"Nak, mengapa orang -- orang berkumpul dan membakar pedupaan? Ini belum waktunya untuk melakukan puja bakti."
"Raja sedang sakit karena terkena racun, paman. Katanya waktunya tidak lama lagi. Semoga dharma Sang Buddha melindungi raja."
Udayaditya terkejut. Dengan cepat ia berlari menuju tangga istana. Pikiran -- pikiran buruk menguasai dirinya. Raja diracuni? Ada -- ada saja. Apakah ini perbuatan lain Kerajaan Kutai? Tidak mungkin.
Udayaditya menerjang melewati pintu gerbang istana, berlari menyusuri halaman luas istana, segenap pikirannya tertuju pada ruang kebesaran raja. Ia membatalkan niatnya ketika melihat khalayak ramai berkumpul di ruang perawatan. Udayaditya melangkah menuju ruang perawatan dan mendesak masuk.
Sebuah penglihatan yang tidak diinginkan olehnya terjadi di ruangan itu. Udayaditya melihat raja terbaring lemah di atas pembaringan. Pipi dan bibirnya membiru, matanya sayu, dan kulit mukanya kuning pucat. Keringat mengalir deras di sisi -- sisi kepalanya.Â
Seorang tabib terlihat sedang mengolesi dahinya dengan ramuan oles, diikuti oleh para pembantu di samping -- sampingnya. Beberapa membuat ramuan, beberapa mengipasi raja. Isak tangis memenuhi ruangan, menutupi kabar kekalahan yang akan disampaikan oleh Udayaditya.
Raja melihat kedatangan Udayaditya. "Kemarilah, nak Udayaditya."
Udayaditya tidak mampu menahan emosinya. Ia tersungkur di samping Samagrawira. Tangis sedu sedan muncul sebagai puncak dari kesedihan.
"Maafkan aku, kakek. Maafkan kami. Kami telah gagal mengemban amanah. Langit tidak berpihak kepada kami."
Samagrawira mengelus lembut kepala Udayaditya. Ia memejamkan matanya. "Di mana Balaputradewa? Apakah ia gugur di medan pertempuran?"
Udayaditya menengadahkan kepalanya, "Tidak, kek. Ia sedang bersemedi untuk menyembuhkan luka -- luka yang ia alami. Ia katakan mumpung berada di Pulau Jawa, ia hendak bertemu dengan Raja Manarah."