Mohon tunggu...
Rizal Pahlefi
Rizal Pahlefi Mohon Tunggu... Guru - Guru & Mahasiswa

Jika hujan menyuburkan tanah dan menumbuhkan tanaman maka al-Qur'an membersihkan hati dan menyuburkan ketaqwaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Semantik dalam Karya Tafsir Kontemporer

13 Desember 2023   17:35 Diperbarui: 13 Desember 2023   17:41 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Abstrak: Bahasa merupakan sarana utama dalam memahami maksud dari sebuah informasi, Allah ta’āla telah menegaskan bahwasanya pengantar yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan bahasa arab agar manusia dapat mengambil pelajaran darinya (Qs. Yusuf 1-2), secara umum meskipun banyak manusia yang mempelajari al-Qur’an, masih ada disana khazanah ilmu yang belum tersingkap serta hikmah-hikmah tiada habisnya, demikianlah luas pengetahuan yang terkandung didalam al-Qur’an, bukti tersebut sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya dalam surah al-Kahfi tepatnya ayat 109. Ulama salaf (klasik) telah berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an melalui disiplin ‘Ulūm al-Qur’ān  sebagai basic utama dalam memahami maksud yang dituju dari teks al-Qur’an, diantara ilmu yang paling mendasar dari kajian ilmu-ilmu al-Qur’an adalah ilmu bahasa Arab, sebagai sebuah pengantar bahasa al-Qur’an, cabang ilmu bahasa arab memiliki sub tema masing-masing yang terperinci seperti ilmu Nahwu, sharaf, balagahah, badi’, bayan, isytiqaq dan setiap cabang menyertainya, namun demikian ada satu cabang ilmu dari bahasa yang belum populer dalam kajian tafsir al-Qur’an kecuali baru dikemukakan di zaman kontemporer, meskipun secara praktisnya telah dilakukan oleh ulama terdahulu dalam kajian tafsir al-Qur’an, tetapi secara sub bab pembahasan dalam ‘ulumul Qur’an belum ditemukan pembahasan secara khusus  terhadap langkah-langkah penafsiran al-Qur’an dari segi asal usul makna kata, menurut hemat peneliti pembahasan yang dipraktikkan ulama tafsir dahulu lebih kepada segi dilalah lafzh dan kaidah turunan kata atau isytiqāq dalam memahami suatu nash, sedangkan pembahasan secara perubahan makna dari faktor sejarah dan kedudukan dalam kalimat belum terbahas secara tuntas,  perkembangan dan  perubahan  makna, serta kedudukan kata dalam kalimat tersebut dikenal dengan semantik, salah satu pembahasan semantik ini di kemudian hari oleh seorang tokoh Toshiko Izutzu menjadikan kajian ini sebagai sebuah prosedur dalam memaknai akar kata dalam al-Qur’an, ada empat tahapan umum yang ditawarkan oleh Toshohiko Izutsu untuk mengetahui maksud yang dituju oleh al-Qur’an itu sendiri yaitu; pertama, penerapkan kata fokus dan kata kunci yang terdapat pada kalimat atau ayat al-Qur’an sebagai langkah awal, kedua, menjelaskan makna dasar dan makna relasional terhadap kata fokus, ketiga, dilanjutkan dengan kejian historis dari kata fokus, keempat, melihat secara kesuluruhan konsep yang digambarkan oleh al- Qur’an pada masing-masing kata kunci dan kata fokus sehingga ia dapat dipraktikkan kehidupan manusia.

Pendahuluan

Al-Qur’an diturunkan sebagai sebuah hidayah (petunjuk) kepada umat manusia, sebagaimana telah Allah firmankan dalam al-Qur’an surah al-Isra’ ayat 9 yang maksudnya adalah bahwa al-Qur’an itu memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman yaitu mereka yang mengerjakan amal kebajikan dengan kepastian bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar. Pembahasan al-Qur’an begitu jelas bagi sebagian manusia bagi siapa yang ingin mengambil pelajaran darinya,  sebagai sebuah petunjuk ada sekian banyak hikmah yang belum terungkap, meskipun ulama tafsir telah berusaha sesuai masanya, pernyataan tersebut dapat dibuktikan setiap penelitian al-Qur’an selalu ada hal-hal segi kemukjizatan terbaru yang tersingkap yang mengundang decak kagum, demikianlah kekhususan yang dimiliki al-Qur’an dibanding dengan kitab-kitab yang lain, Allah ta’āla berfirman dalam surah al-Kahfi ayat 109 bahwa sesungguhnya apabila lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Allah dalam arti (ilmu pengetahuan) maka habislah air lautan itu sebelum habis ditulis kalimat-kalimat Allah ta’ala, bahkan jika lautan tersebut melebihi isi bumi sekalipun.

Mufassir terdahulu telah berupaya menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan  disiplin ilmu yang beragam seperti yang digambarkan dalam ‘Ulumul Qur’an atau Ilmu lainnya yang tumbuh seiring dengan latar belakang sosial budaya masyarakat pada saat mufassir tersebut hidup, dari penemuan terbaru al-Qur’an terbentuklah displin ilmu tertentu dari waktu ke waktu sehingga Imam Ibn ‘Atiyyah al-Andalusi berkomentar dalam salah satu perkataannya “Kitabullah tidak dapat ditafsirkan melainkan dengan semua cabang ilmu,”[1] diantara  sarana paling urgen dalam menangkap pesan al-Qur’an adalah Ilmu lughah (bahasa), para ulama dahulu telah menjadikan bahasa arab sebagai pondasi pertama dalam memahami al-Qur’an dari segi qawa’id (kaidah), tashnīf (klasifikasi/pembagian) dan al-Taḥlīl (analitik), namun selain ilmu bahasa (lughah) yang telah diletakkan pondasinya oleh ulama terdahulu  bukan berarti disana tidak ada pembahasan yang masih berpeluang untuk memunculkan sub bab pembahasan terbaru.

Berbicara Mabahis(pembahasan) ilmu al-Qur’an di era kontemporer  terdapat sebuah metode dalam menafsirkan al-Qur’an yang melihat bahasa arab secara umum tentang asal usul kata dan  relasionalya, disini yang dimaksudkan bukan membahas ilmu bahasa serta bentuknya secara khusus, apalagi membahas perinciannya sebagaimana dasar yang telah ditetapkan oleh ulama bahasa terdahulu. Dalam  memahami al-Qur’an dengan menggunakan  pendekatan suatu metode tertentu bukan perkara yang dibilang mudah untuk menyimpulkan sebuah teori secara spontanitas, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orientalis dengan melihat berbagai metode yang mereka peroleh dengan tujuan membenturkan dan menghasilkan kesimpulan yang keliru dengan tujuan akhir mereka, metode atau pendekatan demikian akan merusak segi keilmuan atau metode yang telah disusun dalam Ilmu al-Qur’an secara umum yang telah diletakkan oleh ulama terdahulu, maka pendekatan baru (oleh orientalis) demikian sudah semestinya diragukan dan berhati-hati darinya karena ia tidak dikenal secara umum dalam ilmu-ilmu al-Qur’an,[2] namun demikian dalam mengkritisi apa yang dibawa oleh sebagian orientalis saat mengambil sebagian metode sesuai tujuan mereka untuk menyalahi ilmu al-Qur’an secara umum, perlu perhatikan sesuatu yang jarang dibahas secara tuntas oleh mereka guna mendukung ilmu al-Qur’an yang tidak menyelisihi kaidah umum yang ditetapkan para ulama serta bermanfaat dalam memahami al-Qur’an secara yang diketahui secara umum dalam kaidah tafsir, sebagai contoh sebuah metode Semantik yang ditawarkan oleh Toshihiko Izutsu,[3] dalam teorinya ia menjelaskan maksud al-Qur’an dari segi makna kata fokus dan kata kunci yang mengelilinginya, asal usul kata tersebut dan perkembangannya, relefansi makna kata serta memahaminya dalam kontek ayat al-Qur’an yang dikenal dengan semantik.

Pembahasan


Pengertian Semantik

Semantik dalam  bahasa arab dikenal dengan istilah علم الدلالة salah satu dari rangkaian dalam ilmu bahasa (linguistik),[4] Ilmu dilalah (tanda) sendiri telah muncul seiring dengan kesadaran berbaahasa oleh manusia, sejarawan menyatakan ilmu ini telah muncul semenjak zaman peradaban di India dan yunani, para pakar Islam sendiri telah menetapkan ilmu ini dalam memahami makna dan kaidah ushul untuk menetapkan hukum-hukum dalam Islam, namun belum ada spesifikasi antara istinbath al-Nash dan pembahasan bahasa arab secara khusus dari segi asal usulnya serta keduduakannya, namun pembahasan bahasa yang digunakan hanya untuk memahami kaidah dalam nash (teks) dan pembahasan secara teratur dalam memahami makna-makna istilah yang diistibatkan dari lafazh, ulama ushul secara khusus telah menetapkan bab  tentang ilmu dilalah menjadi sebuah pembahasan khusus dalam kitab mereka, terutama saat memahami al-Qur’an dari segi kemusykilan ayat dan I’jaz yang dapat ditarik kesimpulan hukumnya, jadi ulama ushul adalah ulama pertama yang membahas ilmu dilalah dari segi lafazh dan maknanya, adapun perhatian ulama bahasa (lughah) terhadap ilmu dilalah sebatas aspek sejarah isytiqaq (turunan/pecahan) pada lafazh.[5]  

Istilah semantik sendiri populerkan oleh seorang sarjana prancis M. Breal tahun 1883, asal kata semantik sendiri diambil dari kata  semantikos yang berarti memberi makna, memberi arti dan memberi tanda, dalam etimologi yunani semantikos (memaknai) memiliki turunan kata semainein (mengartikan) dan sema (tanda), seperti tanda yang diberikan diatas kuburan (nisan) untuk menjelaskan orang yang dikuburkan ditempat tersebut.[6] Pengertian secara etimologi sebelumnya mengindikasikan bahwa maksud dari semantik adalah mengetahui asal dari kata dengan cara menyelidikinya dari tanda pertama sekali muncul dan perubahannya.[7] Sedangkan menurut epistemologi semantik merupakan cabang ilmu bahasa (linguistik) yang menyelidiki tentang makna (ma’ani mufradat)  dengan makna kata maupun simbol, gagasan atau benda yang terwakili, semantik adalah hubungan simbol dan objek (pengertian) yang terkandung didalam simbol tersebut, sederhananya hubungan antara simbol dengan makna.[8] 

Penjelasan diatas dapat dipahami sesungguhnya objek kajian semantik adalah sebuah pembahasan tentang makna yang dikandung dalam sebuah kata yang berhubungan dengan objek atau sebuah konsep yang terkandung didalam kata tersebut baik berupa kata, ekspresi maupun frase yang terkandung dalam sebuah susunan bahasa. Plato menyatakan bahwa bahasa sendiri adalah ungkapan pikiran seseorang dengan mediasi onomate dan rhemata yang berupa isi gagasan melewati rongga mulut,[9] aristatoles juga menjelaskan bahwa makna dalam kata itu secara umumnya terbagi kepada dua yaitu makna yang yang terdapat dalam kata itu sendiri (sebagai makna hakiki) dan makna yang hadis dikarenakan adanya hubungan grametikal, atau sebagaimana yang dijelaskan verhaar bahwa makna kata itu ada bentuknya gramtikal dan leksikal.[10] Membicarakan semantik al-Qur’an sendiri maka ia berbicara tentang bahasa yang dikemukakan al-Qur’an yaitu bahasa Arab dan meneliti asal usul makna tersebut baik masa jahiliah, masa al-Qur’an diturunkan ataupun masa sesudahnya mencari relasi makna tersebut dalam al-Qur’an. 

Semantik al-Qur’an.

