Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Sepertinya aku memang melihat formulir itu di meja samping ranjang inapnya kemarin. Jadi aku mengasumsikan bahwa ayah memang ingin menyudahi diri. Yah, seperti itulah. Maaf jika aku berhati dingin, namun bukankah itu lebih baik daripada membohongi diri sendiri?"
Usai perkataan itu, mereka pun mengundurkan diri. Mengundurkan diri dalam arti tidak masuk ke dalam ruangan dan bergabung bersama anggota keluarga lainnya. Mereka sepertinya beralih menuju jalan keluar.
Yuanita yang dingin dan informasinya bahwa ia melihat kertas itu di samping ranjang memberikan sebuah diskusi yang cukup panas bagi kami. Charles semakin yakin bahwa memang Bambang Utomo memang ingin meninggal, sedangkan aku dan Mahmud tidak percaya dan yakin masih ada keterangan yang mengganjal. Di tengah diskusi kami, seseorang keluar dari dalam ruangan. Riandi Utomo. Ia berbicara dengan wajah tidak menyenangkan.
"Debat yang bapak - bapak membuatku gerah. Tidak bisakah bapak -- bapak melakukannya di kantor polisi? Berikanlah ketenangan kepada keluarga kami. Bapak sudah tiada."
Kami terdiam. Aku menghela napas, "Baiklah, jika itu kemauan bapak. Kami akan mengundurkan diri. Sepertinya, formulir ini pun tidak berarti apa - apa. Kami mohon diri."
"Formulir itu...formulir itu aku yang memberikannya."
Kami terkejut. Kami terdiam cukup lama, menanti Riandi untuk melanjutkan. Ia melanjutkan, dengan suara berat.
"Tadi kudengar bapak sudah bertemu dengan Yuanita, kakakku. Kami punya pikiran yang sama. Walaupun aku merasa kurang ajar, namun tidak dengan kakakku. Ia mengancam jika bukan aku yang memberikan, ialah yang memberikannya. Untuk menyelamatkan karir kakakku sebagai model papan atas, akulah yang mengorbankan diri memberikan kepada ayah."
"Ya, sebatas itu, kapten, kurang lebih. Ternyata ayahku wafat dengan cara normal, jadi kertas itu sekarang tidak berguna."
"Bolehkah kami membawa kertas ini ke kantor polisi, jikalau ada kenapa - kenapa?"
"Silakan pak, kami yakin sudah tidak ada artinya lagi."