Thamrin Sonata
Batari Ratih
Hujan. Basah. Senyap. Pagi tak menguning seperti jika matahari muncul dari balik bukit di atas permukaan laut.
“Mereka tetap melaut,” kataku seperti kepada diri sendiri, di mana di sampingku berdiri istriku, Tantri. Nun di sana, nelayan-nelayan berangkat meninggalkan daratan untuk mencari penghidupan. Dalam ombang-ambing irama lautan, yang serba tak menentu.
Laut, o, laut
Apa sebenarnya yang selalu kau bawa kembali ke pantai
Dari perjalanan ombak-ombak yang ombang-ambing
Dari asin dan kelam di kedalaman tubuhmu
Laut, o, laut
Apa kau juga membawa kembali harapan-harapan yang dihanyutkan
Oleh mereka yang pernah putus berharap
Hari beringsut, tiga hari ini berturut-turut muncul lelaki yang selalu bersama istrinya ke warung kami, untuk memesan kopi, seraya meminta gorengan lalu mereka diam. Lama. Entah mengapa. Namun saat sang istri berlalu-lalang di atas paving tepi Pantai Sanur seperti orang-orang pagi hari menyambut di pantai, ia mengajak kami berbincang, terutama denganku. Dimulai dari pertanyaan-pertanyaan ringan tentang kenapa berjualan, berapa harus membayar sewa tempat tenda dan seterusnya. Termasuk keuntungan atau pendapatan kami sehari-hari sebagai penjual di warung kecil model kaki lima.
“Selamat pagi, Pak Made,” sapa lelaki masih tampak gagah itu setelah gerimis benar-benar sirna.
“Selamat pagi, Pak ...,” sahutku tak bisa menyebut nama seperti ia kepadaku. Karena aku tak tahu. “Nyenyak semalam tidur, Pak?”
“Alhamdulillah ....apalagi menjelang tengah malam hujan kecil.”
“Iya,” sahutku cepat. “Tadi pun, masih sempat.”
Ia tertawa.
“Kami ini pun hampir kesiangan. Eh, paginya masih sepi begini.”
Dua gelas kecil kopi, kami hidangkan. Juga sepiring pisang goreng. Dan sang istri, yang entah siapa pula namanya, jalan-jalan menyusuri pantai yang masih tanpa matahari, kelabu. Sisa-sisa gerimis.
Di pantai, belajarlah tentang penerimaan
Berkali-kali terabaikan
Menjadi tepi paling tepi
Memberi pelukan pada segala yang pulang
Lelaki itu membuka koran pagi, selain buku dibiarkan di meja yang sudah kami lap dengan bersih, dan sudah kering karena tak ada lagi gerimis tersisa.
“Bapak enak betul, bisa santai dan libur lama. Menginap di hotel mewah dan nyaman di belakang ini,” kataku membuka pembicaraan, saat ia melipat koran lokal.
Ia tertawa.
”Pak Made yang enak. Tiap hari bisa menikmati pantai yang indah. Ya, tiap hari. Sepertinya tenang hidupnya.”
Aku yang tertawa sekarang. Entah kenapa, mungkin karena merasa kenal, aku menyela dengan ringan. “Mungkin sesekali bisa bertukar tempat, Pak. Saya jadi Bapak, Bapak jadi saya yang hanya menjual warung begini di kaki lima. Seperti dalam acara di Tivi itu.”
Lelaki itu tertawa kian kencang.
“Boleh, boleh ....”
“Ah, mana mungkin?” seru saya menahan tertawa.
Siapa yang mampu menukar nasib
Garis-garis terukir dalam
Di telapak tangan, nama berbeda
Persimpangan, tiap tikungan
Berbeda
Tanganmu tak menyatu di pundakku
Entah apa yang membuat kami melanjutkan kisah tentang bagaimana seandainya bertukar tempat. Hingga kemudian ia seperti ingin berkeluh kesah.
“Saya ini ke sini karena sumpek.”
“Soal pekerjaan, Pak?”
“Bisa dibilang begitu. Ya, soal manusia-manusia ibukota, yang sok pintar. Sok modern. Tapi sebenarnya keblinger?”
“Keblinger?”
“Salah jalan. Banyak yang seperti itu.”
“O.”
“Ya, saya tahu karena saya dari daerah Jawa Tengah, lalu menjadi anggota Dewan di Senayan.”
“O, Bapak ....”
Ia tertawa masam. Seraya menepiskan tangan. Seperti ingin mengatakan, lupakan saja. Lalu melanjutkan, “Kalau Pak Made ada di dalamnya, wah... tak seindah yang dibayangkan. Ya bayangan orang-orang tentang wakil rakyat.”
“Tapi ...kan tetap enak. Gajinya gede. Kadang ke luar negeri. Ya, setidaknya seperti sekarang inilah, Pak. Ke Bali beberapa hari dengan istri.”
”Benar. Tapi maksud saya, ya keadaan di sana. Orang-orangnya ....”
“Para wakil rakyat itu, maksudnya?”
“Apalagi?”
“Kenapa?”
“Hedonis.”
“Hedonis?” aku mengernyitkan kening. Tak mengerti apa persisnya kata itu.
“Ya, kayak binatanglah.”
Aku mengernyitkan kening lagi. “Kok?”
Saat itu sang istri tampak berjalan menuju warung tenda kecil kami.
“Sudahlah. Istrikulah yang menyandera. Agar saya tetap jadi binatang di Senayan.”
Aku bengong. Tak bisa-bisa berkata-kata. Pagi ini terasa senyap dari biasanya.
Tuan, apa kau kenal Tuhan?
Kalau sempat, tolong tanyakan
: kenapa kesenangan membuatku menjadi binatang?
“Pagi, Pak Made, Ibu ....” sapa sang istri.
Istriku, Tantri yang menjawab.
Lalu keadaan sepi. Pagi berlalu yang membuatku seperti orang gagu. Setelah pembicaraan dengan lelaki yang kuanggap hebat itu. Yang jelas, tak diketahui oleh Tantri. Yang bisanya hanya berjualan dengan didampingiku.
Istriku, baiknya kau tetap hanya menatapku
Aku takut, lautan
Akan membawamu
Pergi.
***
Catatan: karya kolaborasi puisi dan prosa Batari Ratih dan Thamrin Sonata dalam event Bulan kolaborasi RTC.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H