Mohon tunggu...
Politik

Duel Jokowi pada Problematika Listrik

18 Juni 2016   17:32 Diperbarui: 18 Juni 2016   17:49 31027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi Tertawa Gembira Melihat Salah Satu Progress Pembangunan Pembangkit Listrik (Sumber Gambar Kompas)

Problematika kelistrikan nasional bukan masalah mudah, sudah puluhan tahun industri listrik nasional dijadikan "Sarang Penyamun" bagi bandar bandar Proyek dimana para pemain tender pembangkit listrik kebanyakan makelar bukan pengusaha sungguhan. Persoalan listrik yang tak kunjung selesai bikin rakyat jadi korban, permainan subsidi untuk membeli BBM begitu membebani keuangan negara, Perusahaan Listrik Negara (PLN) diperas habis habisan oleh pemain pemain yang dekat dengan penguasa, akibatnya : "Banyak Proyek Mangkrak tak berkesudahan" atau Proyek Listrik berbiaya tinggi yang tidak sesuai dengan kapasitas. Dan akibatnya sering terjadi pemadaman listrik. 

Bagaimana mungkin negara yang kaya sumber daya energi seperti Indonesia malah rakyatnya jadi korban pemadaman listrik. Karena kebijakan pemerintah di masa lalu abai terhadap visi besar listrik nasional, proyek proyek pembangkit listrik hanya jadi bancakan para makelar listrik. 

Laporan soal dikuasainya industri listrik oleh para mafia dari mulai hilir sampai hulu, sebenarnya sudah jadi perhatian pemerintahan baru, saat itu di bulan November 2014, Presiden Jokowi memerintahkan agar ada bank data yang bisa ia baca dalam persoalan listrik. Bank Data ini menjawab tiga pertanyaan dasar Presiden : Pertama, berapa proyek proyek listrik yang mangkrak. Kedua, Bank Data menelaah celah kebijakan apa yang bikin proyek listrik mangkrak dan ketiga, siapa pemain pemain proyek mangkrak itu. 

Politik anggaran listrik yang banyak terserap di Bahan Bakar Minyak bersubsidi menjadi pos terbesar dari mengurasnya energi listrik dan tidak optimalnya listrik sebagai sumber energi untuk rakyat. Lalu kemudian Presiden Jokowi membaca juga ada sumber masalah terbesar yang menjadi penyebab terbengkalainya persoalan pembangkit dan jaringan interkoneksi listrik Indonesia adalah "Permainan-Permainan para Makelar Listrik".  Para makelar ini biasanya bermain di dekat lingkaran kekuasaan, mengejar ijin pembangunan pembangkit listrik tapi gagal diselesaikan, ataupun pembangkit yang asal asalan dimana kapasitasnya tidak memadai sehingga rakyat dirugikan oleh pemadaman listrik yang berulang kali. 

Listrik Untuk Rakyat, Agenda Politik Jokowi

Visi besar Jokowi dalam pembangunan nasional diletakkan pada tiga hal : "Barang Bergerak, Ciptakan Pasar dan Branding Produk Indonesia". Tiga hal yang merupakan abstraksi dari pembangunan ekonomi ini menjadi simpel, karena persoalan persoalan ekonomi Indonesia selalu dirundung pada tiga soal pertama, selalu macetnya lalu lintas barang sehingga harga menjadi mahal, tidak adanya efisiensi atas nilai ke-ekonomian, kedua : "Ciptakan Pasar", Indonesia selalu melihat pasar luar negeri sebagai "rangkaian halte" bukan menciptakan pasar dalam negeri sebagai sebuah "perlintasan halte-halte dimana ada tiga sampai lima hub halte yang dijadikan rujukan pasar nasional di kota kota besar, dan Ketiga : "Branding Produk Produk Indonesia", Setelah tercipta "kondisi barang bergerak dan terciptanya pasar, maka landasan terakhir adalah "Branding Produk Nasional", nah persoalan listrik ini adalah bagian epicentrum pertama Jokowi : "Barang Bergerak". 

Presiden Jokowi Menjadikan Tahun 2016-2017, Sebagai Tahun Konsentrasi Listrik (Sumber Gambar Sindonews)
Presiden Jokowi Menjadikan Tahun 2016-2017, Sebagai Tahun Konsentrasi Listrik (Sumber Gambar Sindonews)
Pembangunan infrastruktur adalah kunci dari situasi "Barang Bergerak". Di tahap pertama ini Jokowi mengkampanyekan Pelabuhan-Pelabuhan sebagai bagian dari rangkaian Loji dagang. Indonesia sebenarnya sudah lama mengenal pola ini dimana pelabuhan pelabuhan dijadikan pusat ekonomi, di masa Majapahit setiap wilayah kunci memiliki pelabuhannya, dari pelabuhan kemudian tercipta rangkaian produk, pasar dan kekuasaan ekonomi, bahkan loji dagang Majapahit sampai ke wilayah Papua Barat, begitu kuatnya peredaran barang di masa keemasan Majapahit. 

Setelah pelabuhan dan bandara, maka Jokowi memusatkan pada pembangunan jalan jalan tol di banyak tempat, setelah itu beres maka listrik menjadi perhatian utama Jokowi dalam ruang kerjanya. 

"Listrik Untuk Rakyat" adalah adagium yang ia pegang sebagai komitmen "Politik Anggaran Energi", dalam Politik Anggaran "Listrik Untuk Rakyat" justru tidak meletakkan persoalan listrik menjadi persoalan populis, tapi malah efisiensi anggaran listrik dengan memberantas penyamun-penyamun listrik yang mengitari PLN, selain itu Jokowi secara senyap melakukan pemetaan siapa pemain-pemain listrik yang digerakkan oleh kekuasaan diseputar dirinya. Persoalan listrik di Indonesia sebenarnya tidak pada persoalan keberadaan energi, tapi persoalan pada pemain pemain proyek yang kerap nakal dan menjadikan proyek pembangkit listrik sebagai "alat pemburu duit rente". 

Perintah Khusus Jokowi Untuk PLN 

Diam diam Jokowi menjadikan BUMN PLN sebagai pusat perhatiannya, karena PLN bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 paling mengena pada Perusahaan Listrik Negara ini. Di masa lalu PLN hanya jadi cash cow politik saja, alat sapi perah dari para penguasa. Kini PLN harus dijadikan "alat ukur" keberhasilan pembangunan ekonominya. PLN adalah indikator utama reputasi Pemerintahan Jokowi. Dan Jokowi sendiri yang akan memantau perkembangan listrik nasional, dimana menteri menteri terkait juga direksi PLN diberikan akses langsung serta info info perkembangan listrik nasional, namun dalam perjalanan waktu Jokowi menemui fakta lapangan bahwa dia harus berduel dengan para makelar makelar dimana dibelakangnya banyak bandar yang punya kekuatan politik. 

Di awal pemerintahan Jokowi, PLN diberikan notifikasi utama dalam proyeksi keberhasilan pemerintahannya yaitu : "Dibangunnya pembangkit pembangkit listrik dengan tidak adanya yang mangkrak". Persoalan mangkrak ini jadi penting, karena begitu buasnya para pemain proyek setelah mendapatkan ijin untuk melakukan monetisasi (di-duitin) ijin ijin mereka baik dengan melakukan penipuan-penipuan dengan jualan ijin proyek ataupun mengerjakan secara asal asalan. 

Presiden Jokowi sendiri di awal pemerintahannya  agak rikuh untuk masuk ke dalam wilayah PLN karena sudah keburu dikuasai Jusuf Kalla, bahkan wilayah energi sepertinya dipegang Wapres JK. Namun ketika keadaan dilihatnya sudah tidak benar, ia sendiri masuk dan memegang kendali dalam persoalan persoalan listrik dan melihat langsung situasi lapangan, ia mulai memperlebar ruang informasi untuk membaca laporan laporan para pemain yang terindikasi mafia proyek. 

Insting Presiden Jokowi saat mendemarkasi soal kerja sangat tajam, ia membiarkan dulu pihak Wapres Jusuf Kalla menyusun rencana listrik, namun ketika mulai banyaknya indikasi kelompok Kalla masuk, maka Jokowi sendiri langsung masuk dan berada dalam pertarungan di lingkunan PLN mengawasi jalannya pembangunan pembangkit listrik. 

Ada langkah cerdik Presiden Jokowi sebelum ia berhadapan langsung dan siap duel dengan para bandar bandar listrik, ia memperkuat jajaran direksi PLN dan melakukan perintah :perubahan corporate culture/budaya perusahaan, dari tingkat akar sampai atas, perubahan penting "Politik Anggaran" di tubuh PLN, membenahi regulasi dan rezim yang melekat pada regulasi regulasi ijin pembangunan pembangkit listrik serta ijin proyek lainnya yang berkenaan dengan persoalan listrik, serta yang terakhir: "Menciptakan iklim studi kelayakan proyek proyek listrik yang akurat, bersih dan objektif" . Presiden juga menekankan bahwa "Pembangunan Listrik Nasional Tidak Boleh Menjadikan 'Jangka Pendek' sebagai Acuan Masalah, tapi melihat Indonesia dalam 25 tahun ke depan dengan pembangunan pembangkit listrik" ini artinya Jokowi sedang meletakkan "Pembangunan Ekonomi Jangka Panjang". 

Dirut Sofyan Basir Yang Saat Ini Mendapatkan Tekanan Dari Sudirman Said Karena Pengetatan soal Aturan Tender Pembangkit Listrik Dan Juga Soal Harga Mikrohidro Yang Dibeli PLN (Sumber Gambar Republika)
Dirut Sofyan Basir Yang Saat Ini Mendapatkan Tekanan Dari Sudirman Said Karena Pengetatan soal Aturan Tender Pembangkit Listrik Dan Juga Soal Harga Mikrohidro Yang Dibeli PLN (Sumber Gambar Republika)
Beberapa nama masuk menjadi Dirut PLN, namun untuk soal listrik nama Sofyan Basir masuk ke dalam nominasi pemilihan dirut PLN, dari sinilah kemudian Jokowi memasang strategi pertamanya untuk mengegolkan agenda "Listrik Untuk Rakyat". Masuknya Sofyan Basir karena memenuhi kriteria yang ingin ditargetkan pemerintah yaitu " Perluasan wilayah elektrifikasi dan Kepastian Pembangunan Pembangkit Listrik juga Jaringan Listrik yang tidak boleh mangkrak". 

Latar belakang Sofyan Basir sebagai ahli perbankan, punya keahlian khusus yaitu : "menilai kelayakan proyek" selain keahlian dalam menilai kelayakan sebuah proyek baik dari amdal, sirkulasi keuangan sampai proyeksi durasi yang detil, Sofyan dinilai punya insting soal pengembangan wilayah-wilayah Indonesia secara makro. Keberhasian terbesar saat Sofyan Basir di BRI adalah mengembangkan jaringan perbankan kapasitas mikro seluruh Indonesia dari wilayah terpencil sampai kota-kota besar, disinilah Sofyan memiliki kemampuan otentik mengembangkan sistem jaringan. Kemampuan ini yang diperintahkan Presiden Jokowi membangun "Seluruh Indonesia Sebagai Jaringan Listrik Terinterkoneksi" 

PLN sendiri secara senyap dijadikan "Wilayah Jokowi" dalam pemetaan soal industri listrik nasional, PLN digebrak Jokowi melakukan pengetatan regulasi syarat proyek sehingga banyak dari pemain pemain proyek "kebakaran jenggot" dan berteriak-teriak, bahkan sampai ada yang ribut setengah mati di media untuk merebut proyek 35 ribu megawatt. Karena Jokowi secara politis sudah sadar ia akan berhadapan dengan pemain proyek, dan ia juga paham wilayah ESDM adalah wilayah Jusuf Kalla, dan ada Sudirman Said disitu. Kelak, prediksi Presiden benar, Sofyan Basir akan berhadapan dengan Sudirman Said dalam perdebatan perdebatan regulasi dan proyek-proyek yang harus dijalankan.

Setelah beberapa hari kunjungan Presiden ke beberapa proyek pembangkit listrik secara perlahan, publik sudah melihat Jokowi berada langsung dibelakang jajaran direksi PLN dan memerintahkan Kementerian BUMN untuk menjaga semua proyek proyek PLN tidak diganggu. Selain itu persyaratan proyek juga diperketat. "Jangan sampai ada lagi proyek mangkrak seperti pembangunan di masa lalu yang banyak menyisakan persoalan". 

Revolusi Regulasi di PLN

"Efisiensi adalah kata dasar dalam melihat persoalan di PLN" hal ini diutarakan Presiden dengan Menteri BUMN Rini Soemarno dan beberapa orang dalam Presiden saat Menteri BUMN melaporkan nama nama yang jadi dirut PLN. Dari sini pula-lah kemudian muncul nama Sofyan Basir. 

Ditunjuknya Sofyan Basir menjadi Dirut PLN, pada akhir Desember 2014 menjadi kehebohan besar saat itu. Banyak para pengamat BUMN mengolok olok kemampuan Sofyan Basir, bahkan di beberapa tempat banyak nyinyir soal "Wan Abud" ini, "Wan Abud" adalah nama olok olok bagi Sofyan Basir. Namun naiknya Sofyan Basir yang secara senyap dibeking Presiden langsung dari pemberesan banyak proyek, menjadi tsunami bagi banyak makelar. Tadinya Sofyan yang ditertawai menjadi "tangisan darah dan air mata bagi para makelar", soalnya apa? karena jalur mereka dipotong dengan regulasi berat yaitu : Pihak PLN mensyaratkan kecukupan modal bila ingin membangun proyek, bahkan harus ada penempatan modal ke Bank Nasional 10%, serta bukti kesiapan pembanguan proyek dengan pembebasan lahan juga 10%. Jadi tidak ada permainan "Pasar Gelap Ijin Proyek". 

Pengetatan syarat proyek ini juga kemudian dituduh PLN bekerja lamban, namun tudingan Sudirman Said dengan beberapa corong suaranya termasuk Komisaris PLN Jarman - yang selalu memihak pada Sudirman Said bukan kepentingan PLN - , isu penggerusan Direksi Direksi PLN oleh Kementerian ESDM justru berbalik arah : "PLN diperkuat secara politis oleh Jokowi" untuk melaksanakan proyek proyeknya, namun dengan cerdik Jokowi justru menyeret problem kelistrikan ke arah "Panggung Terbuka" agar publik melihat siapa yang benar Sudirman Said atau Jajaran Direksi PLN dalam banyak persoalan listrik. 

Revitalisasi PLN 

Sepanjang sejarah PLN, perusahaan ini dibiarkan menjadi wilayah "banal" dan publik tidak bisa mengawasi, PLN sepenuhnya dikendalikan para pemain proyek. Padahal seharusnya PLN harus dijadikan "wilayah angker" bagi para pemain proyek, "steril dari kepentingan kepentingan pragmatis dan jangka pendek" dan seharusnya PLN menjadi wilayah "Pengabdian Nasional" bukan menjadi wilayah "Pengabdian Makelar". Inilah perubahan besar yang harus dilakukan PLN sebagai satu satunya pemegang konsesi industri listrik di wilayah Republik Indonesia. 

Tipikal dari gaya kerja Jokowi adalah kecepatan, di bulan April 2015 Jokowi meminta PLN melakukan efisiensi. Dan ini kemudian dilakukan oleh Sofyan Basir untuk membuktikan dirinya berada dalam "irama kerja Presiden". PLN juga diminta oleh Jokowi untuk terbuka dalam pelaksanaan tender, tak boleh ada yang ditutup tutupi, basis kinerja Jokowi yang berada dalam "alam pembuktian" bukan "alam alasan" jadi pegangan dalam mengukur keberhasilan PLN untuk menentukan pemenang tender dan pelaksana proyek, juga ada keterbukaan publik dalam mengakses proyek proyek PLN yang menyangkut kepentingan publik. Selain itu Sofyan Basir diminta untuk konsentrasi pada pemangkasan pemborosan BBM dalam listrik.

 Subsidi BBM untuk listrik amat berat, harga BBM melonjak tinggi, padahal Indonesia punya sumber energi gas dan batubara, tapi sudah kadung BBM dijadikan alat untuk main harga dalam pembangkit pembangkit listrik di banyak wilayah. PLN benar benar dijadikan sarang penyamun dimana rakyat jadi korbannya, lalu Sofyan Basir dengan jajaran Direksi PLN bergerak cepat, "efisiensi" adalah langkah awal menjungkir balikkan permainan para mafia, ia melakukan gebrakan manajemen PLN dengan menyodorkan lansekap baru persyaratan proyek dengan titik utamanya pada efisiensi. 

Sofyan Basir melakukan konfigurasi kerja dengan tujuan utamanya efisiensi, langkah pertamanya menyikat mafia BBM dengan mengurangi pemakaian BBM dan mengurangi genset sewa. Sebagai gantinya Sofyan Basir melakukan gerak cepat penyelesaian PLTU yang jalan proyeknya tersendat-sendat. 

Pemberesan Listrik di Sumatera Utara

Sumatera Utara jadi wilayah yang paling parah dalam pemenuhan kebutuhan listrik, pertumbuhan ekonomi wilayah ini amat pesat tapi tidak ditunjang listrik yang memadai, persoalan utamanya listrik di Sumatera Utara dialiri dari mesin mesin genset yang boros BBM. Sofyan Basir mampu dengan cepat mengalihkan dari mesin genset ke PLTU Nagan Raya dan PLTU Pangkalan Susu. Dana 9 trilyun bisa diselamatkan dan PLN semakin efektif, kini Sofyan Basir dan tim direksi sedang mempersiapkan jaringan Sumatera secara serius, Kota Medan pelan pelan akan jadi pusat pembangkit listrik yang tidak bergantung pada genset tapi bergantung pada PLTU dengan jaringannya yang terinterkoneksi di seluruh Sumatera. 

Selain Sumatera Utara dibereskan dengan model serupa, Sofyan menertibkan ketergantungan pada pembangkit pembangkit berbasis BBM, dalam operasi pengurangan BBM ini, Sofyan Basir melakukan efisiensi 2 juta kiloliter. 

 Fokus pertama adalah : mengurangi pemakaian BBM, mengurangi genset sewa, dan sebagai gantinya adalah mempercepat penyelesaian PLTU yg pelaksanaannya sdh terlambat lama serta melakukan seleksi kualitas batu bara. Sasaran pertama adalah wilayah Sumatera Utara. Di tahun pertama kepemimpinannya (2015), sewa Genset di Sumut dikurangi 600 MW dan pasokan listrik diganti dg mulai dioperasikannya PLTU Nagan Raya dan PLTU Pangkalan Susu. Terjadilah penghematan di Sumut pd tahun 2015 mencapai Rp. 9 Trilyun. Di wilayah2 lain pun dilakukan program efisiensi yang sama. Sehingga dlm tempo setahun, penggunaan BBM berkurang sebanyak 2 juta kilo litter. 

Pos lain yang disasar adalah efisiensi pada Biaya Operasi dan Pemeliharaan yang porsinya cukup tinggi. Sofyan menambahkan scope O&M (operation and maintenance) kepada para kontraktor di setiap proyek, sehingga biaya O&M menjadi lebih terkendali. Selain itu Sofyan juga menyasar efisiensi pada harga pembelian BBM dan Gas yang menjadi pareto  atau pengaruh terhadap implikasi terbesar pada BPP (Biaya Pokok Produksi)

Harga pembelian BBM dari Pertamina direnegosiasi dari awalnya MOP + 11% menjadi MOP + 7%. Kontrak-kontrak gas dengan PGN dan Pertamina pun direnegosiasi, baik harga gas maupun tol fee pipa gas nya. Semua langkah efisiensi ini telah menghasilkan penghematan subsidi Rp. 42 Trilyun sepanjang tahun 2015. 

Sasaran pemangkasan BBM itu cukup efektif dan menghasilkan penghematan 42 trilyun, "tak ada uang dibakar sia sia karena kebijakan yang dungu" lalu Sofyan Basir dari ruang kendali operasinya, memerintahkan untuk melihat persoalan Batu Bara, ia mendapatkan laporan banyaknya permainan batubara tidak hanya lewat satu tangan, tapi lewat rangkaian tangan, harga menjadi amat mahal, namun kualitas batubara sedemikian rendahnya. Kenapa ini? karena PT PLN Batu Bara (PLNBB) menjadi sarang permainan para calo batu bara. Dan PT PLN Batu Bara cuman menjadi trader bagi tambang tambang kecil dimana mutu batu bara dipertanyakan, tidak adanya langkah panjang PT PLN Batu Bara menjamin pasokan kontinu batu bara dengan kualitas bagus. Dikuasainya PT PLN Batu Bara oleh para mafia dan trader trader menjadi perusahaan ini mentok, untuk membereskan maka Sofyan melakukan cut off terhadap anak perusahaan ini dan menertibkan pemasok batu bara yang kualitasnya disamakan. 

Efisiensi amat berpaut dengan keuntungan perusahaan, namun PLN ini memiliki mandat untuk kepentingan publik, penghematan efisiensi ini digunakan untuk membangun jaringan listrik terinterkoneksi di luar Jawa agar semua orang Indonesia mendapatkan siraman listrik. Perbaikan perusahaan lewat struktur modal dan perluasan wilayah elektrifikasi jadi amat penting.  Kemudian Sofyan Basir melakukan langkah penilaian sesungguhnya perusahaan, ini bagian dari tertib administrasi aset dan penilaian ulang aset atau revaluasi aset, nilai perusahaan bisa menjadi aktual dengan revaluasi aset, awalnya PLN secara keuangan punya perbandingan antara hutang dengan modal atau DER (Debt Equity Ratio) nyaris 300%, jadi mustahil PLN dapatkan pinjaman untuk mengembangkan rencana rencana perluasan wilayah listrik, dengan menambahkan revaluasi nilainya menjadi 1.100 Trilyun, perbandingan setelah revaluasi aset menjadikan PLN dimungkinkan mencari dana pinjaman baru. 

Penghapusan ISAK juga bagian penting langkah Sofyan Basir untuk merevitalisasi struktur keuangan perusahaan, ISAK 8 adalah standar akuntansi yg ditetapkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia, dimana PLN harus mencatat seluruh hutang-hutang IPP (independent power producer/pembangkit listrik swasta) dalam Neraca PLN, padahal hutang-hutang tersebut sudah dicatat di neraca para IPP. 

Akibatnya, hutang PLN menjadi meningkat tajam, dan risiko selisih kurs atas pinjaman jangka panjangnya seluruh IPP menjadi dicatat sebagai beban PLN. Penerapan ISAK 8 ini, selain akan meningkatkan DER PLN, juga akan menambah subsidi. Sofyan bersikukuh meminta kepada Pemerintah agar PLN tidak perlu menerapkan ISAK 8 yang nyata-nyata akan membebani PLN dan Pemerintah.

Banyaknya proyek pembangkit listrik yang mangkrak dan dikuasai makelar membuat PLN harus hati hati dalam menentukan pilihan IPP (Independent Power Producer), tapi PLN juga harus bisa mempercepat pembangunan tenaga listrik 35 ribu Megawatt.  Manajemen baru menambahkan persyaratan-persyaratan baru dalam tender IPP, yaitu Project Development Cost sebesar 10% dari total investasi di dalam account/rekening pengembang IPP di perbankan nasional, dan meningkatkan Performance Bond serta Liquidated Damage (LD).  Hal ini dilakukan agar hanya perusahan-perusahaan bonafid, serius, dan punya pengalaman saja yang dapat ikut di dalam tender-tender PLN.

Manajemen PLN Juga segera melistriki pulau-pulau terluar dan perbatasan. Tahun 2015 sebanyak 50 pulau yg selama ini masih gelap gulita, mendapat pasokan listrik dari PLN. Dan Membangun mobile power plant untuk memenuhi pasokan listrik di wilayah-wilayah yang masih defisit. Politik anggaran mobile power  adalah strategi PLN untuk segera menerangi daerah daerah defisit, di jaman Dahlan Iskan langkah serupa pernah dilakukan, namun Dahlan Iskan menggunakan genset berbahan bakar BBM, hal yang tak pernah diantisipasi Dahlan Iskan terjadi, yaitu genset hanya dijadikan alat maenan mafia minyak dan solar dan harga BBM juga melambung cepat, akhirnya keuangan PLN yang berantakan. 

Tiba-Tiba Muncullah Sudirman Said, Mengganggu Kerja Cepat PLN

Sudah jadi rahasia umum, naiknya Sudirman Said menjadi Menteri ESDM sebab ia dekat dengan Jusuf Kalla, kenaikan SS ditengarai mengamankan proyek proyek Jusuf Kalla di sektor energi, tak terkecuali proyek proyek JK di PLN. Hal ini sebenarnya diutarakan oleh Rizal Ramli, soal diri Sudirman Said, ada baiknya Rizal Ramli juga blak blakan bicara di publik soal kaitan Sudirman Said dan Jusuf Kalla. Pernah satu saat Sofyan Basir membaca daftar nama proyek proyek yang terafiliasi dengan Jusuf Kalla, Sofyan langsung mumet karena saking banyaknya. Tapi soal inilah yang kemudian menjadikan Sofyan sebagai sasaran tembak JK, kepada Presiden RI, JK minta Sofyan Basir dipecat dari PLN, karena kepentingan JK banyak terganggu. Padahal pihak PLN hanya ingin semua proses tender harus dilalui dengan ketat, termasuk kemampuan pendanaannya. Kalau memang ada yang harus diungkap ke publik, ungkap saja. Berapa banyak proyek proyek listrik JK yang mandeg atau mangkrak? sampai sampai Presiden Jokowi tidak mau meresmikan bila itu proyek JK, dalam kunjungan kerja beberapa minggu yang lalu, berkeliling melihat fakta lapangan soal pembangkit listrik. 

Bisakah Sudirman Said Jujur Ke Publik Apa Korelasi Jabatannya Dengan Kepentingan Proyek Proyek Yang Terafiliasi Dengan Kalla Grup? (Sumber Gambar Nasionalisme.net)
Bisakah Sudirman Said Jujur Ke Publik Apa Korelasi Jabatannya Dengan Kepentingan Proyek Proyek Yang Terafiliasi Dengan Kalla Grup? (Sumber Gambar Nasionalisme.net)
Tapi apakah hanya JK yang bermain di proyek PLN, publik harus tau bahwa proyek proyek negara sekarang hanya jadi sasaran pejabat publik, ada baiknya Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Panjaitan, menjelaskan ke publik proyek proyek di PLN apa yang terafiliasi dengan diri mereka, karena Jusuf Kalla adalah Wakil Presiden RI dan Luhut Binsar Panjaitan adalah Menkopolhukam. Sudah jadi etika publik, bahwa pejabat publik seharusnya tidak boleh terafiliasi dengan proyek proyek negara, tapi inilah yang terjadi pada negara kita saat ini. 

Pihak PLN ungkap saja berapa banyak para makelar bahwa perusahaan perusahaan dari RRC nggak jelas ikut tender pembangkit listrik besar padahal akte perusahaannya dan fakta usahanya adalah bengkel mobil, ini banyak terjadi banyak gandengan gandengan para makelar ini yang membawa perusahaan abal abal dari RRC dan negara lain, untuk memuluskan duit cepet mereka, inilah dibongkar Manajemen Baru PLN,  bahwa mereka tidak sembarangan menerima pengusaha abal-abal, dan ini mengundang kemarahan besar jaringan calo listrik. 

Entah kenapa rentetannya justru Menteri ESDM Sudirman Said juga kebakaran jenggot, pertama-tama ia dengan gagah menunjuk dirinya akan mengambil proyek 35 ribu megawatt, tapi dia lupa, apakah proses tender semudah "mengakali Setya Novanto" dalam soal rekaman papa minta saham?, dalam perdebatan perdebatan soal PLN jelas Sudirman Said tidak didukung publik seperti kasus "Papa Minta Saham", karena kepentingannya yang tidak jujur dan sarat muatan kepentingan JK dalam proyek listrik. Sudirman Said amat konyol dalam memojokkan PLN, ia menyebut PLN melakukan kebohongan publik soal Mikrohidro, pertanyaannya siapa sih yang diuntungkan dengan mark up harga mikrohidro?

Sudirman Said dan Matinya Listrik di Sumatera

Tulisan ini menyodorkan kepada publik dibalik pembangunan pembangkit listr memberikan arsiran siapa yang bekerja dan siapa yang cuman jadi tukang stempel proyek, agar membuka pencerahan pada publik bahwa persoalan listrik tidak bisa diselesaikan dengan baik bila tidak ada niat baik dan kerja keras dalam menyelesaikan pekerjaan pekerjaan yang tertunda dan memperluas pekerjaan baru sehingga rakyat secara fair mendapatkan guyuran listrik dengan adil. Namun beberapa kali Sudirman Said menyerang PLN di media. 

Serangan ke media oleh Sudirman Said saja sudah memamerkan kebodohan Sudirman Said kepada publik, bahwa dirinya tidak mampu mengendalikan rangkaian komando tugas, bahkan secara konyol Sudirman Said membuka telponnya dan berkata pada DPR bahwa Sofyan Basir enggan mengangkat telpon, pertanyaannya layakkah ketidakmampuan leadership Sudirman Said dipertontonkan di muka publik, bahkan seorang anggota DPR meminta agar soal itu diselesaikan secara internal.  

Basis ketidakpahaman Sudirman Said adalah pada persoalan listrik nasional adalah inefisiensi, dia juga terlalu meremehkan potensi kekuatan PLN, dia mengatakan kelak IPP yang akan pegang peranan, bukan PLN. Tapi IPP milik siapa?, Pembangkit listrik milik siapa? justru ucapan Sudirman Said soa IPP ini membawa pertanyaan, ke arah mana industri listrik diarahkan? apakah Listrik Untuk Rakyat atau Untuk Pemodal dan demagog demagog politik? 

Presiden Jokowi menugaskan manajemen baru PLN dibawah komando Sofyan Basir, untuk membangun pembangkit listrik 35.000 MW + 46.000 Kms jaringan transmisi + 108.000 MVA Gardu Induk, dalam waktu 5 tahun. Ini seperti membangun PLN kedua dalam waktu 5 tahun. Padahal. setelah 70 tahun beroperasi, di tahun 2014 PLN baru memiliki 50.000 MW pembangkit dan 40.000 kms jaringan Transmisi. Sungguh program yang luar biasa berat. Tapi program 35.000 MW adalah suatu keharusan, dan manajemen baru PLN melakukan upaya keras utk merealisasikannya.

Selain itu, masih ada PR lain yg tidak kalah beratnya, yaitu meningkatkan kinerja pembangkit-pembangkit yang saat ini sdh beroperasi khususnya ex FTP-1, serta menyelesaikan 7.000 MW pembangkit yang sudah terlambat penyelesaiannya sekitar 8-9 tahun.

Saat serah terima jabatan, tidak ada secarik kertas pun dari manajemen lama yg menginformasikan tentang PR tersebut. Selayaknya, pergantian manajemen di BUMN besar seperti PLN, haruslah ada Memori Jabatan dari manajemen lama ke manajemen baru, sehingga pengelolaan perusahaan dapat dilakukan secara efektif.

Kenapa memori jabatan harus ada? karena ini adalah jejak rekam, dan karena ketiadaan memori jabatan ini dengan seenaknya Sudirman Said bicara di publik soal proyek 35 ribu megawatt, dengan menganggap Proyek Proyek SBY yang lama dimasukkan ke dalam daftar proyek baru. Manajemen PLN harus terbuka soal ini dan adakan saja konferensi pers, bagaimana upaya Sudirman Said melakukan penipuan publik, bagaimana juga proyek proyek lama SY dipaksakan juga dikatakan sebagai proyek baru? kapan dibuat feasibility study-nya dan bagaimana juga kabel bawah laut dijadikan juga sebagai proyek baru dan dipaksakan masuk ke RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). 

Ketika PLN Melakukan Efisiensi, Sudirman Said Menyodorkan Pemborosan Anggaran Listrik, Untuk Kepentingan Siapa?

Menteri ESDM meminta PLN utk menambah jumlah pembangkit dari energi baru dan terbarukan (EBT) dari 11% (saat ini) menjadi 25% di tahun 2025. Padahal, harga listrik EBT lebih mahal dibanding pembangkit lainnya, sehingga akan berdampak pada peningkatan subsidi atau kenaikan tarif listrik. Selain itu, pembangkit EBT dapat menurunkan kehandalan sistim, karena sifat pasokanya yang tidak continue seperti PLTS (surya) dan PLTB (angin). Masalah lainnya, sebagian besar potensi EBT ada di luar Jawa, sementara demand listrik yg besar ada di Jawa, sehingga terjadi mismatch.

Lantas Kementerian ESDM meminta porsi PLTU (batu bara) dikurangi dari 60% menjadi 50%, sehingga harus dilakukan pengurangan 8.000 MW PLTU yang harus dikeluarkan dari RUPTL.

ESDM meminta Listrik Desa yg sebelumnya menjadi program ESDM yg dibiayai APBN, mulai tahun 2016 dijadikan program PLN dengan biaya dari PMN dan dimasukan ke dalam RUPTL. Ada urusan apa ini? 

ESDM menolak usulan PLN utk penundaan proyek Interkoneksi Sumatera-Jawa (HVDC). Karena kabel bawah laut ini hanya mengaliri Jawa saja, walaupun Sudirman Said ngotot akan bolak balik arus, pertanyaannya apakah jaringan Sumatera sudah terinterkoneksi? 

e. ESDM menolak usulan PLN utk  perubahan kapasitas PLTU Jambi 2x600 MW menjadi 4x300 MW, namun ditolak oleh ESDM. Alasan perubahan yg diajukan oleh PLN adalah karena sistim Sumatera masih belum kuat utk menerima pasokan dari unit skala 600 MW krn saat ini unit terbesar yang sudah masuk ke sistim Sumatera baru unit skala 100 MW. Utk menjaga kehandalan, maka harus masuk dulu unit skala 300 MW, setelah itu barulah unit skala 600 MW aman untuk masuk ke dalam sistim.

f. ESDM meminta porsi PLN dikurangi dari 10.000 MW menjadi 5.000 MW, namun PLN bertahan agar tetap mendapat porsi 10.000 MW karena harus membangun pembangkit-pembangkit peaker (hanya dioperasikan ketika beban puncak di malam hari),  dan pembangkit2 kecil di daerah2 terpencil.

HVDC (High Voltage Direct Current)

Proyek Interkoneksi Sumatera-Jawa (HVDC) masuk di RUPTL sejak tahun 2005 dan direncanakan selesai di tahun 2012. Proyek ini bertujuan untuk mengalirkan listrik 3.000 MW (dari Sumsel 8,9,10) ke Jawa, dengan 2 asumsi dasar yaitu : akan terjadi kekurangan pasokan di Jawa, sementara membeli listrik dari pembangkit di Jawa jauh lbh mahal dibandingkan membeli listrik di Sumatera yg kemudian dialirkan ke Jawa melalui HVDC.

Proyek ini terlambat dalam pelaksanaannya, dimana sampai dengan saat ini, setelah dicanangkan 11 tahun lalu, baru menyelesaikan Basic Design dan membebaskan sebagian kecil lahan untuk transmisi. Di dalam updated FS tahun 2014 (yg diajukan Direktur Perencanaan saat itu, Murtaqi Syamsudin, ke Kementerian BUMN), ada 3 kriteria kelayakan proyek ini, yaitu :

1). Proyek ini akan layak jika harga listrik dari pembangkit mulut tambang di Sumatera lebih murah dibandingkan harga listrik dari PLTU di Jawa, dan dinyatakan layak jika selisih harga tersebut dapat menutup kebutuhan investasi HVDC dengan margin yang memadai.

2). Proyek ini akan layak jika IRR minimal 12%.

3). Proyek ini akan layak jika harga batu bara mulut tambang di Sumatera lebih murah dibandingkan harga batu bara di Jawa, dan dinyatakan layak jika selisih harga tersebut minimal USD 30 / ton.

Karena sudah banyak kondisi yg berbeda dengan asumsi awal, pada tahun 15 Agustus 2014 Menteri BUMN mengeluarkan surat agar PLN melakukan kajian kembali atas kelayakan proyek HVDC ini.

Fakta saat ini, berdasarkan formula harga yang ditetapkan ESDM, harga batu bara mulut tambang di Sumatera jauh lebih mahal dari harga batu bara yg diterima di pembangkit di Jawa. Belum lagi tambahan biaya investasi utk membangun HVDC yg nilainya sekitar Rp.25-30 Trilyun. Sehingga membeli listrik di Sumatera yang kemudian dialirkan melalui HVDC ke Sumatera, Sumatera, jauh lbh mahal dibandingkan membeli listrik di Jawa, dengan selisih harga sekitar Rp. 5-7 Trilyun/tahun. Ini tentu saja akan membebani PLN, yg ujung-ujungnya akan menambah subsidi dan membebani negara

Fakta lain, asumsi yg digunakan pada Feasibility Study/FS, beban puncak di Jawa tahun 2016 MW mencapai 29.000 MW, faktanya saat ini hanya berkisar 21.500 MW - 23.000 MW, sehingga listrik di Jawa tidak defisit. Belum lagi ada tambahan pembangkit baru yg akan dibangun di Jawa sebanyak 23.000 MW dlm 4 tahun ke depan (yang merupakan bagian dari 35.000 MW), sehingga pasokan listrik di Jawa sudah lebih dari cukup.

Fakta berikutnya, saat ini pasokan listrik di Sumatera masih kurang, padahal pertumbuhan demand sangat tinggi. Jaringan Transmisi dan distribusi pun masih jauh dari cukup. Dalam 4 tahun ke depan Sumatera harus membangun sekitar 19.000 Kms jaringan Transmisi, agar terjadi interkoneksi dari Sumatera Selatan (sumber batu bara) ke Sumatera Utara yg demand listriknya tinggi. Daripada membawa listrik ke Jawa, sebaiknya PLN fokus dulu ke pemenuhan supply listrik di Sumatera serta membangun jaringan interkoneksi, sehingga listrik dari pembangkit batu bara di Sumatera Selatan dapat diangkut sampai ke Sumatera Utara. Dengan demikian, harga listrik di Sumatera akan menjadi lebih murah karena berasal dari PLTU. Tidak seperti saat ini, supply listrik di Sumut adalah dari sewa Genset yang harga listriknya mahal, serta dari pembangkit Gas yang LNG nya dibeli dari Papua. 

Sunggu ironis, Sumatera yg memiliki sumber batu bara berlimpah, tapi supply listriknya dari gas yg diangkut jauh dari Papua, sehingga harga listriknya menjadi lebih mahal. Tapi kemudian ESDM memaksa agar proyek HVDC dibangun untuk menyupply listrik ke Jawa. 

Lebih baik listrik dari Sumsel 8,9,10 digunakan untuk memasok kebutuhan listrik di Sumatera. Kalaupun nantinya proyek interkoneksi Sumatera - Jawa akan dibangun, maka tujuan pembangunannya harus direvisi. Bukan hanya utk membawa listrik 3.000 MW dari Sumatera ke Jawa, namun harus di desain untuk bisa 2 arah Sumatera-Jawa (export-import), yang tujuannya untuk menjaga kehandalan sistim kelistrikan di Jawa dan juga Sumatera. Misalnya ada gangguan di sistim Sumatera, maka dapat dipasok dari Jawa, atau kebalikannya. Namun tujuan tersebut dapat tercapai jika sistim kelistrikan di Sumatera sudah handal, yaitu pasokan listriknya cukup dan jaringannya sudah interkoneksi. Mana mungkin Sumatera dapat memback up kehandalan sistim kelistrikan di Jawa, di sistim kelistrikan di Sumatera sendiri saja supplynya masih defisit dan jaringannya belum nyambung.

Jadi, perkuat dulu sistim kelistrikan di Sumatera dan sistim kelistrikan di Jawa, barulah kemudian membangun jaringan interkoneksi Sumatera-Jawa sebagai back up.

Kenapa ESDM memaksa PLN utk tetap mengerjakan proyek HVDC ini?

Ada sumber yg mengatakan bahwa puteranya Kuntoro Mangkusubroto berminat untuk masuk di Sumsel 9,10, dan SS harus mengamankan hal itu. Pembatalan / penundaan HVDC akan menyebabkan Pembatalan / penundaan Sumsel 9,10. PLN buka saja apa benar itu anaknya Kuntoro bermain di proyek Sumsel 8,9 dan 10 karena bagaimanapun juga Kuntoro adalah Komisaris Utama PLN, dan kemudian keluar, kalau itu benar dimana etika-nya, karena hubungan bapak anak adalah afiliasi tingkat pertama, bila Kuntoro mendapatkan jabatan Komisaris, kenapa anaknya juga ikut masuk? Lalu apakah Boy Tohir bisa masuk untuk ambil konsesi di proyek 8,9 dan 10? waktu yang akan menjawabnya...

Jadi pemaksaan dibangunnya HVDC ini sederhana saja, kalau mengaliri listrik ke Jawa akan lebih murah ketimbang membangun jaringan Sumatera yang terinterkoneksi, ini artinya "Persoalan duit cepat" tapi apakah hajat rakyat banyak jadi taruhan?

Beberapa minggu lalu, Sudirman Said menyerang PLN dengan kasar sekali, beritanya : Sudirman Said Sebut PLN Bohongi Publik Terkait PLTMH  lantas kebohongan publik apa? 

Tarif beli listrik PLTMH yang telah ditetapkan oleh Kementerian ESDM melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2015 (Permen ESDM 19/2015) yang terbit Mei 2015 lalu dianggap masih terlalu mahal oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). PLN pun akhirnya menerbitkan Surat Edaran No 0497/REN.01.01/DITREN/2016 tanggal 11 April 2016 tentang Harga Listrik PLTMH yang diklaim bisa menyelamatkan keuangan PLN.

Padahal menurut Sudirman, volume pasokan listrik yang dihasilkan oleh PLTMH kecil sekali dan rata-rata hanya berkapasitas di bawah 10 megawatt (MW). Jika ditotal seluruh Indonesia, pasokan listrik dari PLTHM hanya mencapai 78 MW.

"Artinya kalau dibandingkan dengan kapasitas terpasang PLN sekarang, pasokan listrik PLTMH hanya 0,125%, jadi signifikansi dari PLTMH kecil sekali. Maka, meributkan seolah PLTMH akan membuat PLN kerepotan secara keuangan itu isu yang membohongi masyarakat. Kasian itu, 0,125%," ujar Sudirman pada hari Selasa (7/6) di Kantor Kementerian ESDM Jakarta.

Disini sebenarnya Sudirman Said sedang memperjuangkan siapa? Memperjuangkan kepentingan listrik nasional atau kepentingan bisnis Kalla Grup. 

Soal tingginya harga PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) antara Sudirman Said dengan PLN belum juga mencapai titik temu. Kabar terakhir, KPK mulai masuk dlm case ini, untuk melihat lebih jauh proses penetapan serta kewajaran harga (feed in tarif/FIT) PLTMH oleh ESDM. Ketika BI mengeluarkan aturan untuk menggunakan rupiah dalam seluruh transaksi di dalam negeri, ESDM malah menetapkan FIT dalam USD. 

Ketika upaya-upaya efisiensi pada Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN dilakukan semaksimal mungkin untuk menurunkan subsidi dari Pemerintah, ESDM malah menaikan FIT hampir 150% utk PLTMH yg sudah beroperasi lebih dari 9 tahun yang mungkin sudah balik modal. Hal ini akan meningkatkan subsidi yang akan diberikan kepada para pengusaha. 

Konyolnya Sudirman Said menyatakan bahwa kenaikan FIT tersebut untuk membantu UMKM. Membangun PLTMH memerlukan dana investasi puluhan milyar, yang tentu saja tidak termasuk kategori UMKM.

Lantas siapa yang mendorong kenaikan harga ini? Kenaikan FIT ini dipicu dari surat Wapres ke ESDM yang meminta kenaikan FIT PLTMH. Group Kalla memang menguasai bisnis Hydro Power of negeri ini. Dorongan berikutnya  adalah dari Asosiasi PLTMH.

Sudah jadi rahasia umum bhw para Pengurus Asosiasi PLTMH tersebut mempunyai banyak PLTMH. Fakta lapangan Ijin-ijin PLTMH dari PemProv sudah sulit dicari, karena sudah diborong oleh segelintir pengembang PLTMH. Ijin ini kemudian diperdagangkan. Dg kenaikan FIT, harga ijin tersebut meningkat, konon kabarnya saat ini berharga senilai Rp. 3 Milyar. Ini makin menguatkan pendapat bahwa para pengusaha ini bukan merupakan UMKM. Lantas, kenapa mereka diberikan subsidi dari APBN?. Inilah letak ketidakadilannya. Pemerintah akan mengurangi subsidi untuk pelanggan 900 MVA, tapi malah menaikan subsidi untuk para pengusaha PLTMH.

Sebagai perbandingan FIT PLTMH di negara lain rata rata USD 6 / kwh, bahkan utk kapasitas > 2 MW FIT nya sekitar USD 4,5 / kwh, tapi di Indonesia USD 12 / kwh.

Jadi ketika Sudirman Said menyatakan 0,125% itu sedikit, percayalah itu adalah penggarongan duit negara untuk diberikan kepada sejumlah kroni. Keterlaluan benar Sudirman Said...

Persoalan listrik dibawa ke tempat terbuka, bukan lagi soal yang harus ditutup tutupi. Kalau memang ada jaringan Kalla Grup menguasai Mikrohidro, harus ada komisi etik anti monopoli untuk memeriksa, selain itu Sofyan Basir selaku Dirut PLN, seharusnya lebih terbuka lagi soal banyak hal sehingga dia jadi korban manipulatif Sudirman Said, karena Dirut PLN melakukan hal yang benar, langkah efisiensi dalam setahun menunjukkan dia bisa kerja, sementara Sudirman Said jujurlah pada dirimu, di depan publik. Ada hubungan apa kamu dengan bisnis kelompok Kalla, kalau Sudirman Said itu tetap bungkam, biar Rizal Ramli yang bicara, karena rakyat sudah muak dengan penguasaan kroni dalam industri listrik nasional, dimana korbannya adalah rakyat rakyat juga...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun