“Kakang! Kau sadar apa yang kau perbuat?” kata Ratih.
“Ratih! Jangan menahanku, aku tidak suka jika ada orang yang berani melukai perasaan ibuku.”
“Ya. Tapi bukan dengan cara seperti ini!” Ratih mencoba menyadarkan Kuntara.“Aku tak pernah melihat putra Nyi Widati sekasar ini sebelumnya!”
Kuntara terkejut mendengar perkataan Ratih, bagaimana pun juga kata-kata itu telah mempengaruhi perasaannya. Akhirnya pedang yang mulanya teracung itu kini merunduk, lalu Kuntara memasukkan lagi ke warangkanya.
“Marilah ke dalam kakang! Kita berbicara dengan kepala dingin, jangan mengikuti hawa nafsu.”
Kuntara tidak menolak ketika tangan Ratih membimbingnya kembali ke pendapa.
Nyi Widati yang melihat kehadiran Ratih, menarik napas lega. “Anak gadis Ki Dipawana itu memang penuh kecakapan, meskipun penampilannya sederhana. Sayang Kuntara tidak ada hati untuknya,” Nyi Widati bergumam.
“Ratih!” sapa Nyi Widati. “Kau sendiri?”
“Ya bi!” sahut Ratih, sambil mendudukkan Kuntara disisi ibunya.
Ratih meletakkan bakul yang dibawanya, lalu berkata. “Aku membawakan buah kesukaan kakang Kuntara, bibi! Kebetulan tadi pagi, ayahku menyempatkan diri memetik buah manggis di kebun belakang rumah.”
Ratih tersenyum sambil memandang Kuntara. “Kau masih ingat kakang? Aku dulu sering meminta kau memetikkan buah manggis untukku.”