THE TOWER OF BABEL
Angin kencang menerpa pipiku.
"Jangan berdiri di depan sana terus - menerus, Hofni, teras itu belum selesai dibuat. Kau bisa jatuh karena terdorong angin, lalu mati konyol dan menjadi berita publik."
Aku tersenyum dan berbalik, menemui kekasih yang juga merupakan rekan kerjaku.
"Lantai ini belum ada apa - apanya. Bukankah kita masih ingin menambah sepuluh tingkat lagi?"
"Lantai ini sudah cukup tinggi menurutku. Engkaulah yang ingin menambah sepuluh tingkat lagi. Bayangkan, hendak setinggi apa ingin kita tambahkan menara Babel ini?"
"Cukup tinggi, hingga menyentuh langit, lalu menemui Yang Mahakuasa dan menyamai diri - Nya."
Kekasihku, Hilda, mengetahui bahwa aku senang bercanda dan akan menganggap perkataan itu omongan lalu belaka. Namun, bagiku ada sebuah ambisi di dalamnya. Di seluruh Sinear ini, di seluruh tanah Mesopotamia ini, di seluruh daratan di antara Sungai Efrat dan Tigris ini, menara ini adalah yang tertinggi. Tidak ada bangunan lain yang menyamai menara ini, di masa lalu, juga di masa depan. Bangunan ini adalah yang termutakhir.
Perlu waktu puluhan tahun untuk merancang menara ini. Aku adalah generasi ketiga. Awalnya, generasi pertama, generasi kakekku, merancang menara besar ini untuk tujuan mengumpulkan manusia. Ya, bumi sangat luas, sehingga ia berangan - angan untuk membangun satu menara sebagai tempat tinggal manusia agar tidak tercerai - berai. Lambat laun, ide itu menjadi lebih mahal. Seiring berjalannya generasi, semakin banyak keinginan yang disematkan kepada menara ini.
Untukku, menara ini harus menembus langit dan menjadi yang tertinggi di muka bumi.