Mohon tunggu...
Humaniora

Jurnal A: Inspirasi Hidup dari Pelbagai Media dan Perenungan

26 Januari 2017   17:10 Diperbarui: 27 Januari 2017   02:18 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Omdo atau omong doang atau juga NATO (no action talk only) tak melulu mengandung unsur keburukan. Dengan sedikit perbaikan perspektif dan melihat dengan lebih baik, maka banyak yang patut direnungkan dari hal tersebut. Tak bisa dipungkiri pula bahwa karakteristik omdo atau NATO dibutuhkan dalam beberapa jenis profesi seperti motivator, penyiar, dan lainnya. Hanya saja sebagai contoh, motivator pasti berbicara dengan obrolan yang bermanfaat, menggairahkan, dan menyemangati.

 Omdo menjadi buruk dalam situasi seperti misal ada segelintir orang yang cenderung mengkritik pekerjaan orang lain walau saat mengerjakan sendiri sangatlah buruk.

 Saat menanggapi omdo, bisa pula dengan alternatif yang lebih damai dengan diri sendiri dengan cara mengapresiasi kritikan tersebut sebagai kritik yang membangun, penghargaan akan keberanian untuk mengatakannya secara langsung. Walaupun sebagian besar omongan si omdo adalah bualan dari tekanan yang ada dalam dirinya yang pada saatitu sedang meledak, percayalah bahwa di sela-sela banyak hal tersebut selalu ada pelajaran yang bisa dipetik untuk perbaikan kita pribadi.

 Patut pula kita ingat bahwa sebagai manusia tentulah ada saat dimana kita yang menjadi si omdo. Dan saat itu terjadi, sebisa mungkin memilah-milah, memfilter dengan akal sehat dan nurani, barang apa saja yang perlu dikatakan dan mana yang tak perlu karena tak akan bermanfaat bagi siapapun.

 Mari menjadikan situasi dimana kita berada sebagaimana situasi yangmendorong semangat untuk bekerja, berkarya dan mengabdikan diri, bukan justru situasi yang penuh semangat dan menyenangkan untuk berkomentar yang kurang baik.

5 Agustus 2016

 Smart Happiness Smart FM: Worry vs Surrender (bersama Arvan Pradiansyah dan Olla Nurlija)

Worry (khawatir) berbeda dengan surrender (berserah) walaupun dasar dari keduanya ialah sama-sama kekhawatiran. 

 Kekhawatiran itu muncul dari ketimpangan antara 2 hal yang sangat berkaitan yakni keinginan dan ketidakpastian. Saat kekhawatiran itu melanda dan kontrol diri sangat minim, maka perasaan tersebut akan berlanjut kepada perasaan kepanikan, seperti seolah ingin mengambil kontrol akan segala situasi (yang sebenarnya tidak pasti). Maka muncullah perasaan powerless atau ketidakberdayaan. Di sisi lain, kekhawatiran yang berangsur menjadi suatu bentuk penyerahan atau berserah diri, itulah yang membentuk makna dari surrender, tetap mengandalkan iman atau kepercayaan kepada Tuhan sebagai figur atau sosok yang bisa dipercaya (reliable), yang akan memberikan arti penguatan dan menjadikan kuat (powerful). 

 Meski keduanya sangat tampak berbeda, khawatir atau worry adalah jalan menuju perasaan berserah atau surrender. Sama saat berharap kepadaTuhan atas segala apa yang sudah tidak bisa lagi dilakukan, hal ini menunjukkan bahwa berserah itu akan ada setelah adanya kekhawatiran. Akhirnya, berserah itulah yang akan menghantarkan kita kepada iman dan iman itulah yang sebagai puncak dari kebahagiaan.

 Iman dan cemas itu berbanding terbalik. Kalau banyak cemasnya berarti kurang iman sebaliknya kalau iman kuat maka tak ada kecemasan berarti. Iman pun juga bukan hanya perkara ketaatan melainkan juga kepercayaan dan tindakan berserah diri atau menyerahkan diri dengan segala masalah dan beban yang ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun