Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lampu Menjelang Pernikahan

29 Juli 2018   18:38 Diperbarui: 29 Juli 2018   19:59 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak pernah menduga hal ini akan menjadi kendala. 

"Aku ingin nanti ketika kita sudah menikah dan tidur sekamar, lampu tetap menyala ketika kita tidur," ujarnya pelan. 

Aku terkesiap. "Maap, kau bilang apa?" aku tak yakin dia benar-benar berkata demikian. 

"Aku ingin nanti ketika kita sudah menikah dan tidur sekamar," dia mengulangi ucapannya. Kali ini lebih pelan dan diberi penekanan. "Lampu tetap menyala ketika kita tidur."

"Lampu tetap menyala ketika kita tidur?" tanyaku yang tak percaya pada apa yang akan terjadi di sepanjang hidupku pada malam-malam tidurku nanti.

"Ya. Kenapa kau kaget?" 

"Kenapa lampu harus menyala?"

"Karena aku tidak bisa tidur jika lampu dimatikan."

"Apa itu namanya tidak pemborosan listrik?"

"Biarlah. Yang penting aku bisa tidur nyenyak," jawabnya, enteng. Dia kemudian  memperhatikan wajahku yang tampak cemas. "Apa kebiasaanku ini terdengar aneh?"

Aku tak menjawab. Sebab pikiranku benar-benar tengah diserang rasa cemas. 

"Bukankah aku pernah bilang padamu kalau aku terbiasa tidur dengan lampu tetap menyala? Bahkan teman-temanku pun tahu itu. Karena setiap kali kami liburan mereka yang sekamar denganku mesti mengalah dengan kebiasaanku ini."

"Ya. Kau pernah menceritakannya padaku. Tapi kupikir itu bukan suatu hal yang prinsipil untukmu. Bukan sesuatu yang menjadi keharusan," jawabku, lemas

Aku dan Tito sudah dua tahun berpacaran. Kami bertemu pertama kali di salah satu kios penjual buku-buku bekas di sebuah Mall di selatan Jakarta. Saat itu aku tengah sibuk mengaduk-aduk buku fiksi yang bertumpuk di salah satu rak kios itu, mencari novel untuk tugas skripsiku, hingga kemudian novel 'Dua Ibu' karya Arswendo Atmowiloto jatuh. Aku melihatnya dan girang. Sebab itu salah satu novel yang sedang kucari. Dan seperti adegan-adegan dalam film, percaya atau tidak itu terjadi padaku dan Tito, tangan kami secara bersamaan meraih novel yang menggeletak di lantai itu. Dengan posisi setengah menjongkok kami saling bersitatap. Dan pada detik itu, bagai es yang dibakar kemudian mencair seperti demikianlah aku langsung jatuh hati pada Tito. Jatuh hati pada hidungnya yang mancung, bibirnya yang tebal, dan rahangnya yang tegas. Dia tipe pria idamanku. 

"Maap," kataku yang tak ingin terbuai dengan ketampanan seorang lelaki yang saat itu masih asing untukku. "Saya mau membeli novel ini."

Dia berujar."Saya juga mau membeli novel ini."

"Tapi novel ini sedang saya cari-cari."

"Novel ini juga sedang saya cari-cari."

"Kau jangan mengikuti kata-kata saya!"

"Tidak. Saya tidak mengikuti kata-katamu. Memang begitu kenyataannya!" tegasnya rada kesal. 

Aku sesungguhnya ingin tersenyum sewaktu melihat wajahnya yang tampan itu menjadi lucu begitu sedang kesal, tapi kutahan senyum itu sekuat tenaga. Dan tanpa ancang-ancang segera kutarik novel itu agar sepenuhnya berada digenggamanku, namun tertahan karena secara bersamaan dia pun menariknya. Beberapa saat kami sempat saling tarik-menarik persis anak-anak yang sedang berlomba tujuh belas agustusan sebelum si pemilik kios datang.

"Maap, mba, mas. Ada apa, ya? Kok tarik-tarikan begitu?" wajahnya tertanya-tanya, memandang kami bergantian. 

"Saya mau membeli novel ini!" kataku cepat. 

"Saya juga mau membeli novel ini!" dia langsung menimpali. 

Si pemilik kios kebingungan. "Tapi novel itu cuma ada satu," katanya.

"Mba," Tito menatapku tajam. "Saya penggemar berat Arswendo, dan dari semua karangannya cuma novel ini yang belum saya punya," ujarnya.

Aku mengerti. Adalah sesuatu yang membahagiakan bisa mendapatkan karya pengarang yang begitu kita kagumi. Terlebih jika karyanya itu sudah menjadi barang langka. Seandainya aku berada di posisinya dan novel yang di tangan kami adalah karya Djenar Maesa Ayu niscaya aku akan bersikap sama sepertinya.  

"Tapi saya sangat membutuhkan novel ini untuk skripsi saya," kataku, berharap dia mau mengalah begitu mendengar kepentinganku.

Si pemilik kios masih berdiri di tengah-tengah kami, dan terlihat tambah kebingungan, matanya bergerak ke kanan-ke kiri menatap kami yang mendadak sama-sama terdiam. 

"Jadinya bagaimana, Mba? Mas?"

Tito tersenyum. Wajahnya yang sempat agak seram berubah drastis menjadi begitu manis. Kalau saja dia pacarku aku sudah mencubit pipinya keras-keras. 

"Baiklah, karena novel ini untuk tugas skripsimu, kau saja yang membawanya duluan. Tapi nanti setelah kau tak lagi membutuhkannya kau mau, kan, memberikan novel ini kepada saya? Saya ingin sekali membacanya," ujarnya. 

"Bertemu dengannya lagi? Bukan sesuatu yang buruk," kataku dalam hati. 

Dan begitulah akhirnya, kami saling bertukar nomor telepon. Dan dua minggu kemudian kami bertemu di sebuah kedai kopi untuk menyelesaikan 'sengketa' mengenai novel itu. 

Pertemuan kami kali ini tak lagi diisi dengan debat kusir, melainkan dengan obrolan yang menyenangkan tentang literasi sampai tak terasa empat jam sudah kami berbincang-bincang dan masing-masing telah menghabiskan tiga gelas kopi dan dua piring pancake. Dan bermula dari pertemuan yang menyenangkan itu pula pertemuan kami terus berlanjut di hari-hari yang lainnya. 

Saat itu Tito baru lulus kuliah dan sedang sibuk mencari kerja. Dia suka membaca sastra kendati dia kuliah di jurusan hukum. Sementara aku sendiri kala itu adalah mahasiswa sastra Indonesia semester akhir. Dunia literasi lah yang memang mengakrabkan kami. Dan ada banyak persamaan-persamaan lainnya yang membuat kami kian dekat. Contohnya saja warna favorit Tito merah. Aku juga. Tito suka pantai. Aku juga. Tito penggemar kopi. Aku juga. Persamaan-persamaan itulah yang menyatukan kami hingga setahun kemudian kami akhirnya berpacaran.

"Kurasa, kau tidak bisa tidur jika lampu mati karena kau terlampau sering membaca cerita-cerita Edgar Allan Poe," terkaku kemudian.

"Tidak. Kebiasaanku ini sudah dimulai sejak aku SMP. Sedangkan ketika itu aku belum suka membaca cerita fiksi dan tak tahu siapa Edgar Allan Poe. Tuti, mengapa rasanya kau terlihat cemas pada kebiasaanku ini?"

Aku tak langsung menjawab. Begitu berat rasanya harus berkata jujur kepada Tito mengenai hal ini. "Karena.. karena aku tidak bisa tidur jika lampu menyala."

Dia terkesiap. 

**

Aku tak pernah menduga hal ini akan menjadi kendala. 

"Karena.. karena aku tidak bisa tidur jika lampu menyala," ujarnya pelan. 

Aku terkesiap.

"Apa itu sudah menjadi keharusan untukmu?"

Dia mengangguk.

"Sejak kapan?"

"SMA," wajahnya berubah sendu dan aku selalu merasa lemah jika melihat wajahnya yang seperti itu. 

Aku jatuh hati pada Tuti sejak pandangan pertama ketika awal kali aku bertemu dengannya di salah satu kios buku-buku bekas di sebuah Mall di selatan Jakarta. Saat itu aku tengah asyik mengaduk-aduk buku fiksi yang bertumpuk di salah satu rak kios itu, mencari novel atau kumpulan cerpen apa pun yang menarik untuk kubaca - dan di kepalaku sudah ada beberapa judul yang ingin kubeli sekiranya ada di kios itu, hingga kemudian novel 'Dua Ibu' karya Arswendo Atmowiloto jatuh. Aku melihatnya dan girang. Sebab itu salah satu novel yang sedang kucari. Dan seperti adegan-adegan dalam film, percaya atau tidak itu terjadi padaku dan Tuti, tangan kami secara bersamaan meraih novel yang menggeletak di lantai itu. Dengan posisi setengah menjongkok kami saling bersitatap. Dan pada detik itu, bagai es yang dibakar kemudian mencair seperti demikianlah aku langsung jatuh hati pada Tuti. Jatuh hati pada parasnya yang ayu. Mendamaikan. Laksana udara pagi. 

"Maap, saya mau membeli novel ini," katanya, memutus keterpesonaanku padanya.

"Saya juga mau membeli novel ini," tandasku cepat. 

"Tapi novel ini sedang saya cari-cari."

"Novel ini juga sedang saya cari-cari."

"Kau jangan mengikuti kata-kata saya!"

"Tidak. Saya tidak mengikuti kata-katamu. Memang begitu kenyataannya!" ujarku jadi sedikit kesal, kendatipun begitu aku masih tengah mengagumi paras ayunya sekalipun dia sedang judas. Tapi biarlah kekaguman itu kusimpan dalam hati saja. Tanpa ancang-ancang aku segera menarik novel itu agar sepenuhnya berada digenggamanku, namun tertahan karena ternyata secara bersamaan dia pun menariknya juga. Beberapa saat kami saling tarik-menarik persis anak-anak yang sedang berlomba tujuh belas agustusan sebelum si pemilik kios datang. 

"Maap, mba, mas. Ada apa, ya? Kok tarik-tarikan begitu?" wajahnya tertanya-tanya, memandang kami bergantian. 

"Saya mau membeli novel ini!" katanya cepat. 

"Saya juga mau membeli novel ini!" aku langsung menimpali. 

Si pemilik kios kebingungan. "Tapi novel itu cuma ada satu," katanya.

"Mba," aku menatapnya tajam. "Saya penggemar berat Arswendo dan dari semua karangannya cuma novel ini yang belum saya punya," terangku kepada Tuti. Berharap dia mengalah begitu mendengar ucapanku itu, tetapi nyatanya tidak. 

"Tapi saya sangat membutuhkan novel ini untuk skripsi saya," balasnya.

Si pemilik kios masih berdiri di tengah-tengah kami, dan terlihat tambah kebingungan, matanya bergerak ke kanan-ke kiri menatap kami yang mendadak sama-sama terdiam. 

"Jadinya bagaimana, Mba? Mas?"

Hatiku melunak. "Baiklah, karena novel ini untuk tugas skripsimu, kau saja yang membawanya duluan. Tapi nanti setelah kau tak lagi membutuhkannya kau mau, kan, memberikan novel ini kepada saya? Saya ingin sekali membacanya," ujarku.

Dan begitulah akhirnya, kami saling bertukar nomor telepon. Dan dua minggu kemudian kami bertemu di sebuah kedai kopi untuk menyelesaikan 'sengketa' mengenai novel itu. 

Pertemuan kami kali ini tak lagi diisi dengan debat kusir, melainkan dengan obrolan yang menyenangkan tentang literasi sampai tak terasa empat jam sudah kami berbincang-bincang dan masing-masing telah menghabiskan tiga gelas kopi dan dua piring pancake. Dan, bermula dari pertemuan yang menyenangkan itu pula pertemuan kami terus berlanjut di hari-hari yang lainnya. 

Saat itu aku baru lulus kuliah dan sedang sibuk-sibuknya mencari kerja. Aku suka membaca sastra meski kuliahku di jurusan hukum. Sementara Tuti sendiri kala itu adalah mahasiswa sastra Indonesia semester akhir. Dunia literasi lah yang memang mengakrabkan kami. Dan ada banyak persamaan-persamaan lainnya yang membuat kami kian dekat. Contohnya saja warna favorit Tuti merah. Aku juga. Tuti suka pantai. Aku juga. Tuti penggemar kopi. Aku juga. Persamaan-persamaan itulah yang menyatukan kami, hingga setahun kemudian kami akhirnya berpacaran.

"Kau benar-benar tidak bisa tidur jika lampu menyala?" tanyaku lagi, yang masih kurang percaya dengan kenyataan, bahwa aku mempunyai calon istri yang sama sekali tak bisa tidur jika lampu menyala.

Tuti mendongak. Matanya sinis menatapku. Lalu mendelik.

"Kau berkali-kali bertanya seperti itu seakan-akan kebiasaanku adalah sebuah kebiasaan yang aneh. Bukankah memang saat orang tidur normalnya lampu dimatikan?" katanya.

Aku terkesiap. Tak tahu mau bilang apa. Aku mengerti, Tuti bermaksud membandingkan kebiasaannya dengan kebiasaanku yang menurutnya jelas lebih aneh kebiasaanku yang tak bisa tidur jika lampu dimatikan. Secara tersirat kebiasaanku lah yang dianggapnya tak normal. Kendati kata-kata itu dia sampaikan dengan suara yang pelan dan lembut, tetapi rasanya seperti ada sembilu yang menggores hatiku hingga menimbulkan rasa ngilu di ulunya.

"Apa kau tidak bisa memakai penutup mata saat tidur? Agar nanti ketika kita sudah menikah dan tidur sekamar, lampu bisa tetap menyala dan aku tetap bisa tidur.

"Jadi seumur hidup aku akan tidur dengan penutup mata?"

Aku membisu. Kulihat Tuti sangat keberatan jika memang demikian.

"Kenapa kau tidak pernah cerita soal kebiasaanmu itu padaku?"

"Karena tak pernah terpikir olehku jika hal ini bisa menimbulkan perdebatan yang begini serius."

**

Aku tak menduga hal ini akan menjadi kendala. Tito membawa Tuti padaku namun kali ini dengan raut wajah mereka yang sangat tegang. Keduanya benar-benar tampak serius. Kalau pun tersenyum kentara sekali sebuah lengkung yang dibuat-buat mereka sehingga tampak sekali tak lepas. 

Tito menghela napas. Terdengar lirih. Sementara Tuti duduk di sampingnya dengan kepala yang terus menunduk. "Jadi begini, bu," Tito membuka suara. "Kami sudah siap untuk menikah, hanya saja.. hanya saja.. " Tito menatap Tuti. "Masih ada satu hal yang perlu kami diskusikan lagi, bu," sambung Tuti dengan kepala yang tetap menunduk. 

Aku selalu bahagia melihat Tuti ada di samping anak lelaki satu-satunya yang kulahirkan. Tito bisa lebih santai menjalani hidup karena adanya Tuti yang selalu ceria menemani hari-harinya. Tuti bisa memanjakan sekaligus menjadi tempat Tito mendapatkan solusi dari setiap keluhnya yang pastilah terasa berat bekerja sebagai seorang pengacara. Bahkan  harus kuakui, adakalanya aku merasa Tuti lebih perhatian kepadaku ketimbang dua kakak perempuan Tito yang lain. 

"Boleh ibu tahu masalahnya?"

Mereka tak langsung menjawab. Keduanya bergumam dan terasa sekali sedang menimbang-nimbang jawaban. Dan aku menunggu sampai salah satu dari mereka angkat bicara. 

"Kami.. kami masih belum sepakat soal lampu,  bu," jawab Tito. 

Ah, soal lampu rupanya. Ternyata rasa trauma Tito yang menjadi kendala. Jelas sudah, dia belum menceritakan kepada Tuti mengapa dia tidak bisa tidur jika lampu dimatikan.   

Suatu pagi. Ya, di suatu pagi yang mengguncang hatiku, Tito yang ketika itu masih berusia 12 tahun, bercerita sambil menangis tersedu-sedu padaku. Suamiku,  bapaknya sendiri, masuk ke kamarnya pada tengah malam dan menggumulinya. Hal itu terjadi berkali-kali sampai akhirnya Tito berani berterus terang padaku setelah berhasil melawan rasa takut akan ancaman bapaknya. Orangtua terkutuk itu mengancam akan memukuli Tito jika dia mengadu kepadaku. Aku menceraikan suamiku, namun apa yang menimpa Tito meninggalkan rasa trauma yang berat dalam dirinya. Sejak itu dia sama sekali tidak bisa tidur jika lampu dimatikan. Sebab tidur di dalam gelap selalu membuatnya merasa terancam. Aku sangat sedih mengingat Tito mengidap trauma seperti itu. 

"Apa kau tidak bisa tidur jika lampu menyala, nak?" tanyaku pada Tuti. 

Kulihat wajahnya pucat dan matanya memerah. "Tidak, bu," katanya kemudian. 

Aku sebetulnya penasaran dan ingin banyak bertanya. Dari getar suara Tuti aku yakin pastilah, seperti Tito, ada penyebab yang membuat Tuti tak bisa tidur jika lampu menyala. Tapi aku tak mau memaksa jika dia tak mau bercerita. Biarlah mereka menyelesaikan masalahnya berdua sebagai pasangan yang ingin membangun biduk rumah tangga . Aku yakin anakku, Tito, kini sedang dilema.  Dia kini dihadapkan pada dua pilihan penting sebelum pernikahannya dengan Tuti tahun depan terlaksana. Apakah dia akan bercerita jujur mengenai penyebab traumanya itu kepada Tuti atau.. dia akan kembali dari awal, mencari dan mengenal perempuan lain yang bisa tidur dengan keadaan lampu menyala, namun aku yakin, sangat yakin, pastilah sukar jika harus mencari perempuan yang seperti Tuti baiknya. 

**

Aku tak menduga hal ini akan menjadi kendala. Tuti membawa Tito padaku namun kali ini dengan raut wajah mereka yang sangat tegang. Keduanya benar-benar tampak serius. Kalau pun tersenyum kentara sekali sebuah lengkung yang dibuat-buat mereka sehingga tampak sekali dipaksakan. 

Tuti menghela napas. Terdengar lirih. Sementara Tito duduk di sampingnya dengan kepala yang terus menunduk. "Jadi begini, bu," Tuti membuka suara. "Kami sudah siap untuk menikah, hanya saja.. hanya saja.."  Tuti menatap Tito. "Masih ada satu hal yang perlu kami diskusikan lagi,  bu," sambung Tito dengan kepala yang tetap menunduk.

Aku selalu bahagia melihat Tito ada di samping anak semata wayangku. Karakter Tito yang penyabar dan tenang bisa meladeni karakter Tuti yang cerewet dan cenderung gegabah. Tito bisa membimbing sekaligus menjadi tempat Tuti mendapatkan solusi di setiap keluhnya yang pastilah terasa berat bekerja sebagai seorang wartawati. Bahkan harus kuakui, aku merasakan Tito jauh lebih berwibawa sebagai seorang ayah kelak jika dibandingkan ayah Tuti sendiri. 

"Boleh bunda tahu masalahnya?"

Mereka tak langsung menjawab. Keduanya bergumam dan terasa sekali sedang menimbang-nimbang jawaban. Dan aku menunggu sampai salah satu dari mereka angkat bicara. 

"Kami.. kami masih belum sepakat soal lampu,  bu," jawab Tuti. 

Ah, soal lampu rupanya. Ternyata rasa trauma Tuti yang menjadi kendala. Jelas sudah, dia belum menceritakan kepada Tito mengapa dia tidak bisa tidur jika lampu menyala.  

Suatu pagi. Ya, di suatu pagi yang menggentakkan hati, Tuti yang usianya ketika itu menginjak 17 tahun, berterus terang padaku sambil menangis tersedu-sedu. Dia menyesali kekhilafannya di samping inti persoalan yang menyebabkannya trauma. Ketika perpisahan SMA Edo merayunya habis-habisan dengan berbagai cara hingga membuat anakku terbuai masuk ke dalam kamar bersama kekasihnya yang brengsek itu. Tetapi entah aku harus bersyukur atau bersedih. Menyikapinya sebagai cerita yang lucu atau dramatis. Tuti bilang, Edo tak jadi menggumulinya begitu melihat dadanya yang serata laki-laki. "Kau bencong, ya?!" Tuti bercerita Edo memekik demikian padanya. Lelaki brengsek itu pergi meninggalkan anakku yang kemudian menangis tersedu-sedu, dan sejak saat itu kepercayaan diri Tuti menurun drastis. Dia begitu jijik melihat dadanya sendiri saat bercermin. Aku sangat sedih, karena Tuti, sebagai perempuan, mengidap trauma seperti itu.

"Apa kau tidak bisa tidur jika lampu dimatikan, nak?" tanyaku pada Tito. 

Kulihat wajahnya pucat dan matanya memerah. "Tidak, bu," katanya kemudian. 

Aku sebetulnya penasaran dan ingin banyak bertanya. Dari getar suara Tito aku yakin pastilah, seperti Tuti, ada penyebab yang membuatnya tak bisa tidur jika lampu mati. Tapi aku tak mau memaksa jika dia tak mau bercerita. Biarlah mereka menyelesaikan masalahnya berdua sebagai pasangan yang ingin membangun biduk rumah tangga. Aku yakin anakku, Tuti, kini sedang dilema.  Dia kini dihadapkan pada dua pilihan penting sebelum pernikahannya dengan Tito tahun depan terlaksana. Apakah dia akan bercerita jujur mengenai penyebab traumanya itu kepada Tito atau.. dia akan kembali dari awal, mencari dan mengenal laki-laki lain yang bisa tidur dengan keadaan lampu dimatikan, namun aku yakin, sangat yakin, pastilah sukar jika harus mencari laki-laki yang seperti Tito baiknya. (*) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun