Aku semakin bersemangat, "Ya, bahkan Tuhan sekali pun."
Aku mengambil sebuah batu tembikar yang belum selesai, berlari ke teras dan melemparnya ke langit, seperti menjadi sebuah tanda tantangan untuk Yang Mahakuasa.
"Hofni! Bagaimana jika batu itu berbalik arah dan membunuh salah seorang pekerja di lantai dasar sana?" seru Hilda.
Ya, sudah terjadilah. Lagipula kecil kemungkinan batu itu bisa mengenai salah seorang pekerja bangunan di bawah. Menara ini terlalu luas. Kecil kemungkinannya...
Brakk!
Sebuah suara terdengar di bawah, diikuti suara teriakan. Sepertinya batu itu mengenai sesuatu, atau seseorang di bawah sana. Dan aku tahu tidak akan mendapatkan apa - apa jika melihat dari lantai ini, karena bawah sana terlalu jauh. Oleh karena itu aku berbalik dan berlari menuju pintu, untuk kemudian menuju lantai dasar. Namun Hilda dan ketiga tetua sudah berdiri dan berseru.
Tetapi mereka berseru dalam kata - kata yang tidak kuketahui.
Awalnya kukira mereka kesal karena tindakanku barusan. Hal itu terlihat dari wajah dan mimik mereka. Dan aku mengenal kekasihku, Hilda. Ia memang suka menyumpahiku dan meneriakiku. Namun baru kali ini aku mendengar sumpah serapah ini. Begitu pula dengan para tetua, aku sampai harus mengernyit untuk bisa memahami arti ucapan mereka. Sampai suatu ketika para tetua dan Hilda pun saling memandang satu sama lain. Kami menyadari sesuatu.
Kami tidak lagi berbicara dengan ucapan yang dimengerti satu sama lain.
Hilda terus berkata dan berkata, namun tidak ada satu pun ucapannya yang kumengerti. Para tetua diam dan berusaha mendengarkan, dan mereka pun tidak memahami gadis malang itu. Giliranku yang berkata. Gelengan demi gelengan kuterima. Aku sampai harus memegang pundak kekasihku dan mengguncangkannya, namun tanpa daya. Selanjutnya Hilda hanya menangis, karena ia tidak mengerti satu pun dari ucapanku. Kami memahami bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.
Ya, sesuatu yang besar telah terjadi.