”Pasal 134 KUHPidana memang kelihatan sekali bahwa ini adalah pasal-pasal yang diterapkan oleh penguasa untuk membungkam apapun kritik terhadap mereka, dan pada saat proses pengadilan fakta di persidangan ketika itu seperti tadi yang disampaikan, ada saksi-saksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, itu membuktikan bahwa kami tidak melakukan sedikit pun penghinaan terhadap Presiden Soeharto pada saat itu. Ketika selesai penjatuhan vonis kami, kami dipukul rata enam bulan semua, salah seorang hakim mengatakan kepada saya dengan berlinang air mata dia mengatakan, “mohon maaf, bahwasannya kami tidak bersalah”, katanya, tetapi karena memang tekanan dari penguasa bahwa mereka tidak tahu vonis yang dijatuhkan kepada kami, maka kita harus dijatuhi hukuman”
Sifat kekesalan presiden atau mungkin aparatnya akan sangat tergantung pada karakter presiden. Pada jaman Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, perbuatan yang sebenarnya sudah dapat dinilai melanggar pasal penghinaan presiden ternyata tidak pernah diterapkan sebagaimana juga disebut oleh ahli Boy Mardjono. Hal ini berbeda pada jaman Presiden Soeharto, Megawati dan Susilo Bambang Yudono, banyak para aktivis yang dijebloskan ke penjara dengan menggunakan pasal penghinaan itu.
Hari ini mungkin hanya terbatas pada para aktivis, mahasiswa, LSM yang dikenakan pasal penghinaan presiden. Namun, siapa yang bisa menjamin, suatu saat –misalnya pada saat legitimasi presiden menurun-- mungkin saja, para ahli hukum tata negara atau ahli ilmu politik yang berdasarkan keyakinan teorinya mengatakan dalam tulisannya bahwa presiden telah salah melakukan kebijakannya atau presiden harus berani mencabut kebijkan yang salah, atau lawan-lawan politiknya yang gencar mengkritik kebijakan presiden, akan dianggap sebagai suatu penghinaan presiden. Ini mungkin saja terjadi karena pasal penghinaan presiden itu multi tafsir sebagaimana disebut di atas. Batas antara kritik terhadap presiden dan penghinaan presiden itu sangat tipis. Padahal menurut ahli Effendi Gazali, figur-figur publik khususnya yang terpilih melalui kampanye justru dikecualikan, artinya mereka justru boleh diberikan kritik yang bebas bahkan dalam beberapa acara-acara televisi misalnya mereka seperti terlihat diolok-olok. Hal yang sama disampaikan oleh Presiden Habibie yang justru mengatakan bahwa suatu hujatan terhadap kepala negara merupakan bagian dari bentuk kemerdekaan berpendapat dan berekspresi dalam kehidupan berdemokrasi, sebagaimana diutarakan oleh Ahli Boy Mardjono.
Samakah Penghinaan terhadap raja dengan penghinaan terhadap presiden?
Ahli Boy Mardjono, menjelaskan bahwa Pasal 134 pada awalnya merupakan ketentuan untuk melindungi martabat raja (royal dignity), yang kemudian dalam konteks Indonesia, diubah menjadi presiden (presidential dignity). Sementara Pasal 135 dan 136 KUHP yang menyangkut penginaan terhadap istri raja dan gubernur jenderal dihapus dalam KUHP sekarang.
Dengan demikian munculnya kata ”presiden” dalam Pasal 134 KUHP adalah marupakan penggantian dari kata ”raja”, maka yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah tepat istilah raja diganti menjadi presiden? Kenapa bukan kata ”gubernur jenderal” yang diganti menjadi kata ”presiden”, bukankah gubernur jenderal adalah kepala pemerintahan yang lebih mirip dengan presiden yang juga sebagai kepala pemerintahan (dalam konteks UUD 1945 pasca amandeman). Untuk penjawab pertanyaan di atas, maka diperlukan kajian sejarah hukum ketatanegaraan di Indonesia.
Raja adalah simbol pemersatu negara, raja bukan kepala pemerintahan di negara Hindia Belanda. Sebagai kepala pemerintahan di Hindia Belanda adalah gubernur jenderal. Maka pada waktu itu bukan cuma raja tidak boleh dihina tetapi juga gubernur jenderal bahkan istri raja pun termasuk yang tidak boleh dihina.
Jika dilihat sistem ketatanegaraan pada awal kemerdekaan Indonesia (4 bulan pasca kemerdekan[4]), dimana sistem pemerintahannya adalah sistem perdana menteri, perdana menteri sebagai kepala eksekutif atau kepala pemerintahan, sedangkan Presiden Soekarno waktu itu hanya sebagai kepala negara, maka dapat dipahami bahwa kedudukan presiden merupakan simbol pemersatu negara Indonesia, bukan pelaksana kekuasaan pemerintahan. Sebagai simbol, wajar jika martabat presiden harus dihpormati, sama halnya kita wajib menghormati simbol bendara merah mutih, simbol garuda pancasila, dan simbol lagu kebangsaan Indonesia. Atas dasar kesamaan dari sisi simbol ini maka dapat dipahami kalau kata ”raja” dalam Pasal 134 KUHP diganti dengan kata ”presiden”.
Namun demikian sistem parlementer itu tidak bertahan lama, karena begitu kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahannya berganti mejandi sistem presidensial (atau quasi presidensial) dalam arti yang memegang pemerintahan tertinggi bukan lagi perdana menteri tetapi presiden. Dengan demikian substansi simbol raja dalam diri presiden sebelum Dekrit suduh seharusnya tidak ada lagi. Artinya sejak Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan di bawah UUD Dekrit itu kedudukan presiden sudah jauh berbeda dengan simbol raja di atas. Lain halnya apabila kata yang diganti dengan kata ”presiden” adalah kata ”gubernur jenderal” karena gubernur jenderal sama dengan presiden sebagai pemegang kepala pemerintahan.