebuah diskusi yang cukup panas bagi kami. Charles semakin yakin bahwa memang Bambang Utomo memang ingin meninggal, sedangkan aku dan Mahmud tidak percaya dan yakin masih ada keterangan yang mengganjal. Di tengah diskusi kami, seseorang keluar dari dalam ruangan. Riandi Utomo. Ia berbicara dengan wajah tidak menyenangkan.

"Debat yang bapak - bapak membuatku gerah. Tidak bisakah bapak -- bapak melakukannya di kantor polisi? Berikanlah ketenangan kepada keluarga kami. Bapak sudah tiada."

Kami terdiam. Aku menghela napas, "Baiklah, jika itu kemauan bapak. Kami akan mengundurkan diri. Sepertinya, formulir ini pun tidak berarti apa - apa. Kami mohon diri."

"Formulir itu...formulir itu aku yang memberikannya."

Kami terkejut. Kami terdiam cukup lama, menanti Riandi untuk melanjutkan. Ia melanjutkan, dengan suara berat.

"Tadi kudengar bapak sudah bertemu dengan Yuanita, kakakku. Kami punya pikiran yang sama. Walaupun aku merasa kurang ajar, namun tidak dengan kakakku. Ia mengancam jika bukan aku yang memberikan, ialah yang memberikannya. Untuk menyelamatkan karir kakakku sebagai model papan atas, akulah yang mengorbankan diri memberikan kepada ayah."

"Ya, sebatas itu, kapten, kurang lebih. Ternyata ayahku wafat dengan cara normal, jadi kertas itu sekarang tidak berguna."

"Bolehkah kami membawa kertas ini ke kantor polisi, jikalau ada kenapa - kenapa?"

"Silakan pak, kami yakin sudah tidak ada artinya lagi."

Kami pun berdiskusi antar internal kepolisian dan merasa semuanya sudah cukup. Kematian Bambang Utomo dinilai wajar dan kertas itu pun menjadi barang bukti yang tidak berguna. Sebelum pergi menuju parkiran, aku membisikkan sesuatu kepada Riandi. Ketika aku menyusul kompatriotku, Mahmud tersenyum.

"Trik lain lagi, Kilesa? Kau selalu seperti ini."

Charles melenguh, "Selalu seperti ini. Bahwa sebenarnya ini merupakan kasus, dan kasus itu telah selesai."

Aku menggeleng, "Tidak, tidak, untuk kasus ini, belum selesai sama sekali."

Aku menatap kedua rekanku itu sembari berjalan menelusuri lorong rumah sakit. "Tahukah kalian bahwa ketiga saudara itu saling mengucapkan keterengan palsu untuk melindungi diri sendiri?"

Charles terkejut sementara Mahmud hanya tersenyum. "Ya, aku hanya menduga - duga saja, Kilesa, dan perkataanmu mengonfirmasi tebakanku."

Aku melanjutkan, "Namun ada yang lebih parah lagi. Ada yang berbohong dengan sangat besar."

Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Kami bertiga melihatnya. Sebuah dokumen kebersihan RW, beridentitas Bambang Utomo dengan sebuah tanda tangan di bawahnya. Uniknya lagi, bertinta merah.

Aku melihat dengan seksama dan tersenyum. Garis -- garis tanda tangan ini mirip dengan dokumen euthanasia itu, hanya jika diperhatikan dengan teliti, ada beberapa perbedaan mencolok.

"Tahukah kalian bahwa keinginan membunuh, apalagi disertai bukti yang kuat, dapat dikenakan pasal percobaan pembunuhan?"

Charles melenguh, "Tentu saja aku tahu. Aku ini aparat penegak hukum. Kau meremehkan kami."

Mahmud tersenyum, "Jadi, kau mau menangkap siapa hari ini, Kilesa?"

"Nanti kuberitahu di kantor polisi."

Kasus lain dapat dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun