Dengan bahasa isyarat aku meminta para kompatriotku untuk berjalan menuju lantai bawah untuk mengetahui apa yang terjadi. Di lantai pertama sejak lantaiku tadi, kami memerhatikan para pekerja berbicara satu sama lain. Aku merasa lega, karena kupikir hanya kamilah yang menerima bencana. Namun setelah kuperhatikan, tidak ada satu pun yang bekerja. Kuperhatikan lagi dengan lebih seksama, dan aku mendapatkan wajah - wajah yang mengernyit untuk memahami ucapan orang di hadapannya.
Aku berteriak dan berseru.
"Ah, Tuhan, mengapa kami mendapatkan musibah seperti ini? Aku mohon ampun akan dosa - dosaku tadi!"
Seluruh ruangan mendengarkanku. Salah seorang menghampiriku. Aku mengenal dirinya, ia berada di bagian pengapuran lantai. Urim namanya.
"Hei, sobat, apa yang terjadi? Mengapa aku tidak mengerti ucapan orang - orang? Tapi aku memahami ucapanmu barusan."
Aku mengangguk - angguk dengan cepat. Syukurlah, masih ada yang kumengerti. Aku dengan cepat bertanya.
"Di seluruh ruangan ini, adakah yang ucapannya kau mengerti?"
Urim menggeleng, "Tidak ada. Hanya kau seorang."
Aku menengok ke belakang dan mendapatkan para tetua dan Hilda sudah menghilang. Hanya tersisa satu tetua. Ia belum berkata sedari awal, namun kini ucapannya dapat kumengerti.
"Menara ini telah dihukum oleh Tuhan. Ia tidak suka dengan rancangan dan kesombongan manusia. Ia mengacaukan bahasa -- bahasa kita dan akan menyerakkan kita ke segenap penjuru bumi."
Aku hanya terduduk dan terdiam mendengar perkataan itu. Aku tidak sadar bahwa Tuhan tidak suka dengan rencana kami. Hilda sudah memperingatkan kami, namun kami berhati batu. Dan Ia menimpakan bencana ini kepada kami semua.