Aku tidak bisa melihat warna pakaiannya.
Yang jelas ia adalah musuh, karena pedangnya teracung.
Aku berusaha untuk melihat wajahnya.
Mukanya memerah karena amarah, bagaikan bara api.
Walau terhalangi debu dan abu, aku mengenalnya.
Aku mengenal kemarahannya.
Hidup bersamanya selama belasan tahun membuatku memahami amarahnya.
Dan amarah itu terjadi akibat rakyat sudah jadi korban.
Benar, kami adalah adik kakak.
Kubentangkan busur panahku, kutarik anak panah kencang -- kencang.
Di hari biasa adalah kemustahilan bagiku untuk tidak mengenai target.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!