Mohon tunggu...
Rizal Pahlefi
Rizal Pahlefi Mohon Tunggu... Guru - Guru & Mahasiswa

Jika hujan menyuburkan tanah dan menumbuhkan tanaman maka al-Qur'an membersihkan hati dan menyuburkan ketaqwaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Semantik dalam Karya Tafsir Kontemporer

13 Desember 2023   17:35 Diperbarui: 13 Desember 2023   17:41 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keempat. Setelah langkah ketiga dilakukan, maka langkah terakhir adalah menyingkapkan konsep yang ditawarkan oleh al-Qur’an kepada pembaca agar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terwujudlah visi Qur’ani dalam yang didasari pada pokok-pokok aturan Qur’an. Keadaan seseorang dapat dilihat dari implikasi yang diperoleh dari pemahaman konsep al-Qur’an sehingga menjadikan hidupnya lebih baik.

Penjelasan diatas memberikan pengertian baru bahwa semantik al-Qur’an bertujuan untuk mengilustrasikan pemahaman yang baru (yang belum dikenal oleh individu) dari apa yang ditawarkan oleh al-Qur’an itu sendiri, ia dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi perlu juga digaris bawahi sebagaimana penjelasan Eko Zulfikar[22] dalam jurnalnya bahwa tafsir kontomporer yang dipahami dengan ilmu semantik ini berusaha menjelaskan al-Qur’an sesuai tingkat kepahaman dan kondisi sosial dalam masyarakat, maksudnya -terang Eko- pernyataan bahwa al-Qur’an semestiya mengikuti perkembangan zaman adalah sebuah satemen yang tidak boleh diucapkan oleh siapapun, karena maksud yang diinginkan dari pernyataan tersebut terkesan al-Qur’an harus menyesuaikan diri dengan keadaan zaman, tapi statmen yang diinginkan sebenbarnya adalah merekontrusksi kembali produk tafsir klasik yang sulit dipahami relevansinya dengan situasi modern-kontemporer, dengan keterangan lain tafsir kontemporer menjelaskan kembali (men-syarah) makna tafsir dahulu dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat modern melalui langkah dan prosedur yang tertib, salah satunya dengan menggunakan pendekatan semantik, sehingga al-Qur’an dapat dipahami oleh masyarakat modern dengan tepet guna, karena memahami al-Qur’an tidak bisa hanya sekedar belajar bahasa arab dalam konteks Nahwu dan Saraf namun perlu ilmu lainnya yang mengantarkan pembaca pada makna yang tepat sesuai diinginkan oleh Allah ta’ala dalam al-Qur’an. 

Periode Semantik dalam al-Qur’an 

Periode semantik Qur’an menurut Fuazan azima sesungghuhnya telah dimulai semenjak era klasaik namun belum menjadi sebuah kajian ilmu semantik yang independen, pengakuan adanya embrio semantik dalam penafsiran al-Qur’an, dapat dibuktikan saat para mufassir merujuk istilah makna dari kata dalam bahasa arab kedalam kamus (mu’jam), al-Farahidi guru dari Abu al-Aswad al-Dualy dengan kitabnya al-‘Ain yang menguraikan makna asal kata dan bentuk kata dalam kalimat, namun perkembangan sejarah kata tidak dijelaskan dalam kamus tersebut.

Era klasik 

Era klasik yang dimaksudkan disini adalah masa sesudah wafatnya Nabi saw. pada saat itu para sahabat dan ulama mencoba memahami makna bahasa dasar dengan makna (kiasan) atau makna yang timbul dari relasional kata dasar seperti dalam memahami ayat  34 surah al-Kahfi, Allah ta’ala berfirman


dan dia memiliki kekayaan besar, maka dia mengatakan kepada kawannya (yang beriman) ketika bercakap-cakap dengan (saudaranya itu) "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat” (Qs. al-Kahfi: 34)

Kata ṣamar pada ayat tersebut makna dasarnya adalah “buah-buahan”, namun sebagian muafasir seperti Mujahid (guru dari Imam Ibn Katsir) memaknai kata tersebut dengan kekayaan berupa emas dan perak, menurut Nur Kholis Setiawan sebagaimana dijelaskan oleh Fauzan Azima perubahan makna tersebut terjadi sebagai arti pentingnya konteks masyarakat saat itu, semantik al-Qur’an mulai diterapakan (menurut Nurkhalis) dalam penafsiran al-Qur’an sejak masa Muqatil Ibn Sulayman, Muqatil (w.150 H/767 M.) menjelaskan setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna dasar dan memiliki makna alternatif lain, seperti makna “yadd” kata yadd memiliki arti dasar yaitu “tangan” dalam penafsirannya selain makna dasar tangan secara harfiah yaitu berbentuk fisik, juga memiliki makna alternatif lain seperti menandakan dengan dermawan seperti surah al-Isra’ ayat 29, juga berbentuk aktifits seperti terdapat dalam surah yasi ayat 35, ulama lainnya adalah Harun Ibn Musa, Yahya Ibn Salam, al-jahiz, Ibn Qutaybah dan Abd al-Qadir al-Jurjany.[23]

Penjelasan Nurkholis mengindikasikan bahwa tokoh pertama dalam Islam yang meletakkan penafsiran semantik dalam kitabnya secara praktis adalah Muqatil Ibn Sulayman (w.150 H/767 M.) pada karyanya yang populer Tafsir al-Kabir, sedangkan awal mula penerapan secara umumnya dalam bidang semantik dari cabang tanda sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yaitu pada masa khalifah Ali ra. yaitu pada saat ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duali (w.69 H) memberikan syakal ayat al-Qur’an, sedangkan praktik ulama ushul seperti yang dijelaskan oleh Abdurrahman al-Hilali dalam tulisan ini merupakan praktik yang dilakukan sesudah Muqatil Ibn Sulayman, karena ushul fiqh baru ada semasa Imam al-Syafi’I (w. 204 H/819 M). dan dikembangkan pada masa Abu Hatim al-Razi (w. 277 H) 

Era kontemporer

 M. Syahrur dalam bukunya “al-kitab dan al-Kuna, Qira’ah al-Mua’asshirah” sudah mulai terlihat pendekatan semantik ketika ia membedakan antara makna kata al-Qur’an dengan al-kitab  sebagai sebutan mushaf ustmani yang dipegang saat ini, namun  tokoh paling dikenal dari semantik al-Qur’an adalah Toshihiko Izutsu  karya semantik tersebut ia tuangkan dalam karya ilmiah “God and Man in the Koran”, pria kelahiran jepang ini menganalisis makna Allah melalui ilmu semantiknya, kemudian ia ia meneruskan ushanya tersebut dalam bukunya yang berjudul “Concept of  belive in Islamic Theology” ia juga mengananisa dan mempelajari makna iman dan islam lebih lengkap dalam karyanya “Ethico-Regeligous Concept in the Qur’an[24] Menurut hemat penulis tafsir Qur’an dengan metode semantik ini belum ada satu karya khusus dari tafsir al-Qur’an yang ada saat ini, jika ditarik kedalam pendekatan tafsir maka ia dapat didudukkan dalam pendekatan tafsir lughawi dengan metode maudhu’i.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun