Tak sampai sepuluh menit, Rafiq telah duduk di hadapan Kyai Kamil di ruang mudir. Lelaki berwajah teduh itu menyambut sang pemuda dengan senyum ramahnya.
"Apa kabar, Fiq?" Sang kyai memang baru tiba semalam setelah melakukan kunjungan tiga hari ke pesantren besannya di daerah Jawa Barat.
"Alhamdulillah, baik. Pak Kyai sudah mulai bertugas, apa tidak capek?"
"Nggak, kok. Kan saya disupiri, jadi tinggal duduk manis aja."
"Wah, Pak Kyai bawa oleh-oleh apa, nih, sampai memanggil saya?" tanya Rafiq disertai candaan.
"Kok, kamu tahu saya bawa oleh-oleh? Tahu nggak apa yang saya bawa?" Kyai malah balik bertanya.
"Tentu aja enggak, Pak Kyai," jawab Rafiq disertai tawa ringan.
"Saya bawa kabar tentang calon belahan jiwamu."
Rafiq tersenyum canggung. Ia khawatir kali ini akan kembali menolak jika hatinya tidak menemukan kecocokan.
"Enggak usah sungkan, kalau memang belum klik, Kyai bisa apa?" Lelaki itu tertawa tanpa beban, membuat Rafiq merasa lega.
"Gadis ini berbeda dengan gadis-gadis yang pernah Kyai ajukan," lanjut sang kyai. "Ia seorang gadis yatim piatu yang enggak punya apa-apa, sangat irit dalam berbicara dan sangat biasa." Kyai Kamil menatap netra sang pemuda seakan bisa mengorek isi hati melalui sorot matanya.