Matahari tidak terlihat di langit yang tertutup debu, membuat keduanya tidak mengetahui tanda waktu. Udayaditya mengetahui bahwa tugasnya menyisakan satu hal.
Aku benci membujuk orang yang sulit untuk menerima kekalahan. Aku tahu bahwa ia sekali ini mengalami kegagalan. Tapi sikapnya itu berlebihan.
Udayaditya bergegas menuju pondok yang berada di bagian selatan hutan. Ia mengingatnya sebagai tempat pemukiman tuan putri Kerajaan Medang dan adiknya ketika takdir mempertemukan mereka sore kemarin. Sebagai gantinya, seorang putra mahkota dari tanah seberang sekarang sedang menjalankan semedi di dalamnya. Balaputradewa.
Angin hangat membuatnya menahan napas selama perjalanan. Udayaditya segera membuka pintu dan menyaksikan Balaputradewa sedang menjalankan meditasi. Matanya tertutup dan ia bergeming terhadap kedatangan Udayaditya.
"Paman Balaputradewa, aku tahu kau mendengarku. Marilah, kita beranjak dari tempat ini dan pulang ke tanah Sumatera."
Balaputradewa pelan -- pelan membuka matanya. Ia tersenyum.
"Percuma untuk pulang, wahai Udayaditya, takdir kita belumlah selesai. Aku masih memiliki tugas."
Nada Udayaditya meninggi, "Paman, tolonglah. Kami tahu bahwa pasukan Sriwijaya tidak pernah gagal dalam melakukan penyerangan. Kami tahu paman tidak pernah kalah. Kami tahu paman tidak pernah gagal. Namun sekarang langit dan bumi berkata lain. Kita akan celaka jika kita tinggal lebih lama di tempat ini."
"Tutup pintu dan jendela rapat -- rapat. Aku akan baik -- baik saja."
"Paman, aku benar -- benar terkejut. Kau bermaksud tinggal di tempat ini?"
"Sudah kukatakan, misi kita belum selesai, wahai pangeran kecil." Balaputradewa tersenyum tipis.