Aku tidak tahu ada berapa banyak orang yang berucapan sama denganku. Aku menengadah dan mendapatkan sang tetua sudah tidak ada lagi. Urim membantuku untuk berdiri. Kami bersepakat untuk menjelajahi setiap tingkat, dan mencari orang yang berbahasa sama. Sampai tingkat dasar hanya ada seorang wanita dari bagian penyediaan makanan yang berbahasa sama dengan kami.
Aku berada di depan hutan Ramim sebelum menengok lagi ke belakang. Menara itu terlihat menjulang di depanku, namun puncaknya seperti tebangan pohon. Aku tahu pembangunan menara ini tidak bisa dilanjutkan lagi. Rencana kami sudah usai. Tidak akan ada lagi tingkat - tingkat yang ditambahkan, tidak ada lagi usaha mencapai langit.
Lebih dari pada itu, kami tidak saling mengerti satu sama lain. Rencana kami untuk mengumpulkan manusia di satu tempat, berbalik arah menjadi menyebar ke segenap penjuru bumi. Beginilah cara Tuhan menghukum kami. Seharusnya kami bertanya lebih dahulu kepada - Nya, apakah ia berkenan kepada rencana kami.
Bersama Urim dan Muria, aku memasuki hutan dan bersepakat untuk mencari cara bertahan hidup. Kami meninggalkan menara Babel di belakang, begitu pula kulihat dengan yang lainnya. Menara itu akan kosong, dan menjadi monumen kesombongan kami di hadapan Tuhan.
Kisah lain dapat dilihat di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H