 Berbicara tentang semantik al-Qur’an berarti sama halnya berbicara pokok pembahasan bahasa sebagai salah satu sarana menyempaikan wahyu, karena ia merupakan komponen sosial masyarakat yang tidak bisa dipisahkan, Abu Zaid menyatakan bahwa ketika Allah memilih sistem penyampaian wahyu Allah swt.  menentukan dan memilih bahasa sesuai dengan individu pertamanya, dengan demikian dapat dipahami bahwa Allah sebagai komunikator aktif dan Nabi Muhammad saw. sebagai komunikator yang bersifat pasif dan dan bahasa Arab suatu kode penyampain informasi (komunikasi), bahasa merupakan media efektif dalam memberikan pemahaman kepada orang lain, oleh sebab itu setiap individu yang ingin mengkaji semantik al-Qur’an harus memahami benar makna dibalik bahasa pengantar al-Qur’an yaitu bahasa Arab sehingga dapat pengetahuan yang murni yang bisa diterapkan dalam kehidupan.[11]

al-Qur’an yang dipegang sekarang tidak dapat dipahami secara utuh malainkan harus ditelurusi aspek internelanya, studi yang dimaksudkan adalah yang berfokus pada pergeseran makna kata dari generasi ke generasi serta pengaruhnya terhadap sosio psikologis, dari itu menurut Fauzan Azima[12] semantik merupakan sebuah metode yang tergolong ideal dalam memahami makna yang dimaksudkan oleh Allah ta’ala dalam al-Qur’an, karena metode ini menawarkan pelacakan perkembangan makna dalam arti perbuhan, perkembangan, dan maksud yang dituju dalam sebuah kata.

Fauzan Azima dalam penelitiannya menyatakan jika dilihat sepintas ilmu semantik ini hampir sama dengan ilmu balaghah  yang terdapat dalam  al-Qur’an yang membicarakan tentang munasabah satu kata dengan kata lainnya, secara sekilas semantik masuk dalam kajian ulumul Qur’an, hanya saja ia lebih berfokus kepada sejarah perubahan kata tertentu dalam al-Qur’an itu sendiri dari masa ke masa yang manakah yang lebih sesuai dengan kata yang dimaksud yang lebih sesuai,[13] 

Semantik al-Qur’an pula sebenarnya telah ada semenjak zaman pemberian syakal pada al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Aswad al-Dualy masa kekhalifahan Ali ra. menurut anwar seperti kutipan Mastur dalam diktatnya menyatakan pemberian tanda titik dan baris (syakal) adalah cabang dari ilmu semantik karena ia bagian dari perubahan kata, Abu Hatim al-Razi yang dikenal sebagai perintis pertama dalam ilmu semantik menjelaskan beberapa bentuk perubahan bahasa dalam ilmu semantik, pertama, makna  pertama yang telah diwariskan,  lafal/kata lama yang sudah diberi makna baru  setelah datangnya Islam jika ditinjau dari perluasan, penyempitan paupun pergeseran makna, tiga lafal makna yang baru muncul, artinya baik bahasa itu dibangun  dari kata itu sendiri atau orang arab tidak mengenal sebelumnya, lima, lafal  yang terserap dari bahasa asing (pengalihan bahasa asing).[14] Penjelasan Abu Hatim al-Razi menunjukkan bahwa pembahasan ilmu dilalah telah ada sebelumnya seperti dalam pendahuluan tulisan ini, ulama suhul telah menetapkan pondasinya, adapun perkembangannya dijelaskan kembali oleh al-Razi, adapun cikal bakal dari cabang ilmu semantik lainnya sudah muncul pula semenjak zaman ali ra. saat memerintahkan Abu al-Aswa al-Dualy memberikan tanda syakal pada ayat al-Qur’an (tanda titik dan baris)

Penjelasan diatas memberikan pemahaman kepada penulis dan pembaca bahwa semantik adalah salah satu ilmu kebahasaan (linguistik) yang berfokus pada makna. Menurut Harun Nasution sebagaimana dalam penelitian Nurjaliyah[15] menjelaskan secara umum  ilmu bahasa terbagi dua yaitu ilmu bahasa (linguistik) murni dan linguistik terapan, bidang linguistik murni diantaranya morfologi, fonologi, semantik dan sintaksis, sedangkan linguistik terapan diantaranya bahasa, leksikografi, penerjemahan dan lainnya, maka dapat dipastikan ilmu semantik yang sedang dibahas dalam penelitian ini adalah cabang dari linguistik terapan.

Langkah Penelitian Semantik 

Pembahasan semantikdalam al-Qur’an yang sangat dikenal adalah seorang tokoh yang bernama Toshihiko Izutsu, ia memberikan pengertian semantik al-Qur’an sebagai penelitian analitik untuk term kata kunci yang  didapati dalam al-Qur’an dengan mengaplikasikan bahasa al-Qur’an sendiri agar diketahui weltanschauung atau pandangan masyarakat dunia terhadap kata tersebut di dalam al-Qur’an, sederhananya adalah visi Qur’ani yang membicarakan tentang alam semesta, secara garis besar Izutsu melakukan penelitian  tentang beberapa konsep pokok yang  didapati dalam al-Qur’an dan kaitannya dengan persoalan bagaimana dunia wujud distrukturkan, apa komponen inti dunia, dan bagaimana satu dan lainnya saling berkaitan, secara sederhana Isuzu menjelaskan kensep weltanschaununger adalah sebuah kajian dan struktur pandangan dengan menggunakan mekanisme metodologis terhadap konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri yang terdapat dalam kata kunci,[16] artinya ayat al-Qur’an dapat menafsirkan suatu kata dengan kata-kata kunci yang mengilingi kata fokus sehingga ia menjadi sebuah makna yang baru karena adanya korelasi satu dan beberapa kata kunci dengan kata fokus, adapun konsep pokok yang terkandung dalam makna-makna al-Qur’an adalah:

Pertama, menentukan kata yang ingin dikaji dalam al-Qur’an secara keseluruhan kemudian kata yang dimaksud menjadi fokus (kajian tema) yang diliputi oleh beberapa kata kunci baik ia di awal, ditengah, atau sesudah kata fokus sehingga ia membentuk sebuah persepsi atau konsep pada bidang semantik, sederhananya kata fokus adalah kata pokok pembahasan dari sebuah konseptual keseluruhan kata, maknanya jika tanpa ada kata fokus maka kata-kata lain yang ada dalam sebuah kalimat tidak dapat dimengerti, posisi kata kunci ini adalah cakupan yang membentuk bermacam keterkaitan diantara kata-kata dalam sebuah bahasa,[17] toshohiko menjelaskan bahwa makna yang dieratkan tersebut di spesifikasikan hanya pada kalimat yang mengelilingi kata kunci al-Qur’an bukan makna diluar makna tersebut secara umum dalam bahasa arab, artinya setiap kata fokus dalam satu ayat dipahami dengan makna kata kunci yang mengelilinginya, kemudian hubungan makna antar kalimat (ayat) yang memiliki kaitannya dengan kata kunci pada ayat yang lain dikumpulkan sehigga ia menjadi sebuah konsep yang dapat dipahami secara keseluruhan dalam a-Qur’an dengan  makna yang beragaram baik kecil maupun besar.[18]

