Aku mohon diri dan menuju kamar seberang. Penghuninya lagi -- lagi seorang wanita. Dalam perjalanan, Charles menyusulku. Ia telah selesai melakukan penggeledahan kamar. Aku bertanya.
"Benar -- benar tidak ada barang berharga yang diambil?"
"Tidak ada. Dompetnya berada di kantong celananya, buku -- buku tabungan dan surat berharga lainnya berada di dalam dokumen di laci meja. Tidak ada yang diambil."
Kami pun bergegas. Penghuni kamar seberang adalah ibu rumah tangga, bekerja di rumah dan mengurusi anak, sementara suaminya adalah seorang taksi online. Suaminya sedang bekerja, sedangkan anaknya sedang bermain bersama teman -- temannya di luar, sehingga meninggalkan ia sendiri di kamar. Namun, sungguh sial bagi kami karena ia mengaku bahwa pintunya tertutup sepanjang waktu, selama waktu kejadian. Namanya adalah Nadira. Untungnya ia sangat ramah dan senang bercerita.
"Mari, pak, silakan duduk di ruang tengah." ucapnya sopan ketika kami menjelaskan maksud kedatangan kami.
"Apakah ibu tidak merasa sedih ketika tetangga ibu, Andrea Marsudi, sudah tewas oleh perampok?"
Charles mengerti ini. Aku memang senang memancing orang dengan keterangan palsu untuk mendapatkan opini mereka tentang korban dan pelaku.
"Tentu saja saya sedih, pak polisi, tapi sepertinya ia layak mendapatkannya. Tunggu, biar saya jelaskan."
Aku mengernyit. Ia bergegas membawa cangkir teh ke hadapan kami. Wajahnya sepenuhnya sumringah, seperti tidak ada tanda -- tanda kesedihan.
"Andrea Marsudi tampak sebagai orang baik -- baik. Ia bilang bahwa ia bekerja di perusahaan terkenal di tengah kota. Lalu datang ke sini lima bulan lalu dengan membawa bayi kecil, tanpa ayah.Â
Sekarang pak polisi pikirkan, mana ada orang yang bekerja di perusahaan terkenal datang ke tempat seperti ini tanpa seorang suami? Bukankah ini aneh? Saya sudah curiga sejak awal ia datang. Tampilannya seperti orang terhormat, bajunya selalu rapi, tapi tidak bisa menjaga hubungan dengan suaminya. Ia pasti perempuan nakal."