"Maap, mba, mas. Ada apa, ya? Kok tarik-tarikan begitu?" wajahnya tertanya-tanya, memandang kami bergantian.Â
"Saya mau membeli novel ini!" katanya cepat.Â
"Saya juga mau membeli novel ini!" aku langsung menimpali.Â
Si pemilik kios kebingungan. "Tapi novel itu cuma ada satu," katanya.
"Mba," aku menatapnya tajam. "Saya penggemar berat Arswendo dan dari semua karangannya cuma novel ini yang belum saya punya," terangku kepada Tuti. Berharap dia mengalah begitu mendengar ucapanku itu, tetapi nyatanya tidak.Â
"Tapi saya sangat membutuhkan novel ini untuk skripsi saya," balasnya.
Si pemilik kios masih berdiri di tengah-tengah kami, dan terlihat tambah kebingungan, matanya bergerak ke kanan-ke kiri menatap kami yang mendadak sama-sama terdiam.Â
"Jadinya bagaimana, Mba? Mas?"
Hatiku melunak. "Baiklah, karena novel ini untuk tugas skripsimu, kau saja yang membawanya duluan. Tapi nanti setelah kau tak lagi membutuhkannya kau mau, kan, memberikan novel ini kepada saya? Saya ingin sekali membacanya," ujarku.
Dan begitulah akhirnya, kami saling bertukar nomor telepon. Dan dua minggu kemudian kami bertemu di sebuah kedai kopi untuk menyelesaikan 'sengketa' mengenai novel itu.Â
Pertemuan kami kali ini tak lagi diisi dengan debat kusir, melainkan dengan obrolan yang menyenangkan tentang literasi sampai tak terasa empat jam sudah kami berbincang-bincang dan masing-masing telah menghabiskan tiga gelas kopi dan dua piring pancake. Dan, bermula dari pertemuan yang menyenangkan itu pula pertemuan kami terus berlanjut di hari-hari yang lainnya.Â