Kuntara hanya mengangguk, tak menjawab sepatah kata pun. Nyi Widati hanya menggelengkan kepalanya saja, melihat sikap acuh putranya.
“Terimakasih Ratih! Buah ini besar dan masak. Pasti manis rasanya,” sahut Nyi Widati, yang tak ingin melihat Ratih kecewa.
Bibi emban kemudian datang menyuguhkan minuman disela pembicaraan itu.
“Silahkan Nyi Mas Widati, Ngger Kuntara dan Ratih! Minumannya sudah siap!” ujar bibi emban itu.
“Terimakasih bi!” sahut Nyi Widati.
Setelah pelayan itu berlalu dari pendapa, Nyi Widati kembali menasihati putranya.
“Ngger Kuntara anakku! Jangan kebencian membutakan matamu. Ki Suradilaga hanya memperbincangkan soal niaga kepadaku, jangan terlalu berprasangka buruk kepadanya,” Nyi Widati berkata sareh. Tetapi sesungguhnya Nyi Widati telah menyembunyikan perjanjian piutang yang telah disepakati dengan Ki Suradilaga.
“Maafkan aku ibu!” sahut Kuntara pendek. Walaupun sebenarnya masih ada perasaan yang mengganjal dihatinya.
Ratih hanya mendengarkan pembicaraan keduanya. Wajah polosnya seolah tidak terganggu dengan masalah yang terjadi dirumah itu.
“Ratih!” ujar Nyi Widati kemudian. “Ajaklah Kuntara berbincang-bincang, aku akan masuk dulu!” berkata Nyi Widati , sambil berlalu meninggalkan pendapa.
Ratih kemudian mencoba berbicara dengan Kuntara lagi. “Kakang! Kau tidak ingin mencoba buah manggis hasil kebunku?”