Seringkali, ketika ia sedang banyak tugas dan memerlukan biaya tambahan, membuatnya sampai kehabisan uang. Seperti saat ini, ia hanya memiliki sisa uang Rp 30.000,- sementara honor mengajarnya baru akan ia terima minggu depan.
Rafiq tetap menjaga sikap hidupnya untuk selalu jujur dan ikhlas. Kondisi sulit sekalipun, ia berusaha untuk tidak berhutang dan ikhlas dalam menjalani hidupnya.
Seperti kemarin malam ketika ia menemukan kalung, ia titipkan pada lembaga yang amanah dan tidak mau meninggalkan nama dan nomor ponselnya meski hanya untuk laporan pengurus masjid.
Pukul 11.20 pemuda santun itu tiba di rumah Pak Tony dan disambut dengan sangat ramah. Lelaki paruh baya itu sudah beberapa kali meminta bantuan pada Rafiq. Terkadang ia meminta bantuan Rafiq untuk membersihkan kolam ikan atau memotong rumput di taman belakang rumahnya.
"Fiq, sebentar lagi Zuhur, kita makan siang dulu, baru ke masjid, ya!" ajak Pak Tony.
"Terima kasih, Pak. Saya langsung ke masjid aja." tolak Rafiq halus.
"Ayolah, nggak usah sungkan, kayak sama orang lain aja." Pak Tony meraih tangan kanan Rafiq dan menariknya menuju ruang makan.
Pak Tony mengenal Rafiq dari keponakannya, Norman, teman sekampus dan sesama aktivis Rohis. Lelaki paruh baya itu kagum pada pemuda yang hafal Qur'an dan memiliki kehalusan budi itu. Keikhlasan sang pemuda membuatnya tak pernah mengeluh dan gigih dalam menjalani kehidupan.
***
Waktu berlari meninggalkan catatan bagi sang pelaku sejarah. Setahun sudah Rafiq mengabdi di pesantren Khairu Ummah sejak kelulusannya. Ia sangat menikmati perannya sebagai musyrif. Para santri pun sangat dekat dengan sosok guru yang penyabar dan bisa berperan sebagai kakak sehingga tidak sungkan menceritakan masalah-masalah mereka.
Setiap satu semester, Rafiq pulang menemui orang tua dan adik-adiknya. Nisa kini sudah kuliah di Fakultas psikologi dan mendapatkan beasiswa karena prestasinya, sedangkan Zain sudah kelas X SMA.