Mohon tunggu...
Taufiqurrohman Syahuri
Taufiqurrohman Syahuri Mohon Tunggu... Guru - Dosen

Taufiqurrohman Syahuri, Lahir di Desa kulon kali Pemali Brebes, 02 Mei 1960. Pendidikan: SD-SMA di Brebes, S1 HTN Fakultas Hukum UII Yogyakarta (lulus 1985), S2 Ilmu Hukum UI (1993) dan S3 HTN Pascasarjana Fakultas Hukum UI (lulus tahun 2003). Pengalaman Mengajar S1 di Unib, Usahid, PTIK, U-Borobudur dan U-Yarsi; S2 di UIJ, Esa Unggul, Jaya Baya, Unib dan UIN serta S3 di Unib dan UB. Mata kuliah yang diampu antara lain: Hukum Tata Negara, Perbandingan HTN, Hukum Konstitusi, Hukum Otonomi Daerah, Teori Hukum, Teori Hukum Administrasi Negara (HAN), Politik Hukum dan Filsafat Hukum. Beberap kali menguji Disertasi Program Doktor. Karya Buku dan Publikasi : Hukum Konstitusi, 2004, Jakarta: Ghalia Indonesia; Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta: Prenada 2013; Tanya Jawab Tentang MK di Dunia Maya, Jakarta: Setjen MK, 2006, Editor, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi, P3DI-Setjen DPRRI, 2009. Pengalaman kerja, Guru SMA Muhammadiyah 1985; Dosen UNIB sejak 1986, Pendiri S1 Hukum Usahid dan Magister Hukum Unib, Dosen FH UPNV Jakarta sejak 2019, Pernah Komisioner KY RI 210-2015, Tenaga Ahli MK RI 2003-2007; Tenaga Ahli BK DPR RI 2018, dan Sekretaris Hukum Wantimpres 2019.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

MELAWAN LUPA

2 Juli 2022   21:41 Diperbarui: 2 Juli 2022   21:55 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MELAWAN LUPA

Kajian Konstitusional Pasal Penghinaan Terhadap Presiden Pra Putusan MK Dalam Perpektif Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Taufiqurrohman Syahuri (Dosen HTN Fakuktas Hukum UPN Veteran Jakarta)

Pengantar

Artikel berikut ini merupakan tulisan lama tahun 2006 sebagai pemikiran dalam rangka menyongsong Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian pasal-pasal penghinaan dalam KUHP terhadap presiden yang permohonan pengujiannya itu diajukan oleh Agi Sujana ketika itu sebagai tersangka penghinaan terhadap presiden di masa Presiden Soesilo Bambang Yudoyono yang dikenal dengan panggilan SBY. Artikel ini sudah dibukukan dalam buku penulis yang berjudul Tafsir Konstitusi Berbagai Apek Hukum Terbtan tahun 2013. Untuk melawan lupa, artikel ini penting penulis munculkan kembali guna menghadapi akan dilahirkannya kembali pasal-pasal penghinaan terhadap pengelola negara dalam RUU KUHP dengan narasi lain tetapi jiwa dan substansinya sama aja, yang kini sedang dibahas oleh Pemerintah bersama DPR. Pengelola negara merasa keberatan martabatnya sebagai pejabat direndahkan, padahal yang merendahkan martabat itu sejatinya diri sendiri apabila ia bertindak buruk dan melanggar hukum. Berikut ini kajian artikel dimaksud.

Untuk melihat sisi konstitusionalitas pasal-pasal KUHP yang dimohonkan Pemohon, perlu terlebih dahulu mengetahui substansi pasal-pasal tersebut, baru kemudian dianalis berdasarkan Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang ditunjuk oleh Pemohon. Pengkajian konstitusionalitas terhadap pasal-pasal KUHP tersebut akan dilakukan tidak semata-mata dilihat dari sisi pengertian muatan meteri pasal-perpasal dalam UUD 1945 melainkan juga akan dilihat dari sisi jiwa dan semangat munculnya pasal-pasal UUD 1945 terutama hasil amandemen. Metode demikian cocok dengan pandangan Penjelasan Umum UUD 1945 (Proklamasi), yang menyebutkan:

”memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelediki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya (loi constititionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu”.

          Tanpa menggunakan pendekatan metode ini, maka pengujian konstitusional Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP tidak akan ada artinya, sulit untuk dibuktikan sisi konstitusionalitas atas pasal-pasal KUHP terebut, sungguhpun dari sisi sejarah hukum jelas ada perbedaan. Kita akan mengatakan bahwa di beberapa negara, ada juga norma hukum yang melarang penghinaan terhadap presiden atau kepala negara, atau raja, terlepas dari ada pengaduan atau tidak. Lalu apa sisi konstitusionalnya terhadap pasal penghinaan dalam KUHP. Bukankah ditinjau dari sisi prosedur pembentukannya sudah sesuai dengan konstitusi? Agar kita tidak terjebak pada pemahaman demikian, maka kita perlu mengkaji pasal penghinaan aquo dari sisi penerapannya (baca: penafsiran) oleh penguasa. Ini bukan berarti semata-mata soal penerapan pasal aquo, karena hal ini bisa di luar kewenangan Mahkamah. Namun demikian, disadari bahwa rumusan pasal-pasal akan menjadi “tidur” kalau tidak pernah diterapkan dalam praktek. Untuk mengetahui penafsiran sebenarnya dari sebuah pasal, tidak bisa lepas dari sisi penerapannya. Sebagai contoh, Pasal 7 UUD 1945 (lama) yang mengatakan, “presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Dari sisi rumusan nampak netral, dan tidak salah apabila ada orang yang memahami presiden cuma diberi kesempatan untuk dipilih satu kali saja, namun juga tidak salah apabila dipahami sebaliknya, yakni presiden dapat dipilih berkali-kali. Yang terakhir ini yang dianut oleh mantan presiden Soeharto. Kemudian atas desakan rakyat, akhirnya melalui amandemen UUD 1945, rumusan Pasal 7 itu direvisi, dipertegas, sehingga tidak lagi dapat ditafsirkan sesuai kepentingan penguasa.

          Kondisi yang sama terdapat pula dalam rumusan pasal penghinaan terhadap presdien tersebut. Jika dilihat sekilas tidak ada persoalannya dengan konstitusi, namun jika dilihat dari sisi penerapannya yang banyak menimbulkan korban, akan nampak pertentangannya dengan  semangat demokrasi dan penguatan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh konstitusi amandemen. Di sinilah letak persoalannya, sehingga tepat sekali pernyataan yang mengatakan, Mahkamah adalah penjaga konstitusi, demokrasi dan hak asasi. Artinya penafsiran terhadap pasal-pasal dalam konstitusi harus selalu dilihat juga dari aspek demokrasi dan hak asasinya.

Penafsiran Pasal 134, 136, dan 137 KUHP

Pasal 134, 136bis, 137 KUHP perihal penghinaan terhadap presiden yang dimohonkan oleh Pemohon terdapat dalam Buku II tentang Kejahatan pada Bab II mengenai kejahatan-kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden.

Dilihat dari sisi penempatan Pasal-pasal tersebut, maka hal penghinaan terhadap presiden tergolong dalam perkara kejahatan. Untuk lebih jelasnya apa saja yang termasuk dalam unsur penghinaan terhadap presiden tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Pasal 134: “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu”

Pasal 136 bis: Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak dimuka umum, baik lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.

Pasal 137: (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada waktu itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Ketiga Pasal di atas merupakan rumusan redaksi yang tidak ada penjelasannya sehingga terbuka kemungkinan untuk ditafsirkan  sesuai kepentingan penafsir. Jika pihak pemerintah yang menafsirkan pasal tersebut, maka mudah ditebak bahwa pengertian pasal itu akan diarahkan kepada siapa saja yang dipandang menganggu kebijakan pemerintah. Gangguan itu dapat berupa perilaku, pernyataan lisan atau tulisan. Dapat pula terjadi sebuah kritik akan dianggap sebagai penghinaan.

Berdasarkan rumusan pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ”penghinaan” merupakan kata kunci yang paling menentukan bahwa suatu perbuatan disebut sebagai suatu kejahatan. Namun sayang kata ”penghinaan” itu tidak dijelaskan atau didefinisikan atau disebut batasan-batasannya atau ukuran-ukurannya sehingga suatu perbutaan dapat dianggap sebagai penghinaan. Menurut kamus hukum, kata ”penghinaan” atau dalam bahasa belanda disebut ”belediging”[1] ialah merusak martabat seseorang termasuk nama baik, kehormatan dan lain sebagainya.  Sementara dalam KUHP pada Bab Penginaan Pasal 310 dirumuskan penghinaan adalah menyerang kehormatan atau nama baik[2]. Ahli Boy Mardjono dalam keterangannya di sidang mengakatan, ukuran perbuatan penghinaan didasarkan pada norma masyarakat. Lebih lanjut Boy menjelaskan seharusnya penghinaan presiden ini bersifat pribadi dan masuk dalam kategori pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 KUHP.

 

Dengan longgarnya pengertian penghinaan terhadap presiden itu maka pasal penghinaan ini beresiko multi tafsir (sering disebut ”pasal karet”). Suatu norma hukum yang mutli tafsir jelas akan menimbulkan ketidak-pastian hukum. Sebagaimana disebut pada bagian pendahuluan, dalam penerpannya pasal penghinaan ini ternyata telah banyak memakan korban.  Di bawah ini akan disebut korban-korban atas penerapan pasal penginaan tersebut.

 

Soekarno terkena Pasal 134 dan 137 KUHP. Dalam Indonesia menggugat Ia menyatakan bahwa pasal 134, 137 itu, terkenal kekaretannya. Soekarno, Bapak Bangsa, telah mengisyaratkan itu puluhan tahun lalu[3].

 

Bambang Beathor Suryadi usia 20 tehun kena Pasal 134 KUHPIdana, hanya salahnya karena kami mengkritik tidak membangun, karena pada waktu itu semua ahli yang juga mengkritik ekonomi Presiden Soeharto, kemiskinan, pengangguran tapi disebutkan mereka mengkritik membangun, jadi mereka selamat.

 

Saksi Andrianto adalah korban Pasal 134 KUHP, ditangkap tanggal 14 Desember 1993 dan dijatuhi hukuman selama enam bulan, setelah itu di pengadilan tinggi dinaikkan menjadi delapan bulan.

 

Saksi Yeni adalah korban Pasal 134 KUHP, satu perkara dengan saksi Andrianto.

 

Pada awal Maret 1995, sekretariat organisasi Pijar, diobrak-abrik polisi. Sejumlah disket, komputer dan data diangkut ke Polres Jakarta Pusat. Tri Agus Siswowihardjo (TASS), pemimpin redaksi Kabar dari Pijar, ditangkap. Ia didakwa telah melakukan penghinaan terhadap presiden (134 KUHP). Karena artikelnya berjudul: Adnan Buyung Nasution, "Negeri Ini Dikacaukan Oleh Orang yang Bernama Soeharto," dalam KDP Juni 1994, TASS diancam hukuman maksimum 7 tahun.

 

Ahmad Taufik Menyebarkan rasa permusuhan Pasal 134, 154 KUHP. Sedang disidangkan Eko Maryadi Menghina Presiden Pasal 19, UU Pokok Pers di PN Jakarta Pusat Danang K. Wardoyo Menyalahgunakan fungsi pers No 21/tahun 1982 (AJI) lewat penerbitan INDEPENDEN maksimum 7 tahun.

 

Sri Bintang P. Berubah-ubah, dari makar Pasal 104, 134 KUHP
Berkas masih tertahan (Bekas DPR) sampai menghina presiden ancaman hukuman belum jelas di Kejaksaan. lewat ceramahnya di Berlin Sri Bintang balik menggugat Kejaksaan Agung dan Presiden

 

George Aditjondro Menghina Presiden, lewat 134 KUHP
Berkas di Kejaksaan, (Dosen Satyawacana) leluconnya tentang "4H" maksimum 6 tahun, tetapi Goerge tak bisa diadili karena sedang di Perth, Australia.

 

Soebadio Sastrosatomo, Umur 79 tahun, lahir di Pangkalan Brandan Sumatera Utara tanggal 26 Mei 1918, Kewarganegaraan Indonesia, Agama Islam pekerjaan pensiunan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan mantan anggota DPR
RI periode 1950 s.d. 1960. Alamat Jalan Guntur No. 49 Rt. 013/05 Kel. Pasar Manggis Setia Budi Jakarta Selatan, diperikasa sebagai Tersangka dalam Perkara: Mencetak buku yang berisikan Menghina/Mendiskreditkan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 134 KUHP dan pasal 137 KUHP jo 55 KUHP berdasarkan laporan Polisi No. Pol : Lp/67/K/III/1997/Satga, tanggal 19 Maret 1997.

 

Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Karim Paputungan divonis lima bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan karena penghinaan terhadap presiden (Pasal 134),

 

Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Supratman (33) dituntut pidana satu tahun penjara. Wartawan itu dituduh melakukan tindak pidana penghinaan (Pasal 134) dengan sengaja terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri. Supratman bertanggung jawab atas judul dan isi berita yang dimuat harian Rakyat Merdeka. Berita yang dimuat Rakyat Merdeka itu berturut-turut adalah "Mulut Mega Bau Solar" (6/1/2003), "Mega Lintah Darat" (8/1), "Mega Lebih Ganas dari Sumanto" (30/1), dan "Mega Cuma Sekelas Bupati" (4/2).

 

Berdasarkan contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa pasal penghinaan presiden itu mengandung resiko tinggi (berpotensi) untuk disalah gunakan oleh alat kekuasaan untuk membungkam pendapat-pendapat yang kritis karena bisa saja dinilai sangat menjengkelkan atau mengesalkan. Gambaran ini dapat dilihat pada pengalaman saksi Andrianto sebagai berikut:

 

”Pasal 134 KUHPidana memang kelihatan sekali bahwa ini adalah pasal-pasal yang diterapkan oleh penguasa untuk membungkam apapun kritik terhadap mereka, dan pada saat proses pengadilan fakta di persidangan ketika itu seperti tadi yang disampaikan, ada saksi-saksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, itu membuktikan bahwa kami tidak melakukan sedikit pun penghinaan terhadap Presiden Soeharto pada saat itu. Ketika selesai penjatuhan vonis kami, kami dipukul rata enam bulan semua, salah seorang hakim mengatakan kepada saya dengan berlinang air mata dia mengatakan, “mohon maaf, bahwasannya kami tidak bersalah”, katanya, tetapi karena memang tekanan dari penguasa bahwa mereka tidak tahu vonis yang dijatuhkan kepada kami, maka kita harus dijatuhi hukuman”

 

Sifat kekesalan presiden atau mungkin aparatnya akan sangat tergantung pada karakter presiden. Pada jaman Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, perbuatan yang sebenarnya sudah dapat dinilai melanggar pasal penghinaan presiden ternyata tidak pernah diterapkan sebagaimana juga disebut oleh ahli Boy Mardjono. Hal ini berbeda pada jaman Presiden Soeharto, Megawati dan Susilo Bambang Yudono, banyak para aktivis yang dijebloskan ke penjara dengan menggunakan pasal penghinaan itu.

 

Hari ini mungkin hanya terbatas pada para aktivis, mahasiswa, LSM yang dikenakan pasal penghinaan presiden. Namun, siapa yang bisa menjamin, suatu saat –misalnya pada saat legitimasi presiden menurun-- mungkin saja, para ahli  hukum tata negara atau ahli ilmu politik yang berdasarkan keyakinan teorinya mengatakan dalam tulisannya bahwa presiden telah salah melakukan kebijakannya atau presiden harus berani mencabut kebijkan yang salah, atau lawan-lawan politiknya yang gencar mengkritik kebijakan presiden, akan dianggap sebagai suatu penghinaan presiden. Ini mungkin saja terjadi karena pasal penghinaan presiden itu multi tafsir sebagaimana disebut di atas. Batas antara kritik terhadap presiden dan penghinaan presiden itu sangat tipis. Padahal menurut ahli Effendi Gazali, figur-figur publik khususnya yang terpilih melalui kampanye justru dikecualikan, artinya mereka justru boleh diberikan kritik yang bebas bahkan dalam beberapa acara-acara televisi misalnya mereka seperti terlihat diolok-olok. Hal yang sama disampaikan oleh Presiden Habibie yang justru mengatakan bahwa suatu hujatan terhadap kepala negara merupakan bagian dari bentuk kemerdekaan berpendapat dan berekspresi dalam kehidupan berdemokrasi, sebagaimana diutarakan oleh Ahli Boy Mardjono. 

Samakah Penghinaan terhadap raja dengan penghinaan terhadap presiden?

Ahli Boy Mardjono, menjelaskan bahwa Pasal 134 pada awalnya merupakan ketentuan untuk melindungi martabat raja (royal dignity), yang kemudian dalam konteks Indonesia, diubah menjadi presiden (presidential dignity). Sementara Pasal 135 dan 136 KUHP yang menyangkut penginaan terhadap istri raja dan gubernur jenderal dihapus dalam KUHP sekarang.

Dengan demikian munculnya kata ”presiden” dalam Pasal 134 KUHP adalah marupakan penggantian dari kata ”raja”, maka yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah tepat istilah raja diganti menjadi presiden? Kenapa bukan kata ”gubernur jenderal” yang diganti menjadi kata ”presiden”, bukankah gubernur jenderal adalah kepala pemerintahan yang lebih mirip dengan presiden yang juga sebagai kepala pemerintahan (dalam konteks UUD 1945 pasca amandeman). Untuk penjawab pertanyaan di atas, maka diperlukan kajian sejarah hukum ketatanegaraan di Indonesia.

Raja adalah simbol pemersatu negara, raja bukan kepala pemerintahan di negara Hindia Belanda. Sebagai kepala pemerintahan di Hindia Belanda adalah gubernur jenderal. Maka pada waktu itu bukan cuma raja tidak boleh dihina tetapi juga gubernur jenderal bahkan istri raja pun termasuk yang tidak boleh dihina.

Jika dilihat sistem ketatanegaraan pada awal kemerdekaan Indonesia (4 bulan pasca kemerdekan[4]), dimana sistem pemerintahannya adalah sistem perdana menteri, perdana menteri sebagai kepala eksekutif atau kepala pemerintahan, sedangkan Presiden Soekarno waktu itu hanya sebagai kepala negara, maka dapat dipahami bahwa kedudukan presiden merupakan simbol pemersatu negara Indonesia, bukan pelaksana kekuasaan pemerintahan. Sebagai simbol, wajar jika martabat presiden harus dihpormati, sama halnya kita wajib menghormati simbol bendara merah mutih, simbol garuda pancasila, dan simbol lagu kebangsaan Indonesia. Atas dasar kesamaan dari sisi simbol ini maka dapat dipahami kalau kata ”raja” dalam Pasal 134 KUHP diganti dengan kata ”presiden”. 

Namun demikian sistem parlementer itu tidak bertahan lama, karena begitu kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahannya berganti mejandi sistem presidensial (atau quasi presidensial) dalam arti yang memegang pemerintahan tertinggi bukan lagi perdana menteri tetapi presiden. Dengan demikian substansi simbol raja dalam diri presiden sebelum Dekrit suduh seharusnya tidak ada lagi. Artinya sejak Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan di bawah UUD Dekrit itu kedudukan presiden sudah jauh berbeda dengan simbol raja di atas. Lain halnya apabila kata yang diganti dengan kata ”presiden” adalah kata ”gubernur jenderal” karena gubernur jenderal sama dengan presiden sebagai pemegang kepala pemerintahan.

Jadi dilihat dari semangat penghapusan Pasal 136 KUHP yang berisi penghinaan terhadap gubernur jenderal itu -yang pada dasarnya sama dengan presiden sebagai kepala pemerintahan- maka sudah seharusnya Pasal 134 KUHP itu tidak perlu diterapkan dalam praktek karena sudah tidak relevan lagi di era UUD Dektrit Presiden. Apalagi di era UUD 1945 amandemen yang telah memberikan spirit demokrasi dan penguatan hak asasi manusia. Maka tepat pendapat ahli Boy Mardjono yang menyarakan sebaiknya penghinaan presiden itu dimasukan dalam pasal penghinaan biasa atau pencemaran nama baik sebagaimana di atur dalam 310 KUHP. Pandangan ini sama dengan pendapat ahli Sutito yang disampaikan dalam persidangan.

 

Tafsir Pasal 28 F dan Pasal 28J UUD 1945 Amandemen

Setelah diketahui tafsir Pasal 134 KUHP berdasarkan penerapannya dan sejarah perubahan kata raja menjadi presiden, maka di bawah ini akan dikaji sisi hubungan antara Pasal 134 dengan Pasal 28F UUD 1945 amandemen, apakah masih relevan (baca: konstitusional) atau tidak.

Sebelum memahami pengertian pasal 28F tersebut, terlebih dahulu perlu dijelaskan di sini pengertian kedudukan presiden menurut UUD 1945 amandemen. Hal ini penting untuk dikaitkan dengan kedudukan raja seperti disebut di atas. Secara singkat kekuasaan presiden menurut UUD 1945 amandemen adalah sebagai berikut.

Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden (Pasal 4). Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara (Pasal 17 ayat 1). Selain memegang kekuasaan pemerintahan, Presiden juga memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10 ).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif), bukan pemegang kekuasaan negara (kepala negara) sebagaimana yang biasa dipegang oleh raja dalam sistem parlemneter. Anak kalimat yang menyebutkan presiden adalah ”kepala negara” sudah tidak ada lagi dalam UUD 1945 amandemen, berbeda dengan UUD 1945 (lama), yang secara eksplisit disebut dalam Penjelasan umum angka VII dan Penjelasan Pasal 10 s.d. 15.

Presiden tiada lain adalah jabatan publik untuk jangka waktu 5 tahun, sangat berbeda dengan raja yang seumur hidup. Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, berbeda dengan raja yang tidak dipilih oleh rakyat. Saat kampanye pemilihan presiden, para calon presiden mengumumkan janji-janji jika ia terpilih nanti. Rakyat rela memilih calon presiden karena percaya dengan janji-jani tersebut. Lalu apakah nanti setelah ia menjadi presiden ternyata ia ingkar janji, kemudian rakyat atau sebagian rakyat menagihnya dengan caranya sendiri agar mudah mengundang perhatian publik, tidak dibenarkan karena bisa dituduh menghina presiden?, tentu ini tidak adil. Pandangan ini sesuai dengan pendapat ahli Effendi Gazali yang diutarakan dalam sidang sebagaimana kutipan berikut:

