Mohon tunggu...
Rizal Pahlefi
Rizal Pahlefi Mohon Tunggu... Guru - Guru & Mahasiswa

Jika hujan menyuburkan tanah dan menumbuhkan tanaman maka al-Qur'an membersihkan hati dan menyuburkan ketaqwaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Semantik dalam Karya Tafsir Kontemporer

13 Desember 2023   17:35 Diperbarui: 13 Desember 2023   17:41 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Abstrak: Bahasa merupakan sarana utama dalam memahami maksud dari sebuah informasi, Allah ta’āla telah menegaskan bahwasanya pengantar yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan bahasa arab agar manusia dapat mengambil pelajaran darinya (Qs. Yusuf 1-2), secara umum meskipun banyak manusia yang mempelajari al-Qur’an, masih ada disana khazanah ilmu yang belum tersingkap serta hikmah-hikmah tiada habisnya, demikianlah luas pengetahuan yang terkandung didalam al-Qur’an, bukti tersebut sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya dalam surah al-Kahfi tepatnya ayat 109. Ulama salaf (klasik) telah berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an melalui disiplin ‘Ulūm al-Qur’ān  sebagai basic utama dalam memahami maksud yang dituju dari teks al-Qur’an, diantara ilmu yang paling mendasar dari kajian ilmu-ilmu al-Qur’an adalah ilmu bahasa Arab, sebagai sebuah pengantar bahasa al-Qur’an, cabang ilmu bahasa arab memiliki sub tema masing-masing yang terperinci seperti ilmu Nahwu, sharaf, balagahah, badi’, bayan, isytiqaq dan setiap cabang menyertainya, namun demikian ada satu cabang ilmu dari bahasa yang belum populer dalam kajian tafsir al-Qur’an kecuali baru dikemukakan di zaman kontemporer, meskipun secara praktisnya telah dilakukan oleh ulama terdahulu dalam kajian tafsir al-Qur’an, tetapi secara sub bab pembahasan dalam ‘ulumul Qur’an belum ditemukan pembahasan secara khusus  terhadap langkah-langkah penafsiran al-Qur’an dari segi asal usul makna kata, menurut hemat peneliti pembahasan yang dipraktikkan ulama tafsir dahulu lebih kepada segi dilalah lafzh dan kaidah turunan kata atau isytiqāq dalam memahami suatu nash, sedangkan pembahasan secara perubahan makna dari faktor sejarah dan kedudukan dalam kalimat belum terbahas secara tuntas,  perkembangan dan  perubahan  makna, serta kedudukan kata dalam kalimat tersebut dikenal dengan semantik, salah satu pembahasan semantik ini di kemudian hari oleh seorang tokoh Toshiko Izutzu menjadikan kajian ini sebagai sebuah prosedur dalam memaknai akar kata dalam al-Qur’an, ada empat tahapan umum yang ditawarkan oleh Toshohiko Izutsu untuk mengetahui maksud yang dituju oleh al-Qur’an itu sendiri yaitu; pertama, penerapkan kata fokus dan kata kunci yang terdapat pada kalimat atau ayat al-Qur’an sebagai langkah awal, kedua, menjelaskan makna dasar dan makna relasional terhadap kata fokus, ketiga, dilanjutkan dengan kejian historis dari kata fokus, keempat, melihat secara kesuluruhan konsep yang digambarkan oleh al- Qur’an pada masing-masing kata kunci dan kata fokus sehingga ia dapat dipraktikkan kehidupan manusia.

Pendahuluan

Al-Qur’an diturunkan sebagai sebuah hidayah (petunjuk) kepada umat manusia, sebagaimana telah Allah firmankan dalam al-Qur’an surah al-Isra’ ayat 9 yang maksudnya adalah bahwa al-Qur’an itu memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman yaitu mereka yang mengerjakan amal kebajikan dengan kepastian bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar. Pembahasan al-Qur’an begitu jelas bagi sebagian manusia bagi siapa yang ingin mengambil pelajaran darinya,  sebagai sebuah petunjuk ada sekian banyak hikmah yang belum terungkap, meskipun ulama tafsir telah berusaha sesuai masanya, pernyataan tersebut dapat dibuktikan setiap penelitian al-Qur’an selalu ada hal-hal segi kemukjizatan terbaru yang tersingkap yang mengundang decak kagum, demikianlah kekhususan yang dimiliki al-Qur’an dibanding dengan kitab-kitab yang lain, Allah ta’āla berfirman dalam surah al-Kahfi ayat 109 bahwa sesungguhnya apabila lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Allah dalam arti (ilmu pengetahuan) maka habislah air lautan itu sebelum habis ditulis kalimat-kalimat Allah ta’ala, bahkan jika lautan tersebut melebihi isi bumi sekalipun.

Mufassir terdahulu telah berupaya menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan  disiplin ilmu yang beragam seperti yang digambarkan dalam ‘Ulumul Qur’an atau Ilmu lainnya yang tumbuh seiring dengan latar belakang sosial budaya masyarakat pada saat mufassir tersebut hidup, dari penemuan terbaru al-Qur’an terbentuklah displin ilmu tertentu dari waktu ke waktu sehingga Imam Ibn ‘Atiyyah al-Andalusi berkomentar dalam salah satu perkataannya “Kitabullah tidak dapat ditafsirkan melainkan dengan semua cabang ilmu,”[1] diantara  sarana paling urgen dalam menangkap pesan al-Qur’an adalah Ilmu lughah (bahasa), para ulama dahulu telah menjadikan bahasa arab sebagai pondasi pertama dalam memahami al-Qur’an dari segi qawa’id (kaidah), tashnīf (klasifikasi/pembagian) dan al-Taḥlīl (analitik), namun selain ilmu bahasa (lughah) yang telah diletakkan pondasinya oleh ulama terdahulu  bukan berarti disana tidak ada pembahasan yang masih berpeluang untuk memunculkan sub bab pembahasan terbaru.

Berbicara Mabahis(pembahasan) ilmu al-Qur’an di era kontemporer  terdapat sebuah metode dalam menafsirkan al-Qur’an yang melihat bahasa arab secara umum tentang asal usul kata dan  relasionalya, disini yang dimaksudkan bukan membahas ilmu bahasa serta bentuknya secara khusus, apalagi membahas perinciannya sebagaimana dasar yang telah ditetapkan oleh ulama bahasa terdahulu. Dalam  memahami al-Qur’an dengan menggunakan  pendekatan suatu metode tertentu bukan perkara yang dibilang mudah untuk menyimpulkan sebuah teori secara spontanitas, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orientalis dengan melihat berbagai metode yang mereka peroleh dengan tujuan membenturkan dan menghasilkan kesimpulan yang keliru dengan tujuan akhir mereka, metode atau pendekatan demikian akan merusak segi keilmuan atau metode yang telah disusun dalam Ilmu al-Qur’an secara umum yang telah diletakkan oleh ulama terdahulu, maka pendekatan baru (oleh orientalis) demikian sudah semestinya diragukan dan berhati-hati darinya karena ia tidak dikenal secara umum dalam ilmu-ilmu al-Qur’an,[2] namun demikian dalam mengkritisi apa yang dibawa oleh sebagian orientalis saat mengambil sebagian metode sesuai tujuan mereka untuk menyalahi ilmu al-Qur’an secara umum, perlu perhatikan sesuatu yang jarang dibahas secara tuntas oleh mereka guna mendukung ilmu al-Qur’an yang tidak menyelisihi kaidah umum yang ditetapkan para ulama serta bermanfaat dalam memahami al-Qur’an secara yang diketahui secara umum dalam kaidah tafsir, sebagai contoh sebuah metode Semantik yang ditawarkan oleh Toshihiko Izutsu,[3] dalam teorinya ia menjelaskan maksud al-Qur’an dari segi makna kata fokus dan kata kunci yang mengelilinginya, asal usul kata tersebut dan perkembangannya, relefansi makna kata serta memahaminya dalam kontek ayat al-Qur’an yang dikenal dengan semantik.

Pembahasan


Pengertian Semantik

Semantik dalam  bahasa arab dikenal dengan istilah علم الدلالة salah satu dari rangkaian dalam ilmu bahasa (linguistik),[4] Ilmu dilalah (tanda) sendiri telah muncul seiring dengan kesadaran berbaahasa oleh manusia, sejarawan menyatakan ilmu ini telah muncul semenjak zaman peradaban di India dan yunani, para pakar Islam sendiri telah menetapkan ilmu ini dalam memahami makna dan kaidah ushul untuk menetapkan hukum-hukum dalam Islam, namun belum ada spesifikasi antara istinbath al-Nash dan pembahasan bahasa arab secara khusus dari segi asal usulnya serta keduduakannya, namun pembahasan bahasa yang digunakan hanya untuk memahami kaidah dalam nash (teks) dan pembahasan secara teratur dalam memahami makna-makna istilah yang diistibatkan dari lafazh, ulama ushul secara khusus telah menetapkan bab  tentang ilmu dilalah menjadi sebuah pembahasan khusus dalam kitab mereka, terutama saat memahami al-Qur’an dari segi kemusykilan ayat dan I’jaz yang dapat ditarik kesimpulan hukumnya, jadi ulama ushul adalah ulama pertama yang membahas ilmu dilalah dari segi lafazh dan maknanya, adapun perhatian ulama bahasa (lughah) terhadap ilmu dilalah sebatas aspek sejarah isytiqaq (turunan/pecahan) pada lafazh.[5]  

Istilah semantik sendiri populerkan oleh seorang sarjana prancis M. Breal tahun 1883, asal kata semantik sendiri diambil dari kata  semantikos yang berarti memberi makna, memberi arti dan memberi tanda, dalam etimologi yunani semantikos (memaknai) memiliki turunan kata semainein (mengartikan) dan sema (tanda), seperti tanda yang diberikan diatas kuburan (nisan) untuk menjelaskan orang yang dikuburkan ditempat tersebut.[6] Pengertian secara etimologi sebelumnya mengindikasikan bahwa maksud dari semantik adalah mengetahui asal dari kata dengan cara menyelidikinya dari tanda pertama sekali muncul dan perubahannya.[7] Sedangkan menurut epistemologi semantik merupakan cabang ilmu bahasa (linguistik) yang menyelidiki tentang makna (ma’ani mufradat)  dengan makna kata maupun simbol, gagasan atau benda yang terwakili, semantik adalah hubungan simbol dan objek (pengertian) yang terkandung didalam simbol tersebut, sederhananya hubungan antara simbol dengan makna.[8] 

Penjelasan diatas dapat dipahami sesungguhnya objek kajian semantik adalah sebuah pembahasan tentang makna yang dikandung dalam sebuah kata yang berhubungan dengan objek atau sebuah konsep yang terkandung didalam kata tersebut baik berupa kata, ekspresi maupun frase yang terkandung dalam sebuah susunan bahasa. Plato menyatakan bahwa bahasa sendiri adalah ungkapan pikiran seseorang dengan mediasi onomate dan rhemata yang berupa isi gagasan melewati rongga mulut,[9] aristatoles juga menjelaskan bahwa makna dalam kata itu secara umumnya terbagi kepada dua yaitu makna yang yang terdapat dalam kata itu sendiri (sebagai makna hakiki) dan makna yang hadis dikarenakan adanya hubungan grametikal, atau sebagaimana yang dijelaskan verhaar bahwa makna kata itu ada bentuknya gramtikal dan leksikal.[10] Membicarakan semantik al-Qur’an sendiri maka ia berbicara tentang bahasa yang dikemukakan al-Qur’an yaitu bahasa Arab dan meneliti asal usul makna tersebut baik masa jahiliah, masa al-Qur’an diturunkan ataupun masa sesudahnya mencari relasi makna tersebut dalam al-Qur’an. 

Semantik al-Qur’an.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun