Nyi Widati menarik napas dalam-dalam. Ia memang mengakui, sepanjang hidup suaminya, Kuntara tidak pernah berminat belajar ilmu kanuragan. Walaupun mendiang suaminya beberapa kali pernah menawarkan Kuntara untuk mempelajarinya.
Nyi Widati pun merasa, bahwa kedekatan keduanya akan merubah tanggapan Kuntara terhadap Ratih. Sebenarnya ia lebih setuju, jika Kuntara berjodoh dengan Ratih ketimbang Gendis anak Demang Kembojan itu. Tetapi apa daya, Kuntara hanya menganggap Ratih seperti adiknya saja.
“Maafkan aku yang salah duga, Ratih!” kata Nyi Widati kemudian, sambil memeluk Ratih
“Aku mendukung niat kalian berdua, sudah saatnya kau bangkit Kuntara. Sibukkanlah dirimu dengan hal yang bermanfaat!”
“Nah Kuntara! Sekarang, antarkan Ratih pulang kerumahnya. Tentu Ki Dipawana merasa khawatir, karena hampir senja Ratih belum pulang.”
Kuntara mengangguk. “Baik ibu!”
Nyi Widati tersenyum penuh harapan memandang Kuntara yang mengantarkan Ratih pulang.
“Mudah-mudahan ini awal yang baik,” gumam Nyi Widati.
Kuntara yang mengantar Ratih pulang, berjalan disisi Ratih. Kembali terbersit dipikirannya, perasaan kagum atas pribadi Ratih. Tetapi ia mencoba menafikkannya, dengan membandingkannya dengan Gendis.
“Ah tidak! Ratih hanya gadis polos yang kesehariannya bergelut di dapur. Sedangkan Gendis gadis terhormat, dan lagi cerdas. Gendis gemar membantu orang yang dalam kesusahan dan lagi aku sudah pernah ingin menikahinya,” Kuntara membathin.