Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lampu Menjelang Pernikahan

29 Juli 2018   18:38 Diperbarui: 29 Juli 2018   19:59 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

**

Aku tak menduga hal ini akan menjadi kendala. Tuti membawa Tito padaku namun kali ini dengan raut wajah mereka yang sangat tegang. Keduanya benar-benar tampak serius. Kalau pun tersenyum kentara sekali sebuah lengkung yang dibuat-buat mereka sehingga tampak sekali dipaksakan. 

Tuti menghela napas. Terdengar lirih. Sementara Tito duduk di sampingnya dengan kepala yang terus menunduk. "Jadi begini, bu," Tuti membuka suara. "Kami sudah siap untuk menikah, hanya saja.. hanya saja.."  Tuti menatap Tito. "Masih ada satu hal yang perlu kami diskusikan lagi,  bu," sambung Tito dengan kepala yang tetap menunduk.

Aku selalu bahagia melihat Tito ada di samping anak semata wayangku. Karakter Tito yang penyabar dan tenang bisa meladeni karakter Tuti yang cerewet dan cenderung gegabah. Tito bisa membimbing sekaligus menjadi tempat Tuti mendapatkan solusi di setiap keluhnya yang pastilah terasa berat bekerja sebagai seorang wartawati. Bahkan harus kuakui, aku merasakan Tito jauh lebih berwibawa sebagai seorang ayah kelak jika dibandingkan ayah Tuti sendiri. 

"Boleh bunda tahu masalahnya?"

Mereka tak langsung menjawab. Keduanya bergumam dan terasa sekali sedang menimbang-nimbang jawaban. Dan aku menunggu sampai salah satu dari mereka angkat bicara. 

"Kami.. kami masih belum sepakat soal lampu,  bu," jawab Tuti. 

Ah, soal lampu rupanya. Ternyata rasa trauma Tuti yang menjadi kendala. Jelas sudah, dia belum menceritakan kepada Tito mengapa dia tidak bisa tidur jika lampu menyala.  

Suatu pagi. Ya, di suatu pagi yang menggentakkan hati, Tuti yang usianya ketika itu menginjak 17 tahun, berterus terang padaku sambil menangis tersedu-sedu. Dia menyesali kekhilafannya di samping inti persoalan yang menyebabkannya trauma. Ketika perpisahan SMA Edo merayunya habis-habisan dengan berbagai cara hingga membuat anakku terbuai masuk ke dalam kamar bersama kekasihnya yang brengsek itu. Tetapi entah aku harus bersyukur atau bersedih. Menyikapinya sebagai cerita yang lucu atau dramatis. Tuti bilang, Edo tak jadi menggumulinya begitu melihat dadanya yang serata laki-laki. "Kau bencong, ya?!" Tuti bercerita Edo memekik demikian padanya. Lelaki brengsek itu pergi meninggalkan anakku yang kemudian menangis tersedu-sedu, dan sejak saat itu kepercayaan diri Tuti menurun drastis. Dia begitu jijik melihat dadanya sendiri saat bercermin. Aku sangat sedih, karena Tuti, sebagai perempuan, mengidap trauma seperti itu.

"Apa kau tidak bisa tidur jika lampu dimatikan, nak?" tanyaku pada Tito. 

Kulihat wajahnya pucat dan matanya memerah. "Tidak, bu," katanya kemudian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun