THE TOWER OF BABEL
Angin kencang menerpa pipiku.
"Jangan berdiri di depan sana terus - menerus, Hofni, teras itu belum selesai dibuat. Kau bisa jatuh karena terdorong angin, lalu mati konyol dan menjadi berita publik."
Aku tersenyum dan berbalik, menemui kekasih yang juga merupakan rekan kerjaku.
"Lantai ini belum ada apa - apanya. Bukankah kita masih ingin menambah sepuluh tingkat lagi?"
"Lantai ini sudah cukup tinggi menurutku. Engkaulah yang ingin menambah sepuluh tingkat lagi. Bayangkan, hendak setinggi apa ingin kita tambahkan menara Babel ini?"
"Cukup tinggi, hingga menyentuh langit, lalu menemui Yang Mahakuasa dan menyamai diri - Nya."
Kekasihku, Hilda, mengetahui bahwa aku senang bercanda dan akan menganggap perkataan itu omongan lalu belaka. Namun, bagiku ada sebuah ambisi di dalamnya. Di seluruh Sinear ini, di seluruh tanah Mesopotamia ini, di seluruh daratan di antara Sungai Efrat dan Tigris ini, menara ini adalah yang tertinggi. Tidak ada bangunan lain yang menyamai menara ini, di masa lalu, juga di masa depan. Bangunan ini adalah yang termutakhir.
Perlu waktu puluhan tahun untuk merancang menara ini. Aku adalah generasi ketiga. Awalnya, generasi pertama, generasi kakekku, merancang menara besar ini untuk tujuan mengumpulkan manusia. Ya, bumi sangat luas, sehingga ia berangan - angan untuk membangun satu menara sebagai tempat tinggal manusia agar tidak tercerai - berai. Lambat laun, ide itu menjadi lebih mahal. Seiring berjalannya generasi, semakin banyak keinginan yang disematkan kepada menara ini.
Untukku, menara ini harus menembus langit dan menjadi yang tertinggi di muka bumi.
"Sudahlah, tidak perlu meninggikan menara ini. Lebih baik mengembangkannya ke arah utara dan selatan, tanahnya lebih baik, juga sinar matahari akan mudah masuk." ucap Hilda.
"Sayangnya itu bukan hanya keputusanku, tapi dewan pembangun, sayang. Nah, ketiga orang itu sudah masuk ke ruangan. Bagaimana, kawan - kawan, kekasihku ini merasa kita tidak perlu lagi membangun ke atas. Apakah kalian setuju?"
Tiga orang yang dimaksud adalah orang - orang paruh baya, satu sudah sangat beruban, dan mereka langsung menggeleng mendengar perkataanku. Senyum merekah di wajahku.
"Kita harus menjaga amanat yang sudah diwariskan oleh Muriab. Menara ini akan menjadi kebanggaan umat manusia, juga menjadi tempat berkumpulnya orang -- orang utara, selatan, barat, dan timur. Tidak tahukah kamu, bahwa orang - orang pantai itu sudah berkemah di tepi barat dan sudah bertanya - tanya tentang syarat untuk tinggal di menara ini?"
Hilda memberenggut, "Tidak menjawab pertanyaanku, tuan Oniel. Sebab kau bisa melakukan itu dengan menambah bangunan di luar menara ini. Melanjutkan menara ini ke atas menurutku sangat berbahaya dan tidak masuk akal."
"Berbahaya bagaimana?" ujar salah seorang tetua.
"Kau tidak melihatnya tadi, tapi Hofni hampir terjatuh karena angin kencang. Tambahlah sepuluh tingkat lagi dan angin akan meluluhlantakan tembok - tembok di atas kelak."
Oniel mendesah, "Tidak tahukah kamu, Hilda, bahwa menara ini akan menjadi satu - satunya tempat tinggal di tanah ini? Dengan tingginya menara ini, orang - orang di ujung bumi akan dapat melihatnya, meninggalkan tanah mereka, dan bergerak menuju tempat ini. Jika kita membangun bangunan lain, orang jauh tidak akan melihatnya. Lalu katamu mengenai angin kencang itu, Magdala memiliki jawabannya. Silakan, Magdala."
Magdala tersenyum sebelum menjawab. "Daun - daun palma memiliki ketahanan menghadapi angin - angin konyolmu itu, dan aku sudah mencobanya. Ada lagi, sayang?"
Hilda kembali memberenggut dan berpikir. Lalu perlahan - lahan ia berkata, "Bagaimana dengan terik matahari? Semakin kita mendekatinya, semakin panas. Orang - orang di tingkat atas tidak akan tahan."
Magdala kembali menjawab pertanyaan ini. "Dan daun palma kesayanganmu itu juga bisa meredakan panasnya sinar matahari. Sayang sekali, sepertinya tidak ada lagi yang bisa menahan kita untuk membangun ke atas."
Aku semakin bersemangat, "Ya, bahkan Tuhan sekali pun."
Aku mengambil sebuah batu tembikar yang belum selesai, berlari ke teras dan melemparnya ke langit, seperti menjadi sebuah tanda tantangan untuk Yang Mahakuasa.
"Hofni! Bagaimana jika batu itu berbalik arah dan membunuh salah seorang pekerja di lantai dasar sana?" seru Hilda.
Ya, sudah terjadilah. Lagipula kecil kemungkinan batu itu bisa mengenai salah seorang pekerja bangunan di bawah. Menara ini terlalu luas. Kecil kemungkinannya...