Kedua, menyingkapkan makna dasar serta makna relasional , yang dimaksudkan adalah dalam sebuah bangunan kalimat tersebut terdapat makna dasar (sebagai makna fokus pembahasan) dan makna ralasional (yang berupa kata kunci yang mengelilinginya), makna dasar sendiri dapat dipahami sebagai makna leksikal sementara makna relasional lebih kapada mendekati makna kontekstual,[19] yang dimaksudkan adalah makna dasar itu wajah asli yang terdapat pada kata itu sendiri, makna dasar juga sering disebut dengan denotatif yaitu makna sesuai dengan apa adanya,[20] makna dasar dapat diketahui dengan merujuk kepada mu’jam bahasa arab sedangkan makna relasional baru dapat diketahui apabila didudukkan dengan kata kunci pada suatu bagian semantik.

Ketiga, menyingkap pengembangan, perubahan, pengalihan suatu makna kepada makna lainnya dalam perjalanan historis. Fauzan Azima menerangkan untuk mengkaji pemaknaan kata dalam bingkai historis penting untuk memperhatikan dua term penting dalam bidang semantik yaitu diakrinik dan sinkronik, sederhananya diakrinik itu adalah memandang perkembangan bahasa dari sisi waktu, sedangkan sinkronik adalah menemukan makna sebuah bahasa itu lahir dan perkembangan seiring berjalannya waktu dalam sejarah yang tumbuh dalam kelompok sosial untuk memperolah sistem yang statis, Eko zulfikar menjelaskan aspek sinkronik adalah aspek yang bersifat statis artinya ia tidak berubah dari konsep kata, berbeda dengan aspek diakronik aspek yang merupakan pertumbuhan dan perubahan kata yang berubah secara khas. Secara sederhana diakronik kata dalam al-Qur’an dilacak dari bahasa yang digunakan oleh orang arab  baik pada masa jahiliah atau sebelumnya, masa al-Qur’an diturunkan (masa Nabi saw.) dan masa sesudah nabi tiada hingga zaman kontemporer, sedangkan kata yang dipahami dalam makna sinkronik melihat perubahan bahasa dan pemaknaannya dari sejak awal kata tersebut diungkapkan hingga ia menjadi sebuah konsep tersendiri dalam al-Qur’an yang memiliki posisi penting dalam pembentukan visi Qur’ani.

Sedikit catatan, menurut peneliti tidak semua kata yang ada didalam al-Qur’an harus diperhatikan berubah dengan seiring waktu, karena Rasulullah saw. sebagai seorang yang memiliki kapasitas mutlak sebagai penjelas (mubayyin) dan bahasa arab al-Qur’an telah jelas sebagaimana Allah sebutkan dalam surah al-Syu’ara ayat 195, kata-kata yang dapat diinterpretasikan hanya kata-kata yang belum ada penjelasan saat al-Qur’an diturunkan, dan mengetengahkan makna tafsir saat permulaan turunnya al-Qur’an lebih diutamakan daripada masa sesudahnya, Qarḍawi dalam bukunya Kaifa Nata’amma ma’al Qur’ān[21] menjelaskan bahwa kata-kata yang menjadi rujukan pertama dalam al-Qur’an adalah dengan bahasa yang awal diturunkan al-Qur’an bukan bahasa sesudah itu, karena jika dipahami bahasa sesudah itu maka akan menimbulkan pergeseran makna yang jauh disebabkan pergeseran zaman dan budaya, sebagai contoh jika makna dasar langsung dirujuk kepada makna dalam perkembangan bahasa sekarang maka kata siyahah, sa’ih atau sa’ihah, dalam surah (al-Taubah ayat 112)"  السائحون " dan “السائحات” dalam surah (al-Tahrim ayat 5), jika dipahami dengan makna sekarang maka makna sa’ihīn dan sa’iḥāt adalah pelancong barat yang tidak mengindahkan etika agama dan moral (yang berjemur dipantai), berbeda jauh dengan yang dipahami oleh ulama salaf (sahabat dan tabi’in) yaitu “puasa” atau “hijrah fi sabilillah”, namun demikian semantik amat membantu mencari titik terang makna sesungguhnya yang diinginkan al-Qur’an saat ia diturunkan, meskipun membutuhkan waktu yang lama dalam penelitiannya.

Keempat. Setelah langkah ketiga dilakukan, maka langkah terakhir adalah menyingkapkan konsep yang ditawarkan oleh al-Qur’an kepada pembaca agar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terwujudlah visi Qur’ani dalam yang didasari pada pokok-pokok aturan Qur’an. Keadaan seseorang dapat dilihat dari implikasi yang diperoleh dari pemahaman konsep al-Qur’an sehingga menjadikan hidupnya lebih baik.

Penjelasan diatas memberikan pengertian baru bahwa semantik al-Qur’an bertujuan untuk mengilustrasikan pemahaman yang baru (yang belum dikenal oleh individu) dari apa yang ditawarkan oleh al-Qur’an itu sendiri, ia dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi perlu juga digaris bawahi sebagaimana penjelasan Eko Zulfikar[22] dalam jurnalnya bahwa tafsir kontomporer yang dipahami dengan ilmu semantik ini berusaha menjelaskan al-Qur’an sesuai tingkat kepahaman dan kondisi sosial dalam masyarakat, maksudnya -terang Eko- pernyataan bahwa al-Qur’an semestiya mengikuti perkembangan zaman adalah sebuah satemen yang tidak boleh diucapkan oleh siapapun, karena maksud yang diinginkan dari pernyataan tersebut terkesan al-Qur’an harus menyesuaikan diri dengan keadaan zaman, tapi statmen yang diinginkan sebenbarnya adalah merekontrusksi kembali produk tafsir klasik yang sulit dipahami relevansinya dengan situasi modern-kontemporer, dengan keterangan lain tafsir kontemporer menjelaskan kembali (men-syarah) makna tafsir dahulu dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat modern melalui langkah dan prosedur yang tertib, salah satunya dengan menggunakan pendekatan semantik, sehingga al-Qur’an dapat dipahami oleh masyarakat modern dengan tepet guna, karena memahami al-Qur’an tidak bisa hanya sekedar belajar bahasa arab dalam konteks Nahwu dan Saraf namun perlu ilmu lainnya yang mengantarkan pembaca pada makna yang tepat sesuai diinginkan oleh Allah ta’ala dalam al-Qur’an. 

