Berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Tapi kau kini tidak menutup kemungkinan bahwa ia bisa melakukan rekayasa, bukankah begitu?"
Aku hanya terdiam dan mengernyit. Kemungkinan itu ada. Namun aku tidak diberikan waktu untuk berpikir. Di ujung lorong sudah hadir satu pasangan lagi. Seorang wanita yang bergaya modis, serta seorang pria tinggi botak. Aku seperti sedang melihat model yang akan bergaya di catwalk.
Bukan langkah percaya diri seperti kulihat di pameran fashion show, melainkan langkah cemas yang ditunjukkan oleh keduanya. Sepertinya karena melihat aura suram yang ditimbulkan oleh kelompok kami, mereka jadi ikutan curiga dan cemas.
"Selamat siang, kami berasal dari kepolisian. Ada sebuah masalah kecil, kecil sekali, hanya mengganjal, yang memberi perhatian kami. Apakah saudara berkenan untuk menerima pertanyaan dari kami?"
Pertanyaanku tertuju pada sang wanita, dan dengan halus meminta agar si pria botak mengundurkan diri, tapi tampaknya mereka tidak keberatan untuk tampil berdua. Sang wanita memperkenalkan diri sebagai Yuanita Utomo, dan sang pria adalah suaminya, Erhman Dendels. Mengetahui bahwa si pria botak berkebangsaan luar, entah mengapa aku merasa bebanku berkurang.
"Dua hari yang lalu, usai Pak Bambang bertemu dengan kalian bertiga, ia memberikan ini kepada Trisna."
Aku menunjukkan formulir euthanasia kepada Yuanita, dan yang terkejut adalah kami, karena Yuanita sama sekali tidak terkejut. Juga tercermin dari jawabannya.
"Lalu?"
Aku memerhatikan Yuanita dengan seksama. Wajahnya tertutup kaca mata hitam yang besar jadi aku tidak bisa memastikannya, namun sepertinya formulir itu memang biasa saja baginya.
"Bagi Anda ini biasa saja? Apakah Anda mengharapkan kematian bagi ayah Anda?"
Yuanita menghela napas. "Okelah, apa yang dapat kuperbuat? Kami bertiga sudah menyuruhnya berobat di luar negeri, ia tidak mau. Kami memintanya untuk kemoterapi, ia juga tidak mau. Jadi, apa? Ia memang ingin sudah selesai hidup di dunia ini. Jadi aku memang tidak kaget bahwa ia menandatangani formulir itu."