Brakk!
Sebuah suara terdengar di bawah, diikuti suara teriakan. Sepertinya batu itu mengenai sesuatu, atau seseorang di bawah sana. Dan aku tahu tidak akan mendapatkan apa - apa jika melihat dari lantai ini, karena bawah sana terlalu jauh. Oleh karena itu aku berbalik dan berlari menuju pintu, untuk kemudian menuju lantai dasar. Namun Hilda dan ketiga tetua sudah berdiri dan berseru.
Tetapi mereka berseru dalam kata - kata yang tidak kuketahui.
Awalnya kukira mereka kesal karena tindakanku barusan. Hal itu terlihat dari wajah dan mimik mereka. Dan aku mengenal kekasihku, Hilda. Ia memang suka menyumpahiku dan meneriakiku. Namun baru kali ini aku mendengar sumpah serapah ini. Begitu pula dengan para tetua, aku sampai harus mengernyit untuk bisa memahami arti ucapan mereka. Sampai suatu ketika para tetua dan Hilda pun saling memandang satu sama lain. Kami menyadari sesuatu.
Kami tidak lagi berbicara dengan ucapan yang dimengerti satu sama lain.
Hilda terus berkata dan berkata, namun tidak ada satu pun ucapannya yang kumengerti. Para tetua diam dan berusaha mendengarkan, dan mereka pun tidak memahami gadis malang itu. Giliranku yang berkata. Gelengan demi gelengan kuterima. Aku sampai harus memegang pundak kekasihku dan mengguncangkannya, namun tanpa daya. Selanjutnya Hilda hanya menangis, karena ia tidak mengerti satu pun dari ucapanku. Kami memahami bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.
Ya, sesuatu yang besar telah terjadi.
Dengan bahasa isyarat aku meminta para kompatriotku untuk berjalan menuju lantai bawah untuk mengetahui apa yang terjadi. Di lantai pertama sejak lantaiku tadi, kami memerhatikan para pekerja berbicara satu sama lain. Aku merasa lega, karena kupikir hanya kamilah yang menerima bencana. Namun setelah kuperhatikan, tidak ada satu pun yang bekerja. Kuperhatikan lagi dengan lebih seksama, dan aku mendapatkan wajah - wajah yang mengernyit untuk memahami ucapan orang di hadapannya.
Aku berteriak dan berseru.
"Ah, Tuhan, mengapa kami mendapatkan musibah seperti ini? Aku mohon ampun akan dosa - dosaku tadi!"
Seluruh ruangan mendengarkanku. Salah seorang menghampiriku. Aku mengenal dirinya, ia berada di bagian pengapuran lantai. Urim namanya.
"Hei, sobat, apa yang terjadi? Mengapa aku tidak mengerti ucapan orang - orang? Tapi aku memahami ucapanmu barusan."
Aku mengangguk - angguk dengan cepat. Syukurlah, masih ada yang kumengerti. Aku dengan cepat bertanya.
"Di seluruh ruangan ini, adakah yang ucapannya kau mengerti?"
Urim menggeleng, "Tidak ada. Hanya kau seorang."
Aku menengok ke belakang dan mendapatkan para tetua dan Hilda sudah menghilang. Hanya tersisa satu tetua. Ia belum berkata sedari awal, namun kini ucapannya dapat kumengerti.
"Menara ini telah dihukum oleh Tuhan. Ia tidak suka dengan rancangan dan kesombongan manusia. Ia mengacaukan bahasa -- bahasa kita dan akan menyerakkan kita ke segenap penjuru bumi."
Aku hanya terduduk dan terdiam mendengar perkataan itu. Aku tidak sadar bahwa Tuhan tidak suka dengan rencana kami. Hilda sudah memperingatkan kami, namun kami berhati batu. Dan Ia menimpakan bencana ini kepada kami semua.
Aku tidak tahu ada berapa banyak orang yang berucapan sama denganku. Aku menengadah dan mendapatkan sang tetua sudah tidak ada lagi. Urim membantuku untuk berdiri. Kami bersepakat untuk menjelajahi setiap tingkat, dan mencari orang yang berbahasa sama. Sampai tingkat dasar hanya ada seorang wanita dari bagian penyediaan makanan yang berbahasa sama dengan kami.
Aku berada di depan hutan Ramim sebelum menengok lagi ke belakang. Menara itu terlihat menjulang di depanku, namun puncaknya seperti tebangan pohon. Aku tahu pembangunan menara ini tidak bisa dilanjutkan lagi. Rencana kami sudah usai. Tidak akan ada lagi tingkat - tingkat yang ditambahkan, tidak ada lagi usaha mencapai langit.
Lebih dari pada itu, kami tidak saling mengerti satu sama lain. Rencana kami untuk mengumpulkan manusia di satu tempat, berbalik arah menjadi menyebar ke segenap penjuru bumi. Beginilah cara Tuhan menghukum kami. Seharusnya kami bertanya lebih dahulu kepada - Nya, apakah ia berkenan kepada rencana kami.
Bersama Urim dan Muria, aku memasuki hutan dan bersepakat untuk mencari cara bertahan hidup. Kami meninggalkan menara Babel di belakang, begitu pula kulihat dengan yang lainnya. Menara itu akan kosong, dan menjadi monumen kesombongan kami di hadapan Tuhan.
Kisah lain dapat dilihat di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H