Periode Semantik dalam al-Qur’an 

Periode semantik Qur’an menurut Fuazan azima sesungghuhnya telah dimulai semenjak era klasaik namun belum menjadi sebuah kajian ilmu semantik yang independen, pengakuan adanya embrio semantik dalam penafsiran al-Qur’an, dapat dibuktikan saat para mufassir merujuk istilah makna dari kata dalam bahasa arab kedalam kamus (mu’jam), al-Farahidi guru dari Abu al-Aswad al-Dualy dengan kitabnya al-‘Ain yang menguraikan makna asal kata dan bentuk kata dalam kalimat, namun perkembangan sejarah kata tidak dijelaskan dalam kamus tersebut.

Era klasik 

Era klasik yang dimaksudkan disini adalah masa sesudah wafatnya Nabi saw. pada saat itu para sahabat dan ulama mencoba memahami makna bahasa dasar dengan makna (kiasan) atau makna yang timbul dari relasional kata dasar seperti dalam memahami ayat  34 surah al-Kahfi, Allah ta’ala berfirman

dan dia memiliki kekayaan besar, maka dia mengatakan kepada kawannya (yang beriman) ketika bercakap-cakap dengan (saudaranya itu) "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat” (Qs. al-Kahfi: 34)

Kata ṣamar pada ayat tersebut makna dasarnya adalah “buah-buahan”, namun sebagian muafasir seperti Mujahid (guru dari Imam Ibn Katsir) memaknai kata tersebut dengan kekayaan berupa emas dan perak, menurut Nur Kholis Setiawan sebagaimana dijelaskan oleh Fauzan Azima perubahan makna tersebut terjadi sebagai arti pentingnya konteks masyarakat saat itu, semantik al-Qur’an mulai diterapakan (menurut Nurkhalis) dalam penafsiran al-Qur’an sejak masa Muqatil Ibn Sulayman, Muqatil (w.150 H/767 M.) menjelaskan setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna dasar dan memiliki makna alternatif lain, seperti makna “yadd” kata yadd memiliki arti dasar yaitu “tangan” dalam penafsirannya selain makna dasar tangan secara harfiah yaitu berbentuk fisik, juga memiliki makna alternatif lain seperti menandakan dengan dermawan seperti surah al-Isra’ ayat 29, juga berbentuk aktifits seperti terdapat dalam surah yasi ayat 35, ulama lainnya adalah Harun Ibn Musa, Yahya Ibn Salam, al-jahiz, Ibn Qutaybah dan Abd al-Qadir al-Jurjany.[23]

Penjelasan Nurkholis mengindikasikan bahwa tokoh pertama dalam Islam yang meletakkan penafsiran semantik dalam kitabnya secara praktis adalah Muqatil Ibn Sulayman (w.150 H/767 M.) pada karyanya yang populer Tafsir al-Kabir, sedangkan awal mula penerapan secara umumnya dalam bidang semantik dari cabang tanda sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yaitu pada masa khalifah Ali ra. yaitu pada saat ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duali (w.69 H) memberikan syakal ayat al-Qur’an, sedangkan praktik ulama ushul seperti yang dijelaskan oleh Abdurrahman al-Hilali dalam tulisan ini merupakan praktik yang dilakukan sesudah Muqatil Ibn Sulayman, karena ushul fiqh baru ada semasa Imam al-Syafi’I (w. 204 H/819 M). dan dikembangkan pada masa Abu Hatim al-Razi (w. 277 H) 

Era kontemporer

 M. Syahrur dalam bukunya “al-kitab dan al-Kuna, Qira’ah al-Mua’asshirah” sudah mulai terlihat pendekatan semantik ketika ia membedakan antara makna kata al-Qur’an dengan al-kitab  sebagai sebutan mushaf ustmani yang dipegang saat ini, namun  tokoh paling dikenal dari semantik al-Qur’an adalah Toshihiko Izutsu  karya semantik tersebut ia tuangkan dalam karya ilmiah “God and Man in the Koran”, pria kelahiran jepang ini menganalisis makna Allah melalui ilmu semantiknya, kemudian ia ia meneruskan ushanya tersebut dalam bukunya yang berjudul “Concept of  belive in Islamic Theology” ia juga mengananisa dan mempelajari makna iman dan islam lebih lengkap dalam karyanya “Ethico-Regeligous Concept in the Qur’an[24] Menurut hemat penulis tafsir Qur’an dengan metode semantik ini belum ada satu karya khusus dari tafsir al-Qur’an yang ada saat ini, jika ditarik kedalam pendekatan tafsir maka ia dapat didudukkan dalam pendekatan tafsir lughawi dengan metode maudhu’i.

Penerapan Semantik dalam Karya-karya Tafsir Kontemporer 

Karya-karya tafsir kontemporer yang membicarakan secara khusus tentang semantik adalah Toshihiko Izutsu dalam karyanya yang berjudul God and man in the Qoran, sejauh peneletian penulis tidak ada kitab tafsir yang menggunakan corak tafsir semantik secara penuh sebanyak tiga puluh juz dengan metode tahlili, kerena kajian dari semantik al-Qur’an adalah sebuah tema dari asal kata yang dicari maknanya dari dasar, relasi dan perkembangan dan  konsep kata tersbut dalam al-Qur’an, sebelum berbicara lebih jauh tentang metode penerapan dalam Izutsu ada baiknya mengenal tokoh tersebut secara singkat, Tosohiko Izutsu dilahirkan di Tokyo Jepang pada tanggal 4 Mei 1914, ia merupakan penganut agama buddha, ia tertarik belajar tentang Islam  semenjak ia sekolah menengah atas, yaitu pada saat ia mengenal budaya arab dan turki ia mengenal Islam dan mempelajari bahasa arab dengan minat yang besar karena perkenalannya dengan Musa Carullah Bigief, pada puncak keilmuannya ia menerjemahkan al-Qur’an kedalam bahasa Jepang.[25]

Jajak rekam Iizutsu bidang akademis, dimulai saat ia berkonsentrasi dibidang ekonomi di Keio University, Tokyo. Namun belum selesai, ia mengambil jurusan bahasa Inggris hingga ia sarjana pada jurusan tersebut. Seteah lulus Izutsu dipercari menjadi asisten riset dan menjadi dikampus tersebut. Karena kecerdasannya, pada tahun 1954 ia memperoleh gelar Profesor madya, ia merupakan dosen yang dikenal kecerdasannya. Jejak langkahnya didalam ilmu pengetahuan semantik dari satu negara ke negara lain bukti bahwa ia memiliki ide-ide brilian dalam konsentrasi yang ia pelajari. Izutsu  sebagai seorang peneliti dan pengajar di Universitas dunia ia pernah menetap di Mesir dan Lebanon tepatnya pada tahun 1959-1961 M., ia juga diminta oleh Wilfred Cantwell Smith untuk menjadi profesor tamu di McGill Canada pada tahun 1962-1968, ia juga menjadi tenaga pengajar di Imperial Iranian Academy of Philosophy Teheran pada tahu 1975-1979,  masih banyak kampus lain didunia yang ia kunjungi.[26] 

Karya Toshihiko Izutsu

Karya dengan judul God and Man in the Qoran yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Relasi Tuhan dan Manusia, (Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an)”, merupakan cetakan ke 2 tahun 2003 yang diterbitkan oleh PT. Tiara Wacana Yogya, berikut merupakan pembahasan semantik yang penulis angkat yaitu bab Bab VIII, tentang Jahiliah dan Islam.

Jahiliah dan Islam dalam Semantik al-Qur’an.

 Permulaan paragraf  Toshihiko menjelaskan makna kata pembahasan sebelumnya yaitu makna “Allah” dalam pengertiannya adalah penguasa mutlak diatas seluruh makhluk adalah berserah diri kepada-Nya oleh sebab itu seorang yang menyerahkan diri dinamakan dengan “hamba/‘abd” yang pada akhirnya menjadi makna “menyembah” dan “memuja”,[27] hubungan tersebut ditunjukkan pada fitman Allah ta’ala: 

رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖۗ هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا ࣖ

Terjemah Kemenag 2019

(Dialah) Tuhan (yang menguasai) langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya. Maka, sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui sesuatu yang sama dengan-Nya? (Qs. Maryam 65) 

Kata Islam sendiri dipahami sebagai  aslama wajhuhu ilallah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, Kemudian toshihiko menjelaskan makna dasar Islam bentuk verbalnya adalah aslama artinya memberi sesuatu yang sangat ia senangi. Kosep ini penting dibahas karena ia merupakan penamaan yang diberikan oleh Allah sendiri.

Menunrut Thoshihiko makna aslama sendiri masuk kedalam kata kerja yang disebut inchoative dengan kata lain dia menunjukkan sesuatu yang baru yang terwujud untuk pertama sekali, namun dalam bentuk partisipial muslim menunjukkan arti yang permanen, bahkan kemudian memiliki makna yang muncul dari langkah yang sudah pasti.

Makna Islam yang dipahami dalam al-Qur’an yang memiliki indikasi “kepatuhan” dan “ketundukan” sedikit samar karena terkesan kepatuhan diri dan kerendahan diri sebagai sebuah sikap bawaan setiap orang, dalam struktur semantik tidak ditemukan momentum keputusan eksistensial –terang toshihiko- yaitu momentum lompatan dalam kehidupan belum diketahui, menurut Tishihiko hanya Islam yang memiliki implikasi seperti tersebut, kemungkinan maksud toshihiko adalah pengalihan kehidupan dari kondisi kepada kondisi lainnya yang belum diketahui dalam arti baru terdengar istilah Islam ketika pra Islam itu sendiri dan harus mengubah pola hidup jahiliah.

Setelah seseorang melakukan lompatan yang pasti maka konsep “kepatuhan”, “penyerahan” dan “kerendahan” baru mengandung makna regelius yang sesungguhnya, maka makna “khusyu”, “tadarru'”, sebagai istilah kunci dalam al-Qur’an bukan bermakna kerendahan diri yang sederhana dan umum, penjelasan toshohiko tersebut menjelaskan bahwa makna kata kunci yang dimaksudkan dalam al-Qur’an tersbut bukan sebagaimana dipahami oleh umum orang dengan arti lemah dan menyerah. 

Bagan diatas menunjukkan lompatan yang sangat bertentangan dalam kehidupan pribadi sesorang yaitu antara jahiliah dan Islam, pembahasan jahiliah yang dimaksud adalah individu, bukan masa pra Islam. Seorang muslim dalam pengertiannya dia telah meninggalkan semua kepentingan dirinya, kebanggaannya sebagai manusia, sehingga ia menjadi manusia yang lemah dan hina dihadapan Tuhan yang kemudan dimaksud adalah Tuhan (Rabb) dan penguasanya, demikianlah yang digambarkan pada diagram B diatas, sedangakan pada diagram A menjelaskan sifat kebalikannya yaitu rasa bangga terhadap diri sendiri sebagai manusia, keperacayaan yang berlebihan, rasa merdeka yang absoulut, sehingga tidak mau patuh kepada siapa saja yang memerintahnya dalam konteks ini adalah baik Tuhan Maupun manusia, dari segi historitas sifat ini sangat dominan dalam masyarakat pra-Islam[28]

Dalam tradisi jahiliah -terang toshihiko- berbangga diri berlebihan dan sifat yang telah disebutkan sebelumnya dalam pandangan mereka bukan merupakan sebuah kerusakan moral tetapi identitas asli mereka, istilah-istilah mereka pra- Islam dahulu adalah, memliki kehebatan (al-fata), anafah (berhitung tinggi), ibā, penolakan (tidak membiarkan kehormatannya diremehkan) hamiyyah (semangat untuk membela apa yang harus dibela), dengan sifat mudah mencela walaupun hanya dengan hinaan kecil kepada mereka membuat mereka menolak dengan semangat berapi-api dan ini merupakan karakter jahiliah.

