"Selamat siang, pak polisi, aku adalah Benny Utomo, anak kedua dari Bambang Utomo. Ada yang bisa dibantu?"
Tidak bertele - tele, aku langsung menunjukkan formulir euthanasia kepada Benny. Ia tidak menyembunyikan kekagetannya.
"Apa ini? Bagaimana mungkin? Tidak, tidak, Anda pasti salah. Ayah tidak mungkin ingin mati. Tidak mungkin. Pasti ada kesalahan."
Aku menunjuk Trisna, "Ialah yang menerimanya usai kalian menjenguk ayah kalian dua hari yang lalu."
"Kau, kau...mengapa tidak memberitahu kami? Lagipula, bukankah ayah mati dengan normal?"
Trisna mengangguk, "Aku tidak memberikannya ke dokter, dan bapak memang wafat karena penyakitnya kemarin, Pak Benny."
Benny masih kesal, "Ah tidak masuk akal. Bagaimana pun, formulir ini tidak masuk akal. Kami masih bersikeras memintanya untuk kemoterapi. Lagipula, mengapa ditandatangan dengan tinta merah? Jangan - jangan, kau yang bermaksud merekayasa formulir ini, agar mendapat bagian dalam warisan? Bukankah begitu, Trisna?"
"Tidak, pak, tidak. Demi Yang Mahakuasa, saya tidak melakukan rekayasa!"
Karena topik telah melebar ke mana - mana dan nada sudah semakin meninggi, kami meyakinkan Benny bahwa semua masih dalam pemeriksaan. Kami mengatakan bahwa ada kemungkinan formulir ini tidak akan berarti apa - apa karena toh Bambang Utomo pun meninggal dengan cara biasa. Usai menenangkan diri, ia masuk ke dalam kamar.
Satu pertanyaan penting kembali timbul ke dalam pikiranku. Siapa yang menghubungi polisi? Kutarik Mahmud ke samping dan berbisik pelan, bertanya tentang informasi kasus.
"Tentu saja, Trisna. Ia merasakan ada sebuah kejanggalan usai pertemuan dengan ketiga anak Bambang Utomo."