Dengan memperhatikan unsur ke empat (huruf d) dalam Pasl 28J ayat (2) UUD 1945 amandemen, dapat disimpulkan bahwa semua pembatasan yang sah sesuai dengan konstitusi harus ditafsirkan dalam kerangka menuju masyarakat yang demokratis, bukan semata-mata dlihat dari bunyi redaksi pasal-pasalnya. Dalam konteks (masyarakat demokrasi) ini maka pembatasan terhadap penggunaan hak komunikasi dan informasi yang terdapat dalam Pasal 28F itu tidak masalah.
Pertanyaannya adalah apakah pembatasan yang sekarang masih diwujudkan dalam rumusan Pasal 134 KUHP sudah sesuai dengan semangat pembatasan Pasal 28J (2) UUD 1945 amandemen yang demokratis?. Untuk menjawab sesuai atau tidak pembatasan yang diwujudkan dalam Pasal 234 KUHP kiranya perlu dipahami dahulu arti masyarakat demokrasi itu sendiri. Inti demokrasi sendiri adalah rakyat yang berdaulat, “government or rule by the people”[5]. Dalam teori Henry B. Mayo[6], demokrasi didasari oleh nilai-nilai yang positif dan mengandung unsur-unsur moral universal, yang tercermin dari antara lain:
penyelesaian perselisihan dengan damai dan melembaga;
menjamin terselenggarakannya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah;
menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur;
membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum;
mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku, dan menjamin tegaknya keadilan.
Pendapat ahli di atas tentang demorasi barangkali sulit untuk dirumuskan dan diterapkan dalam prektek penyelenggaraan negara berdasar UUD 1945, karena penafsiran demokrasi akan sangat tergantung pada latar belakang pengalaman seseorang berdemokrasi selama ini. Namun demikain secara ”cita rasa keadilan” kita bisa mencoba merenungkan kembali pelaksanaan atau penerapan norma hukum Pasal 134 KUHP yang telah memakan banyak korban seperti dijelaskan di atas. Apakah masih sesuai dengan prinsip masyarakat demokrasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 amandemen itu, sehingga masih perlu dipertahankan?
Untuk menutup tulisan ini, saya teringat kisah guru saya yang dapat digambarkan kembali kurang lebih sebagai beikut:
”Seorang guru besar bercerita di depan mahasiswanya, dulu ketika ia punya kesempatan untuk menyarankan dihapuskannya UU Subversif, tidak ia dilakukan, tetapi ia justru malah menyarankan sebaliknya, dengan alasan UU Subversif masih diperlukan untuk mengatasi aktivis PKI yang belum tertangkap. Namun, beberapa puluh tahun kemudian, ia malah ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama 1 tahun kurang 1 hari karena dituduh telah melanngar UU yang dulu disarankan tetap dipertahankan yaitu UU subversif”.