Dalam penjelasannya toshihiko menjelaskan bait syair jahiliah yang mengandung makna “aba” dalam arti kata menolak dengan rasa bangga, seseorang yang menolak apa saja yang menodai kehormatannya disebut dengan abay. Maka Islam datang untuk menghantam semangat orang –orang jahiliah tersbut dari akarnya untuk tunduk dan patuh kepada Tuhan, didalam al-Qur’an disebut dengan istighna dan tughyan yang berasal dari kata tagha  yang bererti aliran air keras kemudian menjadi tenang.[29] 

Dalam semangat jahiliah manusia merupakan tuan bagi dirinya sendiri adapun ajakan kepada tunduk kepada selain mereka dengan menjadi ‘abd (hamba) mengabdi dan berbuat dan berkata sepenuhnya untuk tuhan sendiri mereka menganggapnya sebagai sebuah hinaan dan sebuah pertentangan dengan kebebasan (hurr).

Dalam al-Qur’an istilah Jahiliyyah dipahami sebagai regelius dalam pengertian negatif karena landasan kata kufr berasal, karena kesombongan untuk tunduk kepada Tuhan tersebutlah yang menyebabkan kekufuran singkatnya jahiliyyah adalah adalah akar dan sumber kufr, jahl sangat bertentangan dengan hilm dalam pandangan jahiliah, jika dipahami dalam sejarah pra-Islam dalam syair-syair mereka kita temui makna jahiliyyah selalu disandingkan dengan hilm. Analisis yang dilakukan oleh Toshihiko dari makna jahl tersebut sebagai berikut:

Pertama, Merupakan sifat prilaku pada seseorang dari kata jim, ha dan lam, ia merupakan sifat berdarah panas dan tidak sabar, walaupun ia dipancing dengan masalah yang kecil, akibatnya ia melakukan tidakan gegabah  yang didirong oleh nafsu yang membabi buta tanpa kendali tanpa memikirkan akiban buruk dari perbuatan yang dilakukan itu, ini merupakan sifat yang menjadi perilaku yang menjadi ciri khas seseorang yang mudah tersinggung, tidak memeliki kendali terhadap perasaan dan emosinya, jika dipahami hlm adalah kemarahan yang menyala-nyala, citra itu sebenarnya digunakan oleh penyair jahiliyyah dengan dengan arti kata ihtidām artinya membakar dengan nyala api yang panas, sedangkan hilm adalah ketenangan, jalan pikiran yang seimbang, pengendalian diri dan ketenangan dalam pertimbangan, dalam pengertiannya Toshihiko menjelaskan syair pra Islam yang menyebutkan kata “jāhil” sebagai sebagai sifat dari panci yang terus mendidih dan menyala tidak pernah padam dan tidak mau tenang (halim).

Kemudian dia menjelaskan bahwa makna jahl pada pengertian pertama ini tidak ada sangkut pautnya dengan makna kebodohan, kemudian makna halim dari pengertian yang berbeda adalah bukanlah kelemahan tanpa berdaya, jika dia lemah dan tidak berdaya, halim adalah seseorang memiliki kekuatan untuk menanggulangi semua bentuk kekerasan dan hasutan.

Selanjutnya ia menjelaskan menifestasi dari kata hilm adalah waqr, sedangkan menefistasi kata jahl  adalah zulm, jika jahl dipahami sebagi sisi dalam dalam seseorang sedangkan zulm sisi luar, maka kapaun orang kehilangan kontrol diri maka ia dinamakan jahil, kemudian konsep tersebut dalam warna yang lebih tinggi kata jahl dipahami sebagai pembelaan terhadap kehormatan diri, yaitu sebuah kemarahan apabila kehormatannya ‘ird diganggu, dalam kasus ini maka dapat pahami bahwa maksud dari menjaga kehormatan diri/‘ird adalah konsep penolakan diri dari bentuk hinaan dalam hal ini pula dalam pengertian pra- Islam, inilah yang dipahami toshihiko sebagai hamiyyat al-jahiliyyah yang disebutkan dalam al-Qur’an, bagi mereka siapa saja yang mengajak tunduk dan patuh kepada Allah sebagai penguasa mutlak maka harus ditolak yang dianggap sebagai hinaan yang merendahkan mereka.

Kedua, Menurut Toshihiko makna kedua ini memiliki sangkut paut terhadap makna pertama dengan kata jahil, yaitu menyangkut dengan intelektual seseorang, apabila seseorang tidak dapat mengontrol emosinya yang meluap-luap dari berbagai bentuknya baik dari segi penolakan terhadap sesuatu yang dianggap merendeahkan mereka atau dari pengertian kemerahan yang meluap-luap tanpa kendali, maka akan menjadikan akal lemah dalam diri manusia, agar dia tetap menjadi seimbang dalam situasi apapun maka anda harus menjadi halim. 

Hilm juga dapat diarahkan kepada sikap yang lain, yaitu kemampuan memimpin dan kebijaksanaan politik, penunjukan kebijaksanaan dan kenegerawanan yang luar biasa yang berdasarkan pada pengontrolan yang sempurna terhadap perasaannya sendiri dalam bergaul dengan masyarakat terutama dalam mengendalikan dan memerintah orang lain, inilah yang dimiliki orang-orang Arab, sifat ini pada masa jahiliah sangat berpengaruh dan diakui oleh pemimpin/sayyi, dalam pengertiannya jika sifat hilm oleh masyarakat jahiliyyah digunakan dalam perdagangan maka Nabi Muhmmad saw. menggunakannya dalam mendakwahkan kegamaan (relegius)

Jahl dalam pengertian kedua ini bukanlah sifat permanen pada manusia, ia merupakan sikap  letupan nafsu yang sering kali terjadi disaat jiwa seseorang tidak seimbang, jika letupan ini sering terjadi pada seseorang sehingga menjadikan karakter, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut tidak mampu menimbang persoalan apapun, sehingga ia berpemahaman dangkal, sehingga dalam perbuatan dan perkataannya tersebut cenderung salah karena hasil analisa dangkal, maka dalam hal ini secara langsung telah membawa kita untuk memahami pengertian jahl sebagai sebuahbentuk kedangkalan dalam mempertimbangkan sesuatu yang mashlahat.

Sejalan dengan makna tersebut al-Qur’an menjelaskan keadaan orang miskin namun ia tetap menjaga diri dari meminta-minta, namun orang jahil menyangka bahwa mereka adalah orang kaya, namun seseorang dapat mengenal mereka dengan ciri-ciri/sifat-sifat mereka, tentu saja apa yang dimaksud oleh firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah 273 tersebut merupakan makna jahl dalam pengertian umum yang bersifat regilius, maksudnya adalah ketidak mampuan seseorang untuk memahami kehendak Tuhan dibalik setiap peristiwa dan ketidak mampuan melihat hal-hal alamiyah sebagai ayat. 

Ketiga, makna ketiga tidak terlalu jauh dari makna kata jahl, yakni kebodohan, disini kata jahl bukan lagi makna “kebodohan” sebagaimana telah ada penjelasan sebelumnya, disini lawan kata jahl bukan lagi hilm tetapi lebih kepada ilm (pengetahuan) sebagaimana telah diketahui ini merupakan makna jahl paling umum yang menurut bahasa Arab klasik. Namun makna ini tidak kalah penting dibandingkan dengan tiga makna dasar lainnya pada periode awal, dalam syair arab disebutkan penyair tersebut berbicara kepada kekasihnya ‘Ablah (puteri malik) “kenapa engkau tidak bertanya kepada penunggang kuda kita, bila engkau tidak tahu apa yang tidak engkau ketahui? yang artinya setiap orang mengetahui betapa gagah beraninya aku dimedan perang, tanyakan kepada siapa saja jika engkau tidak mengetahui hal ini”

Makna “kekurangan pengetahuan”, “kekurangan informasi” disini tidaklah memerankan peranan penting didalam al-Qur’an, kata tersebut pada umumnya digunakan menurut pengertian yang pertama dan kedua, sebagai contoh dapat kemukakan sebuah ayat

اِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّٰهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَاُولٰۤىِٕكَ يَتُوْبُ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

Terjemah Kemenag 2019

Sesungguhnya tobat yang pasti diterima Allah itu hanya bagi mereka yang melakukan keburukan karena kebodohan, kemudian mereka segera bertobat. Merekalah yang Allah terima tobatnya. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.  (Qs. al-Nisa: 17)

Penutup

Penerapan semantik diera kontemporer dalam memahami al-Qur’an diperkenalkan oleh seorang tokoh kelahiran Jepang yaitu Toshihiko Izutsu, ia mencoba menganalisa hakikat makna dari berbagai pendekatan, pendekatan makna-makna al-Qur’an tersebut tertuang dalam karyanya God and man in the Qoran yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Relasi Tuhan dan Manusia, (Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an), diantara pendekatan semantik yang ia sebutkan di halam awal adalah pertama, menetukan kata fokus yang dikelilingi oleh kata kunci, kedua, mengungkapkan makna dasar dan makna relasional yang berhubungan dengan foksus, ketiga, langkah selanjutnya adalah mengungkanpkan perkembangan makna kata dalam bingkai historis atau disebut juga semantik historis, keempat, Setelah langkah ketiga dilakukan langkah terakhir adalah mengungkapkan konsep-konsep apa saja yang ditawarkan al-Qur’an kepada pembacanya agar bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Penjelasan sebelumnya oleh Toshohiko dalam menerapkan pendekatan semantik al-Qur’an menunjukkan kedalaman makna al-Qur’an, salah satu contoh katanya adalah jahiliah-aslama-Islam yang menjadi istilah konsep dalam Islam bermakna penyerahan diri secara total kepada Allah ta’ala, istilah Islam sendiri Allah yang  memperkenalkan dalam al-Qur’an kepada orang-orang sebelum Islam (Pra-Islam/jahiliah), dari makna tersebut dapat merubah persepsi seseorang terhadap Islam bahwa al-Qur’an bukan kalam manusia, bukan hanya sikap yang berubah bahkan istilah-istilah baru yang memiliki fungsi berbeda-beda ikut berubah dalam pengertian al-Qur’an, singkat kata konsep yang diperkenalkan al-Qur’an telah merubah makna suatu kata yang dipahami dimasa jahiliah menjadi makna yang baru dan berpengaruh pada diri seseorang, karena itu merupakan proses perubahan yang sangat berat bagi seseorang.

DAFTAR PUSTAKA 

Azima, Fauzan. “Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan.” Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman I, no. 1 (2017): 2–172.

Ḥillalī, ‘Abdurraḥmān. “Istikhdām ‘Ilm Al-Dilālah Fī Fahmi Al-Qur’Ān: Qirā’at Fī Tajribat Al-Bāḥith Al-Yabānī Tusīhikū Izutsū.”

Almultaka. Last modified 2009. Accessed October 28, 2023. https://www.almultaka.org/site.php?id=752.

Hudzaifah, Ahmad Faaza, and Ahmad Fauzi. “Toshihiko Izutsu Dan Makna Semantik Atas Din Dalam Al-Qur’an : Studi Buku Relasi

Tuhan Dan Manusia.” Jurnal At-Tahfizh Jurnal Ilmu Al- Qur ’ an dan Tafsir Program 4, no. 2 (2023): 146–161.

Izutsu, Toshihiko. God and Men in The Qoran (Relasi Tuhan Dan Manusia Pendekatan Semantik Dalam Al-Qur’an). Translated by

Agus Fahri Husain. Cet. II. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2023.

Mastur. “Ilmu Dilalah.” Iain Jember (2020): 1–78.

Siompu, Nurjaliyah Aljah. “Relasi Makna Dalam Kajian Semantik Bahasa Arab.” Konferensi Nasional Bahasa Arab V 53, no. 9 (2019): 1689–1699.

Yusuf, Qarḍawi. Kaifa Nata’ammal Ma’a Al-Qur’an. Dār Al-Syurūq. Kairo, 2000.

Zikri, M ., and Nurhikma Nurhikma. “Terminologi Semantik Al-Quran Terhadap Kata Kunci : Studi Pada Kata Al-Khusyu’.” El-Afkar XI (2022): 284–296.

Zulfikar, Eko. “Makna Ūlū Al-Albāb Dalam Al-Qur ’ an : Analisis Semantik Toshihiko Izutsu.” Theologia 29, no. 1 (2018): 109–140

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun