Kami pun berdiskusi antar internal kepolisian dan merasa semuanya sudah cukup. Kematian Bambang Utomo dinilai wajar dan kertas itu pun menjadi barang bukti yang tidak berguna. Sebelum pergi menuju parkiran, aku membisikkan sesuatu kepada Riandi. Ketika aku menyusul kompatriotku, Mahmud tersenyum.
"Trik lain lagi, Kilesa? Kau selalu seperti ini."
Charles melenguh, "Selalu seperti ini. Bahwa sebenarnya ini merupakan kasus, dan kasus itu telah selesai."
Aku menggeleng, "Tidak, tidak, untuk kasus ini, belum selesai sama sekali."
Aku menatap kedua rekanku itu sembari berjalan menelusuri lorong rumah sakit. "Tahukah kalian bahwa ketiga saudara itu saling mengucapkan keterengan palsu untuk melindungi diri sendiri?"
Charles terkejut sementara Mahmud hanya tersenyum. "Ya, aku hanya menduga - duga saja, Kilesa, dan perkataanmu mengonfirmasi tebakanku."
Aku melanjutkan, "Namun ada yang lebih parah lagi. Ada yang berbohong dengan sangat besar."
Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Kami bertiga melihatnya. Sebuah dokumen kebersihan RW, beridentitas Bambang Utomo dengan sebuah tanda tangan di bawahnya. Uniknya lagi, bertinta merah.
Aku melihat dengan seksama dan tersenyum. Garis -- garis tanda tangan ini mirip dengan dokumen euthanasia itu, hanya jika diperhatikan dengan teliti, ada beberapa perbedaan mencolok.
"Tahukah kalian bahwa keinginan membunuh, apalagi disertai bukti yang kuat, dapat dikenakan pasal percobaan pembunuhan?"
Charles melenguh, "Tentu saja aku tahu. Aku ini aparat penegak hukum. Kau meremehkan kami."