”Undang-Undang Dasar 1945 khususnya amandemen yang kedua itu sudah menjamin supaya proses transisi ini mencapai tujuannya, karena kita sedang menuju ke sana dan itu sudah kita lakukan dengan benar, dengan pemilihan langsung dan karena itu hak setiap warga negara untuk melakukan kritik untuk menagih janji-janji kampanye itu harus juga dijamin. Saya ingin memperkuat teori ini dengan kenyataan empirik supaya jelas dimana posisi teori ini. Saya tidak ingin mengambil contoh Amerika Serikat. Saya bisa menyampaikannya dalam bentuk tertulis nanti, tapi di Indonesia saya ingin mengatakan demikian: saya rasa semua kita yang ada di dalam ruangan ini sampai tingkat tertentu percaya bahwa selama pemerintahan Presiden Soeharto dan mungkin ditambah lagi dengan keluarganya dan lain-lain, telah terjadi tindakan korupsi, itu kenyataan empirik. Tetapi karena pasal yang sedang kita gugat ini berlaku, dan pada waktu itu belum berlaku Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F, maka umumnya orang tidak berani berteriak menyatakan Presiden Soeharto atau keluarganya korupsi, justru karena tersandung pada pasal ini, atau kalau ada seseorang atau kelompok yang berteriak seperti itu maka mereka segera dijerat oleh pasal yang akan kita batalkan ini, akibatnya selama 32 tahun Presiden berkuasa dia sama sekali tidak pernah terlihat korupsi, tidak pernah ada pengadilan korupsi terhadap dia, tidak pernah ada gugatan dari publik terhadap dia, tak lain karena pasal-pasal ini. Jadi sekali lagi itu kenyataan empirik yang tidak bisa kita bantah, saya yakin betul bahwa semua kita yang ada di ruangan ini percaya telah terjadi suatu kesalahan selama masa pemerintahan Orde baru, kalau tadi saya mengambil contoh kasus korupsi, belum lagi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dan lain-lain sebagainya”

 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa presiden sebenarnya manusia biasa, yang boleh ditagih janjinya, yang boleh dikritik baik kritik positip ataupun negatip, dan yang boleh didemo. Jika perbuatan menagih janji, mengkitik dan mendomo itu ternyata melanggar ketertiban umum maka biarlah mereka yang melanggar ketertiban umum yang dijerat dengan pasal lain, yakni pasal yang mengatur ketertiban umum, bukan pasal pengihinaan presiden.

 Presiden adalah jabatan publik yang melekat pada orangnya, sama halnya dengan jabatan hakim. Namun posisi presiden tidak sama dengan posisi sidang pengadilan. Itulah sebabnya, kalau dalam pengadilan tidak dibenarkan adanya penghinaan karena dapat dituduh ”contempt of court”. Tentu saja asas contempt of court ini jauh berbeda dengan penghinaan terhadap presiden meskipun pengadilan dan presiden sama-sama lembaga negara, namun perlu diiangat bahwa posisi presiden diraih melalui janji-janji di pemilu yang tentu saja boleh ditagih dan yang lebih penting lagi bahwa presiden dapat disalahkan. Ini berbeda dengan posisi sidang pengadilan yang memang dari awalnya memiliki posisi ”sakral”, sebagaimana tercermin dalam asas yang mengatakan bahwa ”putuhan pengadilan (hakim) selalu dianggap benar”. Kesimpulan perbedaan ini bisa ditarik dari cara berpikir silogisme: manusia makan nasi, ayam juga makan nasi, maka baik ayam maupun manusia sama-sama makan nasi, namun demikian ayam dan manusia tetap berbeda.

Kembali kepada Pasal 28F UUD 1945 amandemen. Kata kunci dari pasal ini adalah kata “komunikasi” dan kata “informasi”. Untuk jelasnya berikut ini rumusan Pasalnya:

          ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. **”

Berdasarkan rumusan Pasal 28F di atas, dapat ditemukan unsur-unsur, yaitu:

Hak berkomunikasi;

Hak memperoleh informasi;

Hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi; dan

Hak menggunakan segala jenis saluran yang tersedia untuk menyampaikan hak-hak di atas.

Dalam menjalankan hak-hak di atas tentu saja tidak boleh sembarangan, tanpa memperhatikan hak-hak lain sebagai mana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945 amandemen terutama ayat (2)-nya, yang menyebutkan:

          “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu ma­syarakat demokratis. **”

          Artinya di sini, pembatasan terhadap pelaksanaan kebebasan hak tentu saja ada dan sah-sah saja, namun demikian, harus diingat bahwa pembatasan ini tidak sembarangan pembatasan, harus ada ukurannya sebagaimana disebut dibagian akhir rumusan Pasal 28J ayat (2) itu, yaitu pembatasan berdasarkan:

  1. undang-undang;
  2. hak orang lain;
  3. hak keadilan berdasarkan moral, agama, keamanan, ketertiban umum;
  4. semua batasan di atas harus ditafsir dalam suatu masyarakat demokratis.

 

          Dengan memperhatikan unsur ke empat (huruf d) dalam Pasl 28J ayat (2) UUD 1945 amandemen, dapat disimpulkan bahwa semua pembatasan yang sah sesuai dengan konstitusi harus ditafsirkan dalam kerangka menuju masyarakat yang demokratis, bukan semata-mata dlihat dari bunyi redaksi pasal-pasalnya. Dalam konteks (masyarakat demokrasi) ini maka pembatasan terhadap penggunaan hak komunikasi dan informasi yang terdapat dalam Pasal 28F itu tidak masalah.

          Pertanyaannya adalah apakah pembatasan yang sekarang masih diwujudkan dalam rumusan Pasal 134 KUHP sudah sesuai dengan semangat pembatasan Pasal 28J (2) UUD 1945 amandemen yang demokratis?. Untuk menjawab sesuai atau tidak pembatasan yang diwujudkan dalam Pasal 234 KUHP kiranya perlu dipahami dahulu arti masyarakat demokrasi itu sendiri.  Inti demokrasi sendiri adalah rakyat yang berdaulat, “government or rule by the people”[5]. Dalam teori Henry B. Mayo[6], demokrasi didasari oleh nilai-nilai yang positif dan mengandung unsur-unsur moral universal, yang tercermin dari antara lain: 

 

penyelesaian perselisihan dengan damai dan melembaga;

menjamin terselenggarakannya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah;

menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur;

membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum;

mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku, dan menjamin tegaknya keadilan.  

Pendapat ahli di atas tentang demorasi barangkali sulit untuk dirumuskan dan diterapkan dalam prektek penyelenggaraan negara berdasar UUD 1945, karena penafsiran demokrasi akan sangat tergantung pada latar belakang pengalaman seseorang berdemokrasi selama ini. Namun demikain secara ”cita rasa keadilan” kita bisa mencoba merenungkan kembali pelaksanaan atau penerapan norma hukum Pasal 134 KUHP yang telah memakan banyak korban seperti dijelaskan di atas. Apakah masih sesuai dengan prinsip masyarakat demokrasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 amandemen itu, sehingga masih perlu dipertahankan?

          Untuk menutup tulisan ini, saya teringat kisah guru saya yang dapat digambarkan kembali kurang lebih sebagai beikut:

          ”Seorang guru besar bercerita di depan mahasiswanya, dulu ketika ia punya kesempatan untuk menyarankan dihapuskannya UU Subversif, tidak  ia dilakukan, tetapi ia justru malah menyarankan sebaliknya, dengan alasan UU Subversif masih diperlukan untuk mengatasi aktivis PKI yang belum tertangkap. Namun, beberapa puluh tahun kemudian, ia malah ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama 1 tahun kurang 1 hari karena dituduh telah melanngar UU yang dulu disarankan tetap dipertahankan yaitu UU subversif”.

          Bertitik tolak dari kisah di atas, akhirnya saya hanya bisa berdoa dan berharap, mudah-mudahan suatu saat nanti anak cucu kita tidak akan menjadi korban Pasal 134 KUHP apabila pasal tersebut dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi, atau mudah-mudahan bangsa Indonesia di masa depan akan tetap dipimpin oleh seorang presiden yang memiliki jiwa demokratris seperti presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid yang tidak pernah menggunakan Pasal 134 KUHP. (Jakarta, 16 Oktober 2006).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun