Dan begitulah akhirnya, kami saling bertukar nomor telepon. Dan dua minggu kemudian kami bertemu di sebuah kedai kopi untuk menyelesaikan 'sengketa' mengenai novel itu.Â
Pertemuan kami kali ini tak lagi diisi dengan debat kusir, melainkan dengan obrolan yang menyenangkan tentang literasi sampai tak terasa empat jam sudah kami berbincang-bincang dan masing-masing telah menghabiskan tiga gelas kopi dan dua piring pancake. Dan bermula dari pertemuan yang menyenangkan itu pula pertemuan kami terus berlanjut di hari-hari yang lainnya.Â
Saat itu Tito baru lulus kuliah dan sedang sibuk mencari kerja. Dia suka membaca sastra kendati dia kuliah di jurusan hukum. Sementara aku sendiri kala itu adalah mahasiswa sastra Indonesia semester akhir. Dunia literasi lah yang memang mengakrabkan kami. Dan ada banyak persamaan-persamaan lainnya yang membuat kami kian dekat. Contohnya saja warna favorit Tito merah. Aku juga. Tito suka pantai. Aku juga. Tito penggemar kopi. Aku juga. Persamaan-persamaan itulah yang menyatukan kami hingga setahun kemudian kami akhirnya berpacaran.
"Kurasa, kau tidak bisa tidur jika lampu mati karena kau terlampau sering membaca cerita-cerita Edgar Allan Poe," terkaku kemudian.
"Tidak. Kebiasaanku ini sudah dimulai sejak aku SMP. Sedangkan ketika itu aku belum suka membaca cerita fiksi dan tak tahu siapa Edgar Allan Poe. Tuti, mengapa rasanya kau terlihat cemas pada kebiasaanku ini?"
Aku tak langsung menjawab. Begitu berat rasanya harus berkata jujur kepada Tito mengenai hal ini. "Karena.. karena aku tidak bisa tidur jika lampu menyala."
Dia terkesiap.Â
**
Aku tak pernah menduga hal ini akan menjadi kendala.Â
"Karena.. karena aku tidak bisa tidur jika lampu menyala," ujarnya pelan.Â
Aku terkesiap.