Pekarangan rumah Kuntara memang cukup luas. Pekarangan itu banyak sekali ditumbuhi pohon buah dan beberapa petak lahan untuk tanaman jagung. Sementara disekelilingnya dipagari pohon Maja yang berjajar, membuat pekarangan itu terlindung dari hewan liar.
Hati Kuntara makin berdebar-debar ketika Ratih terus menyeret langkahnya ke rimbunnya pohon bambu di sudut terdalam pekarangan rumahnya.
“Ratih! Ratih! Jangan menjadi gila Ratih?”
Ratih hanya sekilas menatap Kuntara sambil tersenyum dingin, lalu berkata. “Bukankah tadi kau katakan ingin menjadi lelaki sejati, lalu kenapa kau merajuk seperti itu?”
“Tapi.., tapi apa maksudmu membawaku ke tempat ini?”
Ratih menghentikan langkahnya tepat dibawah tanah datar, yang disekelilingnya ditumbuhi rimbun pohon bambu.
“Aku akan mengajarimu menjadi seorang lelaki sejati kakang!” ujar Ratih, sambil melepas genggaman tangannya dilengan Kuntara.
“Tidak.., tidak perlu Ratih. Biarlah aku tetap seperti sekarang ini, kau tidak perlu berbuat aneh-aneh!” sahut Kuntara dengan keringat dingin mengalir dikeningnya.
Kuntara makin berdebar-debar ketika mata Ratih menatap tajam matanya, rasanya tatapan itu bagai menghujam jantung.
“Kau sudah siap kakang?” kata Ratih yang berdiri di hadapan Kuntara.