Oleh mereka yang pernah putus berharap
Hari beringsut, tiga hari ini berturut-turut muncul lelaki yang selalu bersama istrinya ke warung kami, untuk memesan kopi, seraya meminta gorengan lalu mereka diam. Lama. Entah mengapa. Namun saat sang istri berlalu-lalang di atas paving tepi Pantai Sanur seperti orang-orang pagi hari menyambut di pantai, ia mengajak kami berbincang, terutama denganku. Dimulai dari pertanyaan-pertanyaan ringan tentang kenapa berjualan, berapa harus membayar sewa tempat tenda dan seterusnya. Termasuk keuntungan atau pendapatan kami sehari-hari sebagai penjual di warung kecil model kaki lima.
“Selamat pagi, Pak Made,” sapa lelaki masih tampak gagah itu setelah gerimis benar-benar sirna.
“Selamat pagi, Pak ...,” sahutku tak bisa menyebut nama seperti ia kepadaku. Karena aku tak tahu. “Nyenyak semalam tidur, Pak?”
“Alhamdulillah ....apalagi menjelang tengah malam hujan kecil.”
“Iya,” sahutku cepat. “Tadi pun, masih sempat.”
Ia tertawa.
“Kami ini pun hampir kesiangan. Eh, paginya masih sepi begini.”
Dua gelas kecil kopi, kami hidangkan. Juga sepiring pisang goreng. Dan sang istri, yang entah siapa pula namanya, jalan-jalan menyusuri pantai yang masih tanpa matahari, kelabu. Sisa-sisa gerimis.
Di pantai, belajarlah tentang